Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BUKAN FANS FANATIK

Direktur redaksi mengumpulkan Ketua redaksi, wakil ketua redaksi, Romi juga Mahesa yang kebetulan berada di sana. Mereka semua kini berada di ruangan direktur yang sudah dua bulan ini dibiarkan kosong begitu saja.

“Siwon, kudengar kau mengundang Sakura Putih?” tanya Pak direktur.

“Emmm, Pak. Begini, Sakura Putih itu meski hanya memiliki satu buku, dia nggak akan berbeda jauh dengan ibunya. Aku pikir dia lumayan sebagai pendatang baru bukunya cukup laris,” jawab Pas Siwon.

Sakura Putih meski akhir-akhir ini menjadi idola para remaja, tetapi jam terbang sebagai penulis masih terbilang sangat baru jika dibandingkan penulis sebelumnya. Bukan meragukan kredibilitas seorang Sakura Putih, melainkan Pak Direktur sendiri sebenarnya menginginkan gebrakan yang luar biasa di dunia kepenulisan.

“Begitu, ya? Selain Sakura Putih, apa ada kandidat lain?” tanya Pak direktur.

Mahesa yang berdiri di belakang ketua redaksi pun angkat bicara. Penulis dengan nama pena Sakura Putih memang favoritnya baru-baru ini. Akan tetapi, T. Rosemary adalah penulis novel favoritnya sejak lama.

“Pak, kalau boleh aku merekomendasikan T. Rosemary,” cetus Mahesa.

“Siapa katamu?! T. Rosemary?! Mahesa, bukankah kau ini sarjana ekonomi? Apa kau nggak tahu kalau penulis yang baru saja kau rekomendasikan itu mengalami penurunan dalam penjualan buku. Kalau usulan itu menurutmu apa nggak mempengaruhi saham potensial perusahaan ini?” ketus Pak Siwon yang kurang setuju saat mendengar Mahesa merekomendasikan T. Rosemary.

Mahesa tentu belum memikirkan kalimat yang tepat untuk menjawab atasannya itu. Namun, tiba-tiba saja ketua redaksi menyela.

“Nggak bisa dipungkiri memang. Sejak T. Rosemary dan Imel dari penerbitan paling beken se-nusantara berhenti bekerja sama, dua karyanya gagal berturut-turut,” ujar Ketua redaksi.

Ines bukan ingin membela Pak Siwon atau memojokkan Mahesa. Ia hanya mengungkapkan fakta di lapangan selama setahun ini, T. Rosemary masuk dalam daftar penulis dengan penjualan buku terendah.

Pak direktur pun manggut-manggut mendengar perkataan ketua redaksi barusan. Sayangnya, Mahesa tidak lantas pesimis dan masih ingin membela penulis favoritnya.

“Nggak apa-apa kan kalau hanya dua kali gagal? Baru dua kali, bukan?” ceplos Mahesa.

“Apanya yang nggak apa-apa? Ini sudah menyangkut dengan pekerjaan semua orang di departemen editorial kita. Apa kau mikir kita sedang bermain-main sehingga punya banyak kesempatan? Terus, kau berpikir akan bisa membangunkan mastah yang tertidur, begitu? Kalau bisa begitu berarti kau lebih hebat dari Imelda,” omel Pak Siwon yang sangat tidak setuju dengan Mahesa.

Pak direktur tidak ingin keadaan menjadi semakin panas. Ia tahu bagaimana Suwaon adalah orang yang berprinsip dan terkadang sangat otoriter. Sementara editor baru itu, ia baru bertemu dengan Mahesa sekali ini.

“Siwon, juga yang lainnya. Dengarkan aku ... pada awalnya, T. Rosemary ditemukan dan dibesarkan oleh penerbitan paling ngetop se-nusantara ini. Terlepas kemudian ia berpaling ke tempat Imelda. Akan tetapi, nggak ada salahnya jika kita memberikan T. Rosemary kesempatan kedua,” terang Pak direktur yang mengejutkan mereka berempat.

Mahesa tampak menahan senyumnya. Ia tentu sangat senang karena perusahaan tempat ia bekerja akan merekrut dua penulis favoritnya sekaligus. Sakura Putih dan T. Rosemary. Dengan demikian, kesempatan untuk bertemu langsung dengan dua penulis itu bukan hal yang mustahil lagi.

Meeting dadakan selesai. Mereka kembali ke ruangan tim editor, kecuali ketua redaksi yang memiliki ruangan khusus. Sementara Siwon sebagai pengawas langsung para editor, ia sengaja ditempatkan dalam ruangan yang sama dengan para editor.

Tampak Randu sedang memasukkan ikan ke dalam akuarium berukuran besar di ruangan tersebut. Mahesa memerintahkan yang dilakukan oleh editor seni rupa itu. Ia berpikir kenapa saat meeting pun pemuda berkacamata itu juga tidak dilibatkan. Sementara Riky sedang cuti, bukankah masih ada Randu yang tidak ikut meeting tadi?

Lamunan Mahesa buyar tatkala Pak Siwon memanggil dirinya juga Romi. Namun, lagi-lagi Randu terlewatkan.

“Romi, Mahesa! Ke sini sebentar!” panggil Pak Siwon yang tetap duduk di kursi nyamannya.

Kedua pemuda itu pun segera menghadap. Tampaknya atasan mereka hendak menyampaikan sesuatu yang penting.

“Kalian sudah dengar tadi Pak Direktur bilang apa? Siapa yang lebih dulu menandatangani kontrak, adalah pemenangnya, mengerti?”

Rupanya antara Romi dan Mahesa ada kompetisi antar editor. Keduanya harus membujuk T. Rosemary supaya bersedia bergabung dengan redaksi mereka dan menandatangani kontrak.

“Aku adalah penggemarnya selama bertahun-tahun sejak SMA, Pak. Anda tenang saja, T. Rosemary pasti kumenangkan,” ujar Mahesa penuh semangat.

“Wah, kalau begitu aku nggak boleh santai-santai, nih! Baiklah, aku nggak akan membiarkan Mahesa menang dengan mudah,” balas Romi tak mau kalah.

Keduanya lantas tertawa terbahak-bahak dan melakukan tos. Ya, itu bukan persaingan antar musuh, hanya sebuah kompetisi antar editor saja sesama pegawai di redaksi tersebut.

Pak Siwon melihat sosok editor baru itu sepertinya akan menjadi saingan berat bagi Romi yang notabene masih memiliki hubungan keluarga dengan dirinya. Romi meski tidak dibackup oleh Pak Siwon sebenarnya juga seorang editor handal dan pekerja keras.

Pukul 16.00 Mahesa meninggalkan kantor penerbitan paling ngetop se-nusantara. Ia baru saja mengakhiri jam kerjanya hari ini. Tidak ingin langsung pulang, pemuda itu pun mampir ke toko buku paling unik milik Terry.

“Selamat datang!” sapa Rey menyambut kedatangan Mahesa.

Pemuda itu tersenyum lebih leluasa. Mahesa sangat sering mengunjungi toko buku tersebut sejak tinggal di Jakarta. Hal itu tentunya membuat Rey dan Mahesa menjadi akrab dengan sendirinya, tak terkecuali si pemilik toko.

“Datang beli atau baca saja?” tanya Terry yang tiba-tiba muncul.

“Hehehe, kali ini aku beli. Buku Mendaki Awan milik author Sakura Putih pasti dijual di sini, bukan?” tanya Mahesa.

Selang beberapa menit, pintu toko buku dibuka oleh seorang gadis yang beberapa waktu lalu rebutan buku dengan Mahesa. Keduanya lagi-lagi bertemu untuk yang ketiga kalinya.

Noni membawa satu tas buku untuk diberikan kepada Terry. Mengabaikan pemuda yang sedang mencari-cari buku, Noni menghampiri Terry yang berdiri di depan meja kasir.

“Ini, semua buku yang elu cari,” ujar Noni pada pemilik toko buku sembari menyerahkan satu tas penuh dengan buku.

“Bagus elu datang. Lihat, tuh! Pemuda itu lagi, kali ini dia penggemar elu. Barusan bilang mau beli buku Mendaki Awan,” terang Terry menunjuk Mahesa yang tidak memerhatikan mereka.

“Itu namanya dia sudah berada di jalan yang benar,” sindir Noni.

Gadis itu lantas menghampiri Mahesa. Tampak Mahesa sibuk mencari buku berjudul Mendaki Awan di antara tumpukan buku-buku. Memang sangat laris, jika beruntung mungkin ia akan menemukannya meski satu saja.

“Ehem!” Noni berdehem, mengejutkan Mahesa. “Bukannya tempo hari elu bilang buku Mendaki Awan itu nggak menarik dan bertele-tele?” sindir Noni.

“Eh, siapa bilang? Mana ada aku bilang buku Mendaki Awan nggak menarik?” bantah Mahesa.

“Huh! Nggak mau ngaku, padahal udah ketangkap basah,” ejek gadis itu.

Mahesa melihat buku yang sedang dipegang gadis itu. Itu merupakan buku terlaris yang ditulis oleh ibu dari author Sakura Putih.

“Waaah, kamu ternyata penggemar ibu dan anak sekaligus,” cetus Mahesa.

Brak!

Noni melihat buku yang sebenarnya tidak sengaja ia ambil dari tumpukan buku-buku di sana. Sadar ternyata itu buku karya ibunya, ia langsung melempar buku tersebut. Keduanya meski ibu dan anak, tetapi hubungan mereka kurang harmonis.

“Ibu dan anak apa?! Untuk apa membaca buku cengeng seperti ini!” gusar gadis itu, tetapi Mahesa justru tertawa.

“Sekarang siapa yang ketangkap basah tapi nggak ngaku? Lagi pula apa buruknya ngefans sama penulis legend?” balas Mahesa.

“Lu jangan nyerang personal gue!”

“Apa?! Kan, kamu yang duluan memprovokasi aku. Masih menyalahkan orang,” balas Mahesa lagi.

Noni melotot ke arah pemuda itu. Ia lalu mengambil setumpuk buku karangan ibunya, kemudian memindahkannya ke meja lain. Mahesa yang melihat tingkah konyol gadis itu pun tak terima.

“Eh, kenapa dipindahkan? Buku ibu dan anak bukankah bagus berada pada satu meja?” protes Mahesa.

“Buku kuno, penulis kuno!”

Noni sangat tidak menyukai buku karangan sang ibu. Ia bahkan tidak rela jika buku karangannya disandingkan dengan milik sang ibu.

“Kuno?! Kamu tahu kalau buku yang kamu sebut kuno itu sudah dicetak berkali-kali dan selalu laris? Itu bukan kuno, itu klasik. Dengar itu, Mbak! Klasik dan kuno itu beda,” protes Mahesa lagi dan lagi.

Sementara Noni sudah tidak lagi menggubrisnya. Ia setelah memindahkan buku ibunya, berlalu ke meja kasir di mana Terry sekarang berada untuk menggantikan Rey yang sedang beristirahat.

“Terry, tokomu ini kenapa bisa ada monster masuk?” komplain Noni pada sahabatnya yang merupakan pemilik toko buku itu.

Mahesa mendengar sindiran Noni terhadap dirinya. Ia mengambil satu buku Mendaki Awan, lalu membawanya ke kasir.

“Benar yang dia katakan, ada monster di sini,” ucap Mahesa yang membuat Terry tersenyum melihat dua pelanggannya itu saling sindir.

“Buku yang bagus, butuh kantong plastik, Mas?” tanya Terry setelah memberikan uang kembalian kepada pemuda berponi Korea itu.

“Nggak usah, Mbak. Permisi!”

Mahesa meninggalkan dua gadis yang sebenarnya adalah penulis favoritnya. Moodnya jadi kurang bagus setiap bertemu dengan salah satu dari mereka, yaitu Noni.

Sama halnya dengan pemuda itu. Noni juga selalu dibuat merasa kesal setengah mati setiap bertemu dengan Mahesa. Keduanya yang sudah dewasa jadi bertingkah kekanak-kanakan jika sudah sebal kepada satu sama lain.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel