MASIH PEMULA
“Selamat, pagi ...!”
Mahesa sangat bersemangat di hari pertamanya bekerja sebagai editor. Dengan ramah menyapa semua orang yang berpapasan dengan dirinya. Ia memang seorang yang berkepribadian supel juga ceria. Apa itu sadboy? Tentu saja bukan Mahesa orangnya.
Orang-orang yang disapanya yang tadinya cemberut karena mungkin masih ngantuk dan semakin ngantuk karena ruangan yang dingin, seolah mendapatkan energi positif darinya. Mereka turut tersenyum membalas sapaan pemuda energik itu.
“Siapa itu? Ceria sekali,” bisik salah satu pegawai yang baru saja membalas sapaan Mahesa.
“Anak baru, editor sih katanya,” jawab rekan kerjanya.
“Editor? Dia lebih cocok jadi personil boyband Korea, deh!” cicit pegawai itu lagi kemudian keduanya tertawa.
Mahesa bukan penggemar hal-hal yang berbau Korea. Ia hanya seorang penikmat aksara dengan sudut bibir mengkritik, mengulas, dan memperbaiki. Seumur hidupnya berteman dengan buku dan tidak begitu menyukai musik. Sangat kontras memang dengan pembawaannya yang periang dan banyak bicara.
“Sudah kubilang jangan mengubah terlalu banyak! Apa yang kamu lakukan pada gambar ini, ha?!”
Pak Siwon pagi-pagi sudah mengomel pada seorang pemuda berkacamata tebal.
“Maaf, Pak. Tapi aku udah bikin sesuai dengan permintaan author,” jawab pemuda itu dengan wajah tertunduk lesu.
“Aaaah! Sana perbaiki lagi! Hari ini harus selesai. Setiap hari membuatku kesal dan naik darah. Siapa orangnya yang sudah merekrut editor seni seperti dirimu? Kembali bekerja!” perintah Pak Siwon pada pemuda tersebut.
Si kacamata tebal itu merapikan lembaran-lembaran kertas bergambar hasil kerjanya yang tidak disukai oleh Pak Siwon. Ia dengan langkah lesu kembali ke mejanya, tepat di samping meja yang akan menjadi tempat bekerja Mahesa.
Mahesa berdiri mematung melihat rekan kerjanya itu dimarahi habis-habisan di pagi yang cerah ini. Namun, ia tidak hendak ikut campur meski iba pada si kacamata tersebut.
“Kamu! Mahesa!” panggil Pak Siwon.
“Iya, Pak!”
Pemuda dengan tas selempang warna abu-abu itu langsung berjalan cepat menghampiri Pak Siwon.
“Kamu masih baru di sini. Aku jelaskan lagi peraturan kerja di sini harus tanggung jawab dan tahan banting. Karena kamu masih baru maka kamu akan menangani naskah Moonlight. Kamu ngerti Newbie yang aku maksud nggak?” tanya Pak Siwon.
“Siap, mengerti Pak! Newbie adalah sebutan untuk para penulis baru. Itu berarti aku akan menangani naskah-naskah dari para penulis baru,” jawab Mahesa yang langsung membuat Pak Siwon yang tadi marah-marah berubah senang.
Pak Siwon menepuk pundak editor baru itu dan mengucapkan selamat bergabung. Ia tampak senang karena ternyata Mahesa sepertinya bisa diandalkan tidak seperti pemuda berkacamata yang duduk di samping meja kerja Mahesa.
“Bagus. Mahesa, kau akan berbagi meja dengan Randu,” ujar Pak Siwon menunjuk pada meja besar yang disekat menjadi empat. “Randu ini editor seni rupa. Satu lagi sedang membeli kopi dan satunya belum datang, dia selalu terlambat,” lanjut Pak Siwon.
Mahesa dan Randu berjabat tangan saling berbalas senyum. Kemudian si kacamata itu langsung kembali pada pekerjaannya. Ya, dia memang dituntut untuk menyelesaikan semuanya hari ini juga jika tidak ingin diomeli habis habisan lagi oleh Pak Siwon.
Dari arah pintu tampak ketua redaksi, Ines yang sedang dikejar oleh seorang editor yang kata Pak Siwon editor tersebut sering datang terlambat. Kali ini, pemuda dengan bobot tubuh berlebih itu justru hendak cuti dengan membuat surat izin palsu dan meminta Ines untuk menandatangani surat tersebut.
“Bu Ines, tolong sekali saja. Aku mohon,” ujar pria gemuk itu disaksikan yang lainnya.
“Riky, kenapa aku harus membantumu untuk menandatangani surat palsumu itu?” tanya Ines yang sebenarnya bosan dengan permintaan cuti yang berkali-kali tersebut.
“Begini, Bu. Aku mungkin saat ini tidak begitu sakit, tapi dokter bilang aku harus mengambil cuti untuk beberapa hari agar maag ku tidak kambuh. Ya, Bu! Bantulah aku,” bujuk Riky sepenuh hati.
Pak Siwon yang melihatnya tampak tak senang. Kenapa pemuda itu terus menerus memanfaatkan kebaikan hati ketua redaksi. Kemarin neneknya sakit, lalu adiknya sakit, sekarang dia yang sakit. Pak Siwon heran kenapa pemalas seperti Riky masih bertahan di perusahaan penerbitan paling ngetop se-nusantara ini.
Ines meraih lembaran kertas surat palsu tersebut lalu menandatanganinya. Ia berpesan kalau lain kali meskipun sekarat jangan ambil cuti lagi. Riky tersenyum dan mengucapkan banyak terima kasih kepada ketua redaksi yang meski galak, tetapi murah hati.
“Kopi kita datang ...,” seru seorang pemuda berpakaian modis dan berwajah tampan dengan nampan di tangan. Nampan itu berjejer kopi dengan gelas take way yang ia beli di kafe yang letaknya di area perusahaan tempat mereka bekerja.
“Ini untuk Pak Siwon, rendah gula. Untuk Bu Ines yang manis. Ini teh untuk Riky, ini late untuk anak baru,” ujar pemuda itu.
“Wah, aku juga dapat. Makasih, Mas!” Mahesa berterima kasih.
“Tentu dong, kau juga kan karyawan di sini. Jangan panggil mas, ya! Panggil aja Romi, oke!”
“Iya, makasih Rom,” ralat Mahesa.
Sementara itu, si kacamata hanya diam menatap keceriaan para rekan kerjanya yang sedang menerima kopi dari Romi. Ia tampak diabaikan bahkan tidak mendapatkan jatah kopi seperti yang lainnya.
Hari ini, Mahesa ditugaskan untuk menyambut para penulis baru yang datang mengantarkan naskah mereka. Ia sebelumnya mengusulkan mengapa tidak menerima naskah secara online saja via email? Menurutnya itu lebih efisien mengingat sekarang adalah trend digital.
Akan tetapi, Pak Siwon mengatakan mungkin akan dipertimbangkan. Untuk saat ini, bertemu langsung dengan penulisnya jauh lebih baik agar editor selain bisa menilai tulisannya juga bisa menilai attitude dari cara sang penulis menghargai penerbit.
Mahesa kini telah duduk di balik meja penyambutan para penulis baru. Ia akan bertemu dan bertatap muka langsung dengan penulis naskah yang akan ia tangani. Seperti para newbie itu, ia sendiri juga terbilang masih sangat baru sebagai editor.
“Selamat datang ...! Aku Mahesa Tunggal, editor baru di penerbitan paling ngetop se-nusantara ini. Bisa Anda katakan apa motivasi Anda berkontribusi dengan klub kami?”
“Baiklah, Mas editor. Kuberitahu, ya. Kalau novelku ini dijamin akan meledak di pasaran. Dan ... sepertinya akan memberikan tiga penghargaan sekaligus pada klub kalian. Nobel sastra, kimia, fisika, itu hal kecil,” jelas penulis tersebut.
Mahesa terpaksa tersenyum pada penulis newbie yang kelewatan percaya diri itu. Dibacanya outline dan sinopsis di hadapannya, tetapi itu lebih mirip sebuah tesis daripada novel. Ia pun meminta penulis tersebut untuk menunggu kabar darinya mengenai lolos atau tidak naskah tersebut.
“Adik kecil, kau sangat luar biasa. Aku punya beberapa koreksi untuk naskahmu. Tapi, apa ini kamu salin dari buku bacaan di sekolahmu?” tanya Mahesa pada penulis selanjutnya yang merupakan seorang bocah kelas 5 sekolah dasar.
Mahesa bersikap seramah mungkin agar tidak menyakiti hati anak tersebut. Ia tidak mengatakan menolak terang-terangan naskah itu. Seperti yang lainnya, anak itu juga diminta untuk menunggu kabar darinya. Mahesa akan menginfokan melalui pesan WhatsApp ke kontak orang tua anak tersebut.
“Nek, bukankah ini naskah skenario? Kenapa Nenek nggak mengirimkan ini ke theater atau Opera? Sepertinya ini lebih cocok di sana,” ujar Mahesa pada penulis berikutnya yang naskahnya berisi dialog dan lirik lagu sama sekali tidak bisa dikatakan itu adalah sebuah novel.
“Mas ganteng, justru mereka yang menyuruhku ke sini. Dengar, ya! Akan kunyanyikan satu paragraf untukmu,” ujar wanita tua itu yang kemudian memulai ancang-ancang untuk bernyanyi.
“Aaaaa, jangan! Jangan! Nggak usah, Nek. Naskah Anda ini akan aku pertimbangkan. Nenek tunggu saja kabar dariku, ya!” pinta Mahesa yang kemudian berhasil membuat Nenek itu meninggalkan kursi tamu.
“Bagaimana ini? Semua yang datang untuk berkontribusi nggak ada satu pun yang waras? Kalau begini, aku nggak akan dapat naskah yang bagus,” keluh Mahesa di hari pertamanya bekerja.
Sudah setengah hari berjalan. Semua penulis yang datang juga sudah selesai diwawancarai. Akan tetapi, ia masih belum mendapatkan naskah yang sesuai dengan kriteria yang diinginkannya.
HARI PERTAMA BEKERJA. NEWBIE SEPERTI DIRIKU HANYA BISA MENYEMANGATI DIRINYA SENDIRI. JIAYOOOO!Pemuda itu mengetik postingan pada laman media sosial miliknya. Kemudian ia menyimpan kembali ponselnya dan masuk ke ruang kerja tim editor. Tampak sepi dan hanya ada seorang pria seusia kakeknya sedang mengepel lantai.
“Kek, ini masih jam kerja kenapa nggak nanti sore aja bersih-bersih? Sini, biar kubantu! Sepertinya ada yang menumpahkan kopi di lantai. Bahaya juga kalau sampai ada yang kepleset,” cerocos Mahesa yang tangannya dengan cekatan membantu pria tua itu.
“Mas, apa aku kelihatan seperti tukang bersih-bersih?” tanya pria tua itu.
“Emmm, Kakek lagi ngepel lantai gini kalau bukan tukang bersih-bersih apa sedang ikut challenge? Tenang aja, Pak! Aku juga lagi nggak ada kerjaan, aku bantu sampai lantai ini kinclong!” jawab Mahesa penuh semangat membuat pria tua itu tertawa lepas.
Keduanya tengah asyik bercanda. Mahesa adalah pemuda yang humoris. Dalam sekejap saja sudah membuat pria tua yang baru saja ditemuinya itu terpingkal-pingkal tak henti.
“Pak Direktur?! Anda sudah kembali?” tanya Ketua redaksi yang terkejut melihat direktur penerbitan paling ngetop se-nusantara sudah berada di kantor sekarang.
“Apa?! Pak direktur?!”
Mahesa ternganga, ia seketika merasa seperti hidupnya sudah tidak lama lagi. Dari tadi ia melontarkan lawakan murahan dan bersikap tidak sopan pada orang tua tersebut yang ternyata adalah seorang direktur di perusahaan tempatnya bekerja