DEWI FORTUNA
Ciiiiiiiiiit!
Gadis itu dengan kasar memarkirkan mobilnya. Ia juga punya kebiasaan membanting pintu mobil. Dengan langkah congkaknya, ia baru saja masuk ke dalam toko buku paling unik di kota ini.
Bukan karena uniknya ia singgah. Akan tetapi ada dua hal yang menjadikan alasan kenapa ia berada di tempat tersebut sekarang. Pertama, ia sedang mencari referensi bacaan yang segar dan unik, sehingga ia perlu membeli buku langka yang sudah berhari-hari ia searching di internet.
Kedua, bos pemilik toko buku ini adalah temannya. Ya, meski keduanya tidak seusia tapi mereka cukup dekat, maka dari itu tidak heran jika para pegawai di sana begitu akrab dengannya, menyapa hangat bagaikan teman.
“Rey! Di mana bos kalian?” tanya gadis itu pada pemuda seusianya yang berdiri di balik meja kasir.
“Dia pergi mengambil buku. Udah janjian mau ketemu, ya?” Rey balik bertanya pada gadis yang mengenakan kacamata hitam meski sedang berada di dalam ruangan.
“Nggak, ah! Aku emang mau beli buku untuk referensi. Ngomong-ngomong apa di sini ada buku Badai Lembayung?” tanya gadis itu.
“Badai Lembayung, ya? Itu buku yang langka. Bosku kalau menata buku emang rada-rada unik dan berpindah-pindah. Ummm, gimana kalau kamu cari sendiri di sebelah sana!” tunjuk Rey.
Bukan tidak ingin membantu teman bos-nya. Akan tetapi, hari ini adalah akhir bulan. Rey sedang sangat sibuk berkutat dengan pembukaan administrasi toko tersebut.
Hanya karena dirinya teman baik si pemilik toko, tidak lantas membuatnya selalu ingin dilayani. Gadis itu meninggalkan Rey, lalu pergi mencari sendiri di area yang tadi ditunjukkan oleh Rey.
Tak lama kemudian, Mahesa masuk ke dalam toko buku yang sama tempat gadis itu berada. Ia langsung bertanya pada pemuda yang berada di meja kasir.
“Mas, buku Badai Lembayung ada nggak?” tanya Mahesa pada Rey.
“Wah, Bang. Coba Abang cari sendiri, ya! Di sebelah sana coba,” jawab Rey menunjukkan arah yang sama seperti saat memberi tahu teman bos-nya tadi.
“Oh, baiklah. Makasih ya, Mas ...,” ujar Mahesa kemudian. Ia lantas menitipkan kopernya di dekat kasir, lalu mulai mencari buku yang diinginkan.
Mahesa memeriksa setiap rak dengan teliti. Ada ribuan buku di tempat tersebut. Dan akhirnya ....
“Waaah, di atas sana rupanya. Beruntung aku, cuma ada satu,” gumam Mahesa bermonolog.
Pemuda itu celingukan mencari tangga. Namun, sepertinya tidak ada tangga yang diletakkan di area tersebut. Kendati demikian, masih bisa memakai kursi. Mahesa bukan pria yang tinggi, tetapi tidak pula pendek. Tinggi badannya hanya sekitar 168 sentimeter saja. Masih kalah tinggi jika dibandingkan dengan teman-temannya yang bisa mencapai 180 an sentimeter.
“Dapat! Eeeeee ...!”
Bughh!
Buku itu jatuh ke lantai dan dipungut oleh seorang gadis berkacamata hitam. Mahesa tersenyum pada gadis tersebut, tetapi tidak dibalas. Ia segera turun dari kursi tempatnya berdiri untuk mengucapkan terima kasih.
“Mbak, makasih loh!” ujar Mahesa yang mengulurkan tangannya untuk meminta buku tersebut.
“Buku yang bagus,” ujar gadis itu. Ia lantas membawanya ke kasir dan Mahesa mengikuti dirinya.
Sesampainya di kasir, gadis itu segera meminta Rey untuk men-scan harganya juga memasukkannya ke dalam kantong.
“Mbak, nanti uangnya aku transfer, ya? Scan berkode, ada aplikasinya, kan?” cerocos Mahesa yang tidak dipedulikan oleh gadis tersebut.
Mahesa hendak mengambil kantong berisi buku tadi, tetapi langsung disambar oleh gadis yang baru saja menyelesaikan pembayaran untuk buku tersebut.
“Buku ini milikku. Elu ambil lagi sana!” ketus gadis itu, lalu melenggang meninggalkan Mahesa yang masih mematung di depan meja kasir menatapnya keluar dari toko buku.
“Lah?! Kok, diambil? Bukunya tinggal itu,” sesal Mahesa kemudian.
Mahesa bertanya pada pegawai toko buku tersebut mungkin mereka punya satu lagi yang tidak dipajang. Akan tetapi sayangnya buku tersebut memang langka sehingga mereka tidak bisa menjamin adanya stok lain, selain yang dibeli oleh gadis tadi.
Pemuda itu kemudian dengan langkah gontai keluar dari toko buku. Ditatapnya matahari yang mulai terik. Perutnya juga mulai keroncongan. Sudah setengah hari luntang lantung masih belum juga kepikiran hendak tinggal di mana.
Klik!
Sebuah pesan masuk membuyarkan lamunan pemuda itu. Sahabat onlinenya baru saja mengumumkan pesan.
“Kang ngarit, gimana wawancaranya? Kapan mulai kerja? Kok, nggak ngabarin, sih!” Begitulah isi pesan tersebut yang segera dibalas oleh Mahesa.
“Wawancara Gatot alias gagal total. Aku tadi terlambat 15 menit,” jawab Mahesa.
“Hmm, udah cocok jadi tukang ngarit ngapain jadi editor? Sekarang lagi apa dan di mana?” balas temannya.
“Lagi mau makan. Sial banget aku. Tadi rebutan buku Badai Lembayung sama cewek. Nggak usah ditanya siapa yang menang? Sudah pasti bukan aku,” keluh Mahesa.
“Oiya, kebetulan aku baru aja beli di toko buku milik temenku. Kamu benar menginginkannya nanti kukasih ke kamu aja,” balas teman Mahesa tersebut.
Keduanya mengakhiri obrolan mereka via chat saat makanan yang dipesan Mahesa datang. Satu suapan, tiba-tiba ia teringat dengan sosok yang membanting pintu dan tampak kesal saat berpapasan dengannya di kantor penerbitan tadi.
“Kok, Mbak yang di toko buku tadi kayaknya mirip sama Mbak yang di kantor tadi. Apa iya, ya?” gumam Mahesa yang masih kepikiran dengan gadis yang berebut buku dengannya tadi.
Kriiiiiing!
Mahesa tersentak saat ponselnya tiba-tiba berdering saat ia sedang melamun.
“Halo!”
“Datang ke kantor sekarang, ini dari kantor penerbitan paling ngetop se-nusantara.”
Mendengar nama perusahaan impiannya disebutkan oleh si penelepon, Mahesa segera bergegas. Ia meninggalkan nasinya yang baru satu suap dimakan. Setelah membayar makanan dan minuman tersebut, pemuda itu buru-buru kembali ke kantor penerbit tadi.
“Bu HRD, Anda memanggilku? Aku tahu pasti Anda akan terkesan setelah melihat resensi yang kutulis,” ujar Mahesa dengan percaya diri.
“Kamu benar. Di sini ada dua hal yang akan kuberi tahukan padamu, Mahesa Tunggal. Pertama, aku adalah ketua redaksi bukan HRD. Kedua, buka file di tanganmu itu baru kamu akan tahu yang kedua,” perintah Ines yang ternyata adalah ketua redaksi.
Mahesa membuka file di tangannya dan seketika isinya berhamburan ke lantai. Ternyata, ia salah memberikan file kepada Ines. Resensi yang dimaksud masih tersimpan rapi di dalam koper. Sementara di hadapannya ini adalah surat-surat pribadi miliknya.
“Sudah paham? Sekarang bereskan itu semua dan pulang lah!” perintah Bu Ines yang kemudian meninggalkan Mahesa.
Langkahnya terhenti oleh Pak Siwon yang merupakan wakil ketua redaksi di kantor penerbitan paling ngetop se-nusantara tersebut. Pria itu memberi tahu jika akan ada yang datang. Orang tersebut barusan menelepon ingin bertemu. Baru saja dibicarakan tiba-tiba orang itu muncul.
“Imel, Anda rupanya?” ujar Ines yang tampak kurang suka dengan kedatangan wanita itu.
Keduanya sama-sama berprofesi sebagai ketua redaksi tetapi dari kantor penerbitan yang berbeda. Sejak SMA mereka memang rival. Imel merupakan ketua redaksi dari kantor penerbitan paling beken se-nusantara. Dua perusahaan tempat mereka bekerja pun juga sudah sejak lama bersaing.
Kali ini, Imel datang untuk mengambil alih hak cipta sebuah novel terlaris sepanjang masa yang sebelumnya terbit di penerbitan paling ngetop se-nusantara yang dipimpin oleh Ines. Dengan kontrak salinan di tangan, wanita itu memberikan bukti pada temannya SMA-nya dulu jika sudah semestinya mereka menyerahkan hak percetakan kedua pada penerbitan paling beken se-nusantara.
Ines dan Siwon membuka lembar demi lembar salinan kontrak tersebut. Saat ini buku tersebut sedang dipasarkan di media online dan royalti mengalir deras. Jika hak ciptanya berakhir, maka penerbitan paling ngetop se-nusantara akan rugi besar.
Mahesa yang sedari tadi menguping pun akhirnya mengendap-endap lebih dekat. Tanpa mereka sadari, pemuda itu sudah berdiri di samping Ines dan ikut membaca salinan kontrak tersebut.
“Permisi, maaf kalau nggak sopan. Tapi di sini bukannya ditulis kontraknya 5 tahun? Coba deh hitung ulang! Perasaan buku yang dimaksud itu awal terbit pas aku kelas 3 SMA. Itu berarti tiga setengah tahun yang lalu, bukan?” ujar Mahesa memecahkan ketegangan di antara dua kubu tersebut.
“Aaaa, bocah ini benar,” sahut Siwon. “Kontraknya dimulai dari pertama kali diterbitkan secara fisik, bukan dari si penulis dan editor mengerjakan naskah,” imbuhnya.
“Sudah jelas, Mel? Kami masih memiliki hak cipta atas buku itu. Jadi, silahkan datang satu setengah tahun lagi,” ujar Ines penuh kemenangan. Ia kemudian mengembalikan lembaran-lembaran salinan kontrak tersebut kepada Imel.
“Baik. Anak muda ini, siapa namamu?” tanya Imel.
“Mahesa. Mahesa Tunggal namanya. Dia orang kami,” jawab Ines cepat sebelum Mahesa membuka mulutnya.
Mendengar pernyataan Ines barusan, pemuda itu langsung berbunga-bunga. Itu artinya ia baru saja diakui sebagai bagian dari penerbitan paling ngetop se-nusantara. Itu berarti ia telah diterima untuk bekerja di kantor penerbitan yang megah ini.
“Mahesa, ya? Ini, simpan kartu namaku. Kalau kamu nggak betah kerja di sini, penerbitan paling beken se-nusantara akan membuka pintu lebar-lebar untukmu,” ujar Imel saat memberikan sebuah kartu nama kepala Mahesa. Wanita berambut seperti polwan itu kemudian melenggang dengan anggun meninggalkan mereka bertiga.
“Ehem!” Ines berdehem saat Mahesa memasukkan kartu nama Imel ke dalam saku kemejanya.
“Eh, Bu Ines. Tenang, Bu! Aku akan setia pada penerbitan paling ngetop se-nusantara,” ujar Mahesa meyakinkan wanita di hadapannya yang mulai detik ini menjadi atasannya.
Ines dan Siwon berjalan ke ruangan para editor diikuti oleh Mahesa. Ada meja kosong yang diperuntukkan bagi editor baru yang akan ditempati oleh Mahesa mulai besok.
“Masa percobaan tiga bulan, selama percobaan gaji kamu 4 juta, masuk pukul 08.00 pagi dan pulang pukul 04.00 sore, kecuali lembur. Selain hari Minggu, selama masa percobaan jangan sekali-kali izin nggak masuk kerja. Kami nggak mentolerir pemalas dan pembangkang. Jangan terlambat untuk besok,” terang Ines yang kemudian pergi meninggalkan Mahesa diikuti oleh Siwon.
Pemuda itu tidak percaya jika aksi heroiknya tadi membuat ketua redaksi yang sebelumnya menolaknya mentah-mentah, kini memberikan kesempatan. Sepertinya kesialan hari ini telah berakhir.
“Ines, bukannya tadi pagi kita sudah menerima dua anak magang? Kenapa mengambil satu lagi?” protes Siwon saat keduanya sudah berjalan cukup jauh meninggalkan ruangan tim editor.
“Kamu nggak denger apa yang kukatakan pada Imel tadi? Bagaimana mungkin aku mencabut kembali keputusanku,” jawab Ines.
“Apa nggak cukup dengan berterima kasih saja pada pemuda itu?” protes Siwon lagi.
Ines menghentikan langkahnya kemudian melotot ke arah wakil redaksi itu. Sontak, Siwon langsung kicep dan memalingkan wajahnya. Jika Ines sudah marah, jangankan dirinya, CEO sekali pun takut pada wanita itu.