Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Rahasia Mereka

"Maya," bisik Winata, ayah Maya dengan lirih.

"Ayah!" jawab Maya dengan lega.

"Terlalu banyak orang jahat di sampingku hingga aku harus membuat diriku seperti ini. Maafkan aku, Nak!" bisik pria paruh baya itu lalu tersenyum.

"Tak usah minta maaf, Ayah. Harusnya aku yang menyadari jika selama ini semua orang tak sebaik yang aku harapkan!"

"Iya, kau harus hati-hati. Aku akan pura-pura gagu selama recoveriku ini dan kau Ray,"

"Iya, Tuan!" jawab Ray sambil tersenyum.

"Jaga putriku seperti yang sudah aku katakan padamu kemarin,"

"Siap!"

"Tu--nggu! Ini tuh gimana, sih!" Maya berdiri dari tempat duduknya sambil menyatukan kedua alisnya. "Ayah akan apa? Karena apa ayah jadi begitu?"

"Tak semua hal harus ayah jelaskan, pokoknya kau dan Ray, awasi saja Mike. Ayah rasa dia ada niat buruk dengan bisnis keluargaku. Aku tak mau..."

Kreek!!

Winata menghentikan perkataannya dan buru-buru memberi kode pada Ray untuk memeriksa siapa yang datang.

"Baik," bisik Ray lalu melangkah mendekati pintu.

Pintu kamar Winata terbuka dengan perlahan lalu wajah Inaya yang begitu menyebalkan nampak jelas. "Kau disini rupanya,"

Mendengar suara Inaya yang begitu jelas, Winata cepat-cepat memasang wajah lemas.

"Ayah sudah bangun?" tanya Inaya yang melangkah dengan perlahan agar tak membuat gaduh di dalam ruangan mewah itu. "Aku tadi dari..."

"Aku tau," bisik Winata lalu menatap wajah istri keduanya itu dengan senyuman tipis. "Kau pasti jadi sibuk karena kesalahan putriku,"

"Ih! Jangan bicara begitu, Sayang! Aku selalu ikhlas untuk merawat anak-anakmu," gerutu manja Inaya yang segera menaikkan satu sisi bibir Ray yang masih terus mengawasi wanita menyebalkan itu.

"Mmm, kalau begitu aku akan pergi dulu. Aku rasa Ibu butuh banyak waktu untuk berbincang dengan ayahku,"

"Oh! Kau tau diri rupanya," ketus Inaya membuat mata Maya segera melirik tajam.

"Ya, sampai jumpa!" tegas Maya lalu melangkah keluar dari kamar VIP tempat sang ayah masih berbaring.

"Ayo kita pergi," bisik Maya pada Ray yang segera mengikuti langkah nona muda itu.

Maya melangkah cepat dan menutup pintu perawatan ayahnya menuju tempat parkir yang berada di bagian depan rumah sakit.

"Mobilmu di mana?" tanya Maya dengan kesal.

"Itu!" tunjuk Ray yang tau nona muda ini tak suka banyak kata saat sedang kesal seperti saat ini.

"Bagus!" Maya mempercepat langkahnya dan lebih tepatnya setengah berlari menuju mobil yang ditunjuk supir muda itu. "Buka!"

"Iya!" jawab Ray lalu menekan tombol kunci di remot yang dimasukkannya di saku bajunya.

Tut!

Tut!

Maya langsung masuk dan duduk di jok belakang mobil sambil menyandarkan punggungnya yang terasa begitu lelah dengan semua kenyataan pahit hari ini.

"Nona mau kemana?"

"Pergi!" Cepat-cepat Maya menoleh ke arah Ray yang sudah duduk di kursi kemudi. "Bawa aku pergi!"

"Baik!" Ray segera menyalakan mesin mobil dan melajukan kereta besi itu meninggalkan rumah sakit.

Matanya sesekali menatap Maya dari spion mobil mencoba meyakinkan dirinya jika putri tuan besarnya itu tak akan melakukan hal bodoh saat ini.

"Kenapa kau menatapku begitu?" tanya Maya saat ekor matanya mendapati supirnya sedang melirik padanya.

"Aku tau Nona sedang sedih, tapi maaf jika aku hanya bisa menyaksikannya tanpa bisa memberikan bantuan apapun,"

"Oh! Jadi kau iba padaku?" tanya Maya yang perlahan meneteskan air mata yang sudah sejak tadi dia tahan.

"Iya, aku tau kau pasti sangat sedih. Jadi maaf kalau..."

"Sudah!" Maya meraih pipinya yang mulai basah karena air mata. "Aku tak boleh seperti ini! Aku tak boleh lemah!" tegas Maya namun dia tak mampu.

Perselingkuhan saudara kembarnya yang sampai hamil ini sungguh sangat menohok baginya, dia tak tahan lagi menahan semua kekesalan ini dan hanya bisa menangis sesegukan di jok belakang mobil yang dikendarai Ray.

"Apa aku harus berhenti?"

"Tidak!" ujar Maya yang menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. "Bawa aku pergi ke villa ayahku di Batu! Aku sesak nafas. Aku benci dengan dusta diantara kita!"

"Oh!" Ray menghela nafasnya. Dia tau sebenarnya Maya butuh bahunya untuk bersandar namun dia sadar dia hanyalah supir keluarga yang tetap harus jaga jarak dengan nona mudanya ini.

Mobil kemudian melaju lambat menyusuri jalanan Jalan MT. Haryono-Malang menuju Dau yang akan membawa mereka ke Kota Batu.

Hari itu sudah sore dan cahaya matahari sudah mulai meredup.

Ray yang hanya bisa terdiam di depan stir sesekali menutup mata menahan rasa sedih Maya yang masih sesegukan di jok belakang.

"Aku tak menyangka ada kebohongan ini. Aku tak menyangka mereka bisa begitu kejam padaku," ucap Maya berkali-kali sambil terus menumpahkan kekesalannya.

"Kita ke villa yang itu?" tunjuk Ray saat mobil yang dia kendarai tinggal beberapa meter lagi dari tempat tujuannya.

Maya menghapus air matanya, lalu menatap rumah dua lantai di dekat bukit yang merupakan villa keluarganya sejak 10 tahun terakhir.

"Iya, yang itu! Kenapa kau pake nanya lagi?"

"Itu kan mobil Mike. Apa Nona tetap mau masuk atau ganti haluan saja?"

"Hah! Mobil Mike?" Maya cepat-cepat membuka kaca jendela dan benar saja, di halaman rumah mewah bercat putih itu nampak kekasihnya sedang duduk berbincang dengan Miya yang terus tertunduk.

"Sedang apa mereka disini?" tanya Maya sambil terus memperhatikan saudara kembarnya itu.

"Aku tak tau, Nona! Tapi sebaiknya kita lanjut saja!"

Ray menginjak pedal gas meninggalkan tempat Mike dan Miya berada meski Maya belum memberitahukan kemana tujuan mereka selanjutnya.

"Kenapa kau malah pergi? Baru saja aku mau menghajar adikku itu!" kesal Maya lalu memukul bahu Ray yang tegap.

"Jangan, Nona. Ingat kata-kataku tadi kan? Jangan frontal!"

"Apa itu frontal? Aku tak mengerti!"

"Jangan hadapi mereka seperti ini. Ingat, mereka punya cara untuk membuat keluargamu semakin hancur. Terlebih hutang keluargamu yang semakin memuncak pasca sakitnya tuan besar!"

"Sialan! Aku tak mengerti apa yang mereka mau. Ayahku bukan orang bodoh. Bisa jadi ini semua terjadi karena rencana mereka. Ini pasti akal busuk keluarga Mike! Aku yakin itu!"

Maya terus menendang-nendang jok tempat Ray mengemudi, sesekali pemuda itu mengerengit tapi dia tetap harus memastikan laju mobil. "Kita pulang saja,"

"Aku tak mau pulang! Mereka jahat!" teriak Maya yang kembali teringat kejadian menyedihkan di rumah sakit dan semua yang dikatakan supirnya itu. "Bawa aku pergi, Ray. Aku mau tidur di rumah busuk penuh ketulusan ketimbang masuk lagi ke rumah mewah yang penuh kebusukan itu!"

"Iya, tapi kemana? Aku tak mau dapat masalah karena membawamu pergi tanpa pamit pada ibu tirimu!"

"Masa kau tak punya rumah?"

"Hah! Kau mau ke rumahku?" Ray terbelalak kaget. "Mau apa?"

"Ngapain, keke?" ujar Maya menatap mata Ray dari spion.

Mereka sesaat saling pandang tanpa kata hingga Ray dibuat kikuk.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel