Pustaka
Bahasa Indonesia

Kalau Cinta Jangan Gengsi

85.0K · Tamat
Ayla Lee
70
Bab
281
View
9.0
Rating

Ringkasan

Teman online sejak kuliah ternyata sudah menjadi penulis terkenal. Mahesa Tunggal pergi ke ibukota untuk menjadi editor. Siapa yang menyangka ternyata buku pertama yang ia editori ternyata ditulis oleh sang teman online. Sayangnya, karena selama beberapa tahun berteman di dunia maya, keduanya belum pernah berjumpa, sehingga meski bekerja sama sebagai penulis dan editor Mahesa Tunggal tidak tahu bahwa penulis sombong dan arogan tersebut adalah sahabatnya.

RomansaTeenfictionAktorCinta Pada Pandangan PertamaKampusSweetBaperWanita CantikSalah Paham

INTERVIEW

Menyeret koper di pelataran sebuah perkantoran paling diimpikan. Berasal dari kota pelajar, ini adalah kali pertama baginya datang ke kota metropolitan, Jakarta. Penampilannya sempurna, muda, dan enerjik. Ia tidak punya waktu untuk mencari tempat tinggal terlebih dahulu karena waktu interview akan berlangsung pagi ini juga.

“Namaku adalah Mahesa Tunggal. Aku baru saja meraih gelar S1 dan dapat diterima untuk bergabung bersama penerbit paling ngetop se-nusantara adalah impianku sejak lama. Sekarang aku sudah berada di sini. Ayo, Mahesa! Kamu pasti bisa ”

Pemuda itu tampak sedang bermonolog untuk menyemangati dirinya sendiri. Di tempat yang asing ini tentu ia tidak punya siapa-siapa untuk dimintai tolong. Namun, tiba-tiba ia teringat dengan teman onlinenya.

“Mbak jamu, aku sekarang udah di depan kantor penerbit paling ngetop se-nusantara. Sebentar lagi impianku bakal terwujud.”

Mahesa mengirimkan pesan kepada teman onlinenya yang entah siapa nama sebenarnya, tetapi keduanya memang selalu memanggil dengan julukan yang dibuat sengaja agar unik.

“Sukses ya, Kang ngarit! Jangan lupa, gaji pertama traktir top up diamond ke akunku!” balas teman onlinenya itu.

Sementara itu ....

Pada hari yang sama, seorang penulis paling populer datang ke kantor penerbit paling ngetop se-nusantara tersebut. Buku karangannya berada di dalam kotak kaca, dipajang seperti barang berharga yang tiada duanya. Padahal benda yang sama tampak berderet pada rak buku di kedua sisi dinding.

Gadis itu melepaskan kacamata hitam yang dikenakannya. Diraihnya satu buku yang dikarang oleh ibunya dan sudah terjual lebih dari seratus ribu eksemplar. Kedatangannya segera disambut langsung oleh sang wakil redaksi penerbitan di sana.

“Wah, mimpi apa aku semalam? Nggak nyangka akhirnya bisa ketemu langsung dengan seorang penulis yang akan mengguncang dunia pernovelan,” sambut sang wakil redaksi pada gadis berambut blonde tersebut.

“Aku nggak lama, Pak Manajer,” jawab gadis itu.

“Oh, bukan masalah. Aku tau Anda pasti sibuk. Tapi, ngomong-ngomong Anda ini benar-benar seperti yang dikatakan oleh orang-orang yang membaca buku Anda. Memiliki aura bagaikan Tuan Putri. Mengagumkan, muda dan berbakat,” puji wakil redaksi itu lagi.

“Apa kita akan bicara di sini?” tanya gadis itu dengan ekspresi dingin sama sekali tidak ramah.

“Astaga! Maaf aku lupa. Mari, sebelah sini ruanganku. Mari, mari!”

Keduanya kini berada di ruangan milik ketua redaksi penerbitan tersebut. Gadis itu duduk di atas sofa yang empuk dan nyaman. Sementara si pemilik ruangan tetap berdiri. Ia seorang penjilat yang ulung. Pujiannya sejak tadi telah membuat gadis itu mual ingin muntah.

Seorang wanita berpakaian seperti cleaning servis masuk membawakan kopi untuk tamu manajer. Tanpa menunggu agar sedikit berkurang suhunya, gadis itu segera menyesap kopi susu itu perlahan, lalu meletakkannya kembali ke atas meja sehingga menyebabkan bunyi dentingan meski pelan tetapi terdengar oleh keduanya.

Kemudian, gadis itu melihat arloji di pergelangan tangan kanannya. Menunjukkan gesture tubuh bahwa ia sudah terlalu lama di tempat ini dan harus segera pergi. Namun, wakil redaksi yang menyadari itu segera buru-buru menyampaikan tujuannya mengundang penulis populer tersebut.

“Aaaa ... jadi, begini. Kantor penerbitan kami ini adalah yang paling top se-nusantara. Dulu, buku ibu Anda benar-benar meledak di pasaran. Aku juga tahu kalau Anda ini benar-benar jenius seperti ibu Anda. Benar-benar keturunan yang sempurna. Aku membayangkan sebuah kolaborasi antara ibu dan anak yang sama-sama jenius. Pokoknya—” ujar wakil redaksi itu terhenti.

“Langsung pada intinya!” perintah gadis itu yang sudah bosan dengan basa-basi sang manajer.

“Apa?! Ah, iya. Baiklah. Sejak dulu kala, buku-buku ibu Anda juga diterbitkan oleh perusahaan kami. Buku baru Anda nanti aku yakin jika Anda mengizinkan kami untuk menerbitkannya pasti akan sangat luar biasa. Aku yakin, ibu Anda juga akan sangat senang jika Anda mengikuti jejak beliau,” terang sang manajer.

“Benarkah? Kalau begitu, bisa kau telepon orangnya untuk membuatku yakin pada perkataanmu barusan?” tantangan gadis itu yang langsung membuat sang wakil redaksi kicep.

Ketegangan terjadi di antara dua orang berbeda profesi tersebut. Sama halnya dengan yang terjadi di luar sana. Di mana Mahesa tengah bersikeras membujuk seorang wanita yang merupakan HRD kantor penerbitan paling ngetop se-nusantara tersebut.

“Bu, tolonglah!” ujar Mahesa memohon.

“Maaf, nggak bisa. Waktu wawancara sudah berakhir 15 menit yang lalu,” tolak HRD wanita tersebut.

“Bu, Bu, Bu! Aku dari Jogja, ini pertama kalinya aku ke Jakarta dan tadi aku agak tersesat. Bu, bergabung dengan perusahaan ini adalah mimpiku sejak lama. Tolong mengertilah, Bu ...,” bujuk Mahesa.

“Dan orang lain juga sebelumnya mengatakan itu padaku.” Lagi-lagi HRD itu masih belum tersentuh.

“Tapi, Bu. Aku yakin bisa menjadi editor ternama yang bisa dibanggakan oleh perusahaan ini. Di tanganku ini, akan terbit buku-buku luar biasa karena aku akan membantumu menemukan penulis-penulis hebat,” ujar Mahesa tak putus asa.

“Baik, aku mendengarmu. Jadi, saat ini, sudah ada berapa penulis di tanganmu?” tanya wanita HRD itu yang untuk sesaat membuat Mahesa terdiam.

“Eh, itu? Untuk saat ini memang belum ada, Bu. Tapi aku lulusan terbaik di kampusku, Bu. Aku nggak akan berbohong padamu, Anda bisa menanyaiku apa saja tentang perkerjaan ini, Bu. Bu! Ibu! Sebentar saja, Bu!”

Wanita berkacamata tebal tersebut terus berjalan karena ia ada janji dengan orang di luar kantor. Sementara itu, Mahesa terus mengikuti dirinya.

“Bu, tunggu dulu!” cegah Mahesa.

Wanita yang hendak menelepon itu terpaksa menghentikan langkahnya.

“Bu, ini adalah resensi milikku yang kutulis selama bertahun-tahun. Ada juga penelitian yang kutulis sendiri mengenai para penulis terlaris. Meskipun merepotkan, tetapi tolong ambil dan lihatlah. Aku berjanji Ibu tidak akan kecewa. Aku akan menjadi editor terbaik,” jelas Mahesa yang masih belum menyerah.

Wajib dengan garis wajah tegas itu menatap kesal pada pemuda tersebut. Akan tetapi, ia masih menghargai upaya pemuda itu. Ia menerima buku besar seperti album yang merupakan resensi yang ditulis oleh Mahesa. Setelah mengambil benda berbentuk kotak tersebut, ia pergi meninggalkan Mahesa dan melanjutkan aktivitas meneleponnya yang sempat tertunda tadi.

Ditatapnya punggung wanita yang bekerja sebagai HRD itu berlalu begitu saja. Mahesa menyunggingkan senyum di bibir tipisnya dengan penuh harap si HRD akan berubah pikiran setelah melihat resensi yang ia tulis.

Mahesa melihat arloji di pergelangan tangan kirinya. Masih cukup pagi, soal ia akan tinggal di mana juga belum terpikirkan. Namun, kini ia sudah berada di kantor penerbitan paling ngetop se-nusantara. Meski wawancara kali ini bisa dibilang gagal karena ia terlambat datang, tetapi berkeliling untuk melihat-lihat kantor tersebut juga sepertinya menyenangkan.

“Apa?! 20 ribu eksemplar sebagai percobaan? Kau pikir aku ke sini untuk minta sedekah?!”

Penulis yang semua orang mengira dirinya adalah gadis manis, lembut bagaikan sang putri, ternyata adalah seorang pemarah dan kaku di dunia nyata. Gadis itu meneriaki wakil redaksi penerbitan karena merasa direndahkan atau karena ia tidak setuju dengan isi kontrak yang baru saja ia baca.

“Bagaimana pun sekarang minat baca buku fisik menurun. Banyak dari mereka beralih ke media online. Angka ini tentu sangat berbeda jauh dengan ibu Anda, tapi—”

Brak!

Gadis itu menggebrak meja yang di atasnya terdapat lembaran-lembaran kontrak yang baru selesai ia baca. Kemudian, tanpa kata-kata ia meninggalkan ruangan sang manajer, lalu menuju halaman kantor, tempat mobilnya terparkir.

Duduk di balik kemudi. Ia segera mengambil ponselnya sebelum menyalakan mesin kendaraan roda empat tersebut. Kekesalannya di dunia nyata ia salurkan ke dunia maya dengan cara elegan.

‘JERIH PAYAH SESEORANG ADALAH HASIL DARI PIKIRAN DAN TENAGA. NAMUN, TERKADANG BENTUK PENGHARGAAN YANG DIDAPAT BERBEDA-BEDA, BAHKAN DALAM KASUS TERTENTU SAMA SEKALI TIDAK DIHARGAI. KE MANA PERGINYA NURANI TUAN BAIK HATI?’

Klik tombol posting. Kata-kata yang baru saja ia tulis begitu bijak dan melankolis. Bagaimana mungkin aslinya ia adalah gadis dingin dan keras hati.

Memasukkan benda pipih itu kembali ke dalam tas setelah postingannya yang dipublikasikan tujuh menit yang lalu mendapatkan 678 suka dan 123 komentar yang belum dibacanya. Ia lantas berpikir ulang mengenai yang dikatakan oleh wakil redaksi tadi tentang isi kontrak.

‘Jumlah itu terdengar nggak banyak, ya? Tapi pada masa ibu Anda, itu merupakan perolehan tertinggi bagi penulis muda seperti Anda,’ ujar wakil redaksi beberapa menit yang lalu.

‘Tapi, miliknya bukankah seratus ribu eksemplar tercetak?’ bantah gadis itu membandingkan dengan karya ibunya.

‘Iya, benar. Kala itu media online belum seperti sekarang. Jumlah yang ada di kontrak itu adalah yang bisa kita jamin, royalti ke depannya akan terus meningkat. Kami nggak hanya cetak buku, tetapi juga menerbitkan secara online. Anda bisa memperoleh royalti dari keduanya,’ pungkas sang manajer.

Penulis muda itu tampaknya berubah pikiran. Ia keluar dari mobil, lalu menutup pintu mobil dengan cara membantingnya. Namun, saat tengah berada di depan pintu masuk kantor, tiba-tiba ia menjadi ragu. Gadis itu balik badan, kemudian kembali masuk ke dalam mobil, lalu melakukan kendaraan beroda empat tersebut dengan kencang.

Thiiiiin!

Mahesa terperanjat dan segera menepi, menjauh dari tempatnya berjalan. Mobil itu hampir saja menyerempetnya yang sebenarnya sudah berjalan di tempat yang benar. Di dalam mobil tersebut adalah penulis favoritnya yang postingannya sedang ia baca dan bersiap untuk memberikan komentar positif.

“Astaga ... kasar sekali pengemudi itu. Membuat kaget dan ceroboh. Orang seperti apa yang ada di dalam sana,” gerutu Mahesa kesal.

Pemuda itu kemudian melanjutkan aktivitas mengetik kata-kata pada kolom komentar postingan penulis favoritnya. Ia juga dengan sabar menunggu taksi online yang sejak tadi dipesannya.

‘AUTHOR MEMANG BIJAK DAN BERHATI LEMBUT. KAMU SANGAT MENGINSPIRASI, BAHKAN SAAT KESAL SAJA MASIH BERPIKIR JERNIH DAN MENEBARKAN HAL POSITIF.’

Tidak hanya dirinya, ratusan komentar lainnya juga berisi senada dengan yang ia tulis. Sungguh author idaman. Sosok misterius yang hanya dikenal dengan caranya menulis, setiap kalimat yang ditulis selalu membuat orang berpikir betapa lembut dan santunnya author tersebut.

Taksi yang dipesan Mahesa akhirnya datang juga. Ia meminta pengemudi untuk mengantarnya ke toko buku yang terkenal unik di kota itu. Setelah ini, ia masih bingung akan kembali ke Jogja atau tinggal sementara waktu di ibukota. Pasalnya, interview telah gagal dan di kota besar ini, ia tidak kenal siapa-siapa.