BEDA GENRE
“Noni, Rey bilang tadi elu ke toko? Bukankah acaranya masih sore ini?” tanya pemilik toko buku unik pada gadis yang berebut buku tadi siang. Melalui sambungan telepon, ia berbicara dengan sahabatnya tersebut.
“Siapa bilang gue akan datang ke acara itu,” jawab gadis itu.
“Ayolah, Non! Tunjukkan pada ibumu kalau elu lebih dari dirinya. Bagaimana?” bujuknya kemudian.
“Nggak akan. Pasti membosankan,” tolong gadis berambut blonde tersebut.
Noni Marsheilla dengan nama pena Sakura Putih merupakan penulis misterius yang disembunyikan identitasnya. Pembaca tidak ada yang tahu bagaimana rupa author kesayangannya itu. Namun, dilihat dari postingan-postingan di media sosial dan gayanya bercerita, mereka semua kompak beranggapan jika Sakura Putih adalah sosok lemah lembut dan menjunjung tinggi nilai-nilai budaya.
Di tempat lain, seorang pemuda baru saja selesai menata kamar kos. Ia akan tinggal di tempat yang hanya berupa kamar dengan kamar mandi kecil di dalamnya, selama bekerja di ibukota.
Kemudian, Mahesa teringat harus mengabari kedua orang tuanya jika dirinya telah diterima di perusahaan penerbitan yang sudah sejak lama ia impikan.
“Halo, Bu! Aku diterima, anakmu sekarang jadi editor, Bu!” seru pemuda itu dengan senangnya.
“Iya, iya. Tapi ibu tetap maunya kamu itu jadi pegawai bank,” balas sang ibu yang tetap ingin putranya itu menjadi seorang pegawai bank yang kalau berangkat kerja rapi dan wangi.
Pawestri memang terdengar meremehkan pekerjaan putranya itu. Ia juga terdengar tidak senang dan ketus saat berbicara dengan putranya itu. Namun, aslinya ia adalah orang yang paling mengkhawatirkan putranya itu. Apakah sudah sampai di Jakarta? Apakah sudah makan? Bagaimana kalau tersesat? Di mana putranya akan tinggal nanti? Apakah orang-orang di ibukota ramah atau tidak?
“Ah, Ibu. Ayah mana, Bu?” tanya Mahesa.
“Nggak usah tanya! Sudah pasti dia pergi mancing dari pagi sampai nanti sore,” jawab ibunya.
“Nanti bilang ayah kalau aku diterima bekerja ya, Bu!” pinta Mahesa dengan senyuman mengembang meskipun ibunya tidak bisa melihat karena bukan fitur panggilan video.
“Iya, iya! Udah, tutup! Ibu lagi nonton Chef Renata masak sop kecubung!” perintah ibunya.
Tuuuuut!
Panggilan itu justru ditutup langsung oleh sang Ibu. Ya, sebenarnya Pawestri sudah tidak tahan ingin menangis. Putranya sudah dewasa sekarang. Seorang diri mengadu nasib di ibukota yang kata orang lebih kejam daripada ibu tiri. Bocah kecilnya sekarang sudah mandiri rupanya.
“Ah, ibu. Dia pasti lagi nangis,” gumam Mahesa sembari memandangi layar ponselnya yang sudah berubah hitam.
Kembali dinyalakannya benda pipih di tangannya itu. Ia membuka sosial media berlogo kamera. Postingan pertama yang muncul adalah sebuah buku yang diletakkan di atas meja yang terdapat vas bunga unik. Mahesa mengingat kembali sepertinya vas bunga itu tidak asing. Tampak familier, tetapi di mana?
“Bukankah ... toko buku unik? Wah, penulis favoritku, Sakura Putih ada di sana. Sakura Putih ...! I am coming ...!” seru pemuda itu yang sangat antusias ingin bertemu dengan penulis paling digandrungi oleh kaula muda saat ini.
Toko buku yang ia datangi tadi pagi kini tampak sangat ramai. Pantas saja tadi pagi semua pegawai terlihat sibuk ini itu sampai terkesan mengabaikan pengunjung. Ternyata mereka sedang mengadakan meet and great para penulis baru di sore harinya.
Mahesa masuk ke dalam toko buku unik yang memang luas itu. Bahkan mereka memiliki mini bar yang membuat pengunjung semakin betah. Tampak beberapa penulis sudah datang dan berbincang dengan para penikmat cerita yang mereka tulis.
“Banyak cewek cantik. Kebanyakan dari mereka sepertinya masih sekolah. Sakura Putih yang mana, ya?” lirih Mahesa bermonolog. Ia mengamati empat penulis yang terdiri dari satu pria dan tiga wanita. Namun keempat-empatnya ia sudah kenal karena wajah mereka wira-wiri di akun media sosial masing-masing.
Jelas bukan Sakura Putih. Mahesa yang tidak memerhatikan jalan mundurnya, tiba-tiba menabrak seseorang di belakangnya.
“Aduh, maaf! Eh, kamu bukannya yang tadi siang, ya? Yang berebut buku denganku. Wah, kamu juga penggemar Sakura Putih pasti,” terka Mahesa.
“Elu sendiri? Penggemar Sakura Putih?” tanya Noni.
“Tentu saja. Ceritanya lumayan bagus, penulisannya juga, genre-nya pas mantap. Aku rasa editor nggak akan perlu bekerja terlalu keras jika menangani naskahnya,” jawab Mahesa.
“Oh, hanya lumayan,” ujar gadis itu.
“Kenapa? Lumayan bagus kan kubilang? Salah, ya?” protes Mahesa.
Mahesa lantas menambahkan banyak pujian untuk menilai Sakura Putih. Mulai dari pengembangan premis yang menjadi maha karya yang luar biasa sehingga menghipnotis para pembaca yang kebanyakan berusia remaja. Ia juga membayangkan visual dari Sakura Putih pasti mirip anime dan elegan bagaikan putri raja.
Noni sedikit menyunggingkan senyum mendengar pujian pemuda itu pada si Sakura Putih yang tidak lain adalah dirinya sendiri.
“Eh, ngomong-ngomong. Buku Badai Lembayung yang tadi siang, bisakah kamu membiarkan aku memilikinya? Akan kubayar 2x lipat. Boleh, ya?” pintu Mahesa yang beralih topik pembicaraan pada perebutan buku tadi siang.
“Oh, elu sengaja nabrak gue, mengobrol sok akrab karena mau modusin gue? Masih soal yang tadi rupanya?” Noni tampak kesal pada pemuda itu.
“Eh, jangan salah paham. Aku beneran nggak sengaja. Kamu juga kulihat sangat akrab dengan kasir toko ini. Mungkin bosnya juga temanmu. Mereka pasti punya satu buku lagi untukmu. Aku mohon, yang tadi untukku saja, ya? Please ...,” ujar Mahesa setengah memohon.
“Jangan mimpi!” sentak gadis itu yang kemudian hendak pergi, tetapi segera ditarik oleh Mahesa.
Byuuuur!
Kopi yang dipegang oleh pemuda itu tanpa sengaja tumpah mengenai pundak dan lengan Noni. Meninggalkan bekas noda yang terkesan jorok.
“Terima kasih, kopinya,” sindir Noni yang kemudian mempercepat langkahnya.
“Eh, tunggu! Mbak cantik! Maafkan aku, aku beneran nggak sengaja! Mbak! Mbak cantik!” teriak Mahesa tetapi tidak digubris oleh gadis itu.
Noni masuk ke dalam ruangan khusus staf toko. Ia kemudian masuk lagi ke dalam ruangan yang berada di sana. Itu adalah milik temannya yang merupakan pemilik toko buku unik tersebut.
“Ada apa? Elu mandi kopi?” tanya Terry si pemilik toko.
“Sialan, elu ada baju ganti nggak?” Bukannya menjawabnya, Noni justru balik bertanya.
Terry mengambil cardigan di laci kemudian melemparkannya pada temannya itu.
“Elu bukannya tadi bilang nggak akan datang? Kenapa? Berubah pikiran?” tanya Terry mmenginterogasi
“Iya, ternyata sesuai dengan dugaan gue, kan? Membosankan,” jawab Noni.
“Membosankan, ya? Elu nggak lihat para penggemarmu di luar begitu antusias mendapatkan buku yang udah elu tandatangani? Ke mana perginya nona percaya diri? Sekarang kulihat kau seperti orang yang lemah,” ujar Terry.
“Entahlah, perkataan pemuda tadi menggangguku. Apa elu juga udah baca bukuku?” Noni balik bertanya.
“Udah. Bagus, kok. Pemuda yang mana yang merusak rasa percaya diri elu, Non?”
Noni lantas mengatakan bahwa ia baru saja bertemu dengan seorang pemuda yang mengaku sebagai penggemar Sakura Putih yang tidak lain adalah dirinya sendiri. Pemuda itu meski mengatakan cerita yang ia tulis lumayan bagus, tetapi punya banyak kelemahan dan terkesan bertele-tele. Ia cukup kagum bagaimana mungkin seorang pembaca bisa mengomentari tulisannya secara gamblang juga mendetail. Setiap alurnya dikuliti habis-habisan dan tidak sungkan untuk mengkritik.
“Dia tahu kalau elu Sakura Putih?” tanya Terry yang hanya dijawab dengan gelengan kepala oleh Noni.
“Ada yang lebih parah,” ucap Noni.
“Apa?”
“Dia ngebandingin gue sama elu. Katanya buku elu lebih bagus,” jawab Noni.
Terry Rosemary, selain pemilik toko buku unik, ia juga merupakan seorang penulis berbakat. Menurut Mahesa saat mengobrol dengan Noni, pemuda itu mengatakan mungkin seharusnya Sakura Putih lebih banyak belajar kepada Terry Rosemary. Menurut Mahesa lagi, Terry memiliki sudut pandang yang konsisten, langsung pada topik, dan sangat piawai melempar ketegangan pada pembaca.
Terry tertawa melihat temannya itu mencak-mencak saat bercerita baru saja dibandingkan dengan dirinya. Ia tidak menyangka perkataan seorang pemuda asing mampu memporak porandakan mood Noni.
“Apa pemuda yang kamu maksud itu tingginya hampir 170 sentimeter, berambut poni Korea, badannya kurus, kulitnya kuning langsat dan memakai outer kotak-kotak?” tanya Terry.
“Kok, elu tahu?”
Rupanya Terry hari ini juga sekali bertemu dengan Mahesa. Pemuda itu tadi menyusun buku di toko, memindahkan buku yang ditulis oleh Terry pada posisi yang mudah dilihat oleh pengunjung toko.
Flashback on
Seorang pemuda yang baru saja kalah rebutan buku dengan seorang gadis berkacamata hitam tampak mendesak Rey untuk memberinya satu buku yang sama dengan yang dibeli oleh Noni. Rey yang sedang sangat sibuk mengatakan buku tersebut mungkin hanya tinggal. Namun, pemuda itu tidak percaya dan kembali ke rak-rak, memeriksa dengan teliti berharap menemukan buku berjudul Badai Lembayung.
“Kak Terry, tadi Noni ke sini,” sapa Rey pada bos-nya yang baru saja kembali dari mengambil buku.
“Oiya, apa dia mencariku?” tanya Terry.
“Nggak, aku udah bilang Kak Terry pergi ambil buku,” jawab Rey.
“Oke, lanjutkan pekerjaanmu! Biar ini aku yang susun sendiri,” perintah Terry pada pegawainya.
Saat tengah menyusun buku, Terry memerhatikan susunan salah satu rak di tokonya berubah. Kemudian ia pergi ke sisi sebelah rak dan melihat seorang pemuda tengah menyusun buku-buku itu.
Gadis itu tidak ingat kapan merekrut pegawai baru. Ia juga tidak ingat pernah mewawancarai pemuda itu. Dengan kata lain, pemuda tersebut bukanlah pegawainya, melainkan pengunjung tokonya.
“Permisi, Mas. Kamu lagi apa?” tanya Terry pada Mahesa.
“Eh, maaf. Ini—” jawab Mahesa terhenti.
“Gini ya, Mas. Kalau kamu nyusunnya jadi satu begini buku lama jadi nggak diminati,” kritik Terry.
Mahesa tidak tahu jika gadis yang mengkritik cara menyusunnya adalah seorang penulis sekaligus pemilik toko buku unik.
“Gitu ya, Mbak? Tapi, menurutku buku karangan T. Rosemary ini adalah buku klasik yang sangat bagus. Jadi, harus ditempatkan di tempat yang paling mencolok,” bela Mahesa.
“Bagus, ya? Tapi faktanya nggak ada yang mau beli buku ini,” bantah Terry.
“Dari mana Mbak tahu kalau nggak ada yang beli? Emang Mbak yang punya toko, ya?” Terry mengangguk mengiyakan pertanyaan Mahesa barusan. “Oh, maaf kalau gitu, Mbak. Tapi tolong jangan mengatakan hal yang merendahkan penulis seperti itu, Mbak. Buku karangannya sangat bagus kalau T. Rosemary mendengar ucapan Mbak barusan pasti dia sedih,” lanjut Mahesa.
Terry senang sekali ternyata ada orang yang masih mengagumi karyanya. Ya, T. Rosemary adalah dirinya sendiri. Selama dua tahun terakhir ini, buku-buku karyanya masuk kategori penjualan terendah. Tidak lama lagi buku-buku itu akan menjadi barang antik koleksi pribadi di rak yang berdebu karena tidak ada yang membeli.
Namun, tiba-tiba saja ada seorang pemuda yang datang membeli enam judul sekaligus. Mahesa mengakui jika dirinya menyukai karya T. Rosemary sejak berada di bangku SMA tingkat satu.
Flashback off
“Oh, jadi bukan gue dong yang bermasalah. Tapi seleranya saja yang berbeda,” ujar Noni setelah mendengar cerita pertemuan Terry dengan pemuda yang tadi mengkritik bukunya.