6. Balikan? No!
Coklat karakter buatan Loi tergeletak di permukaan meja, sedang bocah itu sendiri bertumpu tangan di atas meja serupa serta menempelkan dagu di atasnya.
"Tuan Loi! Ayo mandi!" Kepala Pelayan kediaman Vengo sudah berseru dari kejauhan.
Loi tak berkutik, dia memandang coklat karakter nya seperti sedang terhipnotis.
Kebetulan Vengo baru saja ke luar kamar. Melihat Loi demikian, dia secara naluriah mengerutkan kening beberapa saat.
"Coklat karakter?" Yang Vengo tahu, Loi tidak suka makan coklat. Jadi pria itu segera turun, dan bertanya secara tak sabar.
"Sejak kapan kamu suka coklat?"
Lamunan Loi memecah, bukannya menjawab pertanyaan Vengo, dia justru mengenalkan coklat tersebut. "Coklat ini buatanku sendiri, Ayah."
"Hm." Wajah Vengo tampak datar.
Loi menambahkan, "Kak Aygul yang mengajariku!"
Vengo terkejut. 'Dia.'
"Oh, ya, Kak Aygul ternyata punya banyak coklat karakter, sama seperti Vion," tambah Loi bersemangat.
"Oh, ya, Kak Aygul sendiri yang bawa kami ke rumahnya. Rumah Kak Aygul ternyata dekat dari sini." Lagi lagi Loi sangat bersemangat.
"Tapi Kak Aygul bilang, Anak-anak jangan banyak makan coklat atau makanan manis, nanti cepet tua," lanjut Loi mengikuti gaya bicara Aygul.
Vengo tersenyum satu sisi.
"Ayah jangan buang coklat itu, yah. Simpan saja di lemari es, aku mau mandi." Setelah bercerita panjang lebar, Loi menuruni kursi dan setengah berlari menyusul kepala pelayan.
Coklat karakternya masih di tempat yang sama. Vengo memandangi coklat itu sebelum membawanya ke lemari pendingin.
***
"Ayah mau, 'kan kalau Kak Aygul jadi ibunya Loi?"
Seringkali Loi bertemu wanita yang 'berhubungan' dengan Vengo. Entah itu teman bisnis, teman lama atau perempuan yang keluarga Gao carikan sebagai istri Vengo; seperti kali terakhir bertemu di acara makan malam keluarga besar. Hanya saja, tak satupun dari mereka berhasil menarik perhatian Loi.
"Kalau Ayah mau, minggu besok Loi sampaikan ke Kak Aygul." Karena berpikir mereka bisa bertemu lagi di taman, Loi sampai merencanakan ini.
Loi hanyalah bocah, setiap ucapannya selalu jujur dan murni.
Sejujurnya Vengo geli mendengar ocehan bocah itu, tetapi dia saat bersamaan dia juga berharap Aygul bisa menjadi ibu sambung Loi.
"Bagaimana Ayah?" Loi tidak main-main, dia menunggu jawaban Vengo dengan wajah bulat yang serius.
"Begini." Setelah sepanjang hari ini Loi terus membicarakan Aygul, sudah seharusnya Vengo segera memberi pengertian.
"Hm... selain Kak Aygul, apa kamu tidak minat ibu lain? Misalnya yang kemarin---"
"Nggak!"
Luar biasa!
Bocah sekecil Loi benar-benar tahu selera. Dia langsung menolak tanpa basa-basi. Bahkan bibirnya langsung manyun, dan tangannya melipat di atas dada.
"Ayah tidak punya kenalan secantik Kak Aygul," ungkap Loi.
Sekali lagi!
Bocah seusia Loi selalu jujur dan murni. Tentu saja ucapannya tidak keliru.
Selain cantik, Aygul memiliki sifat yang jujur. Gadis itu tidak suka berpura-pura, atau lebih tepatnya suka terang-terangan.
Seperti sekarang... Aygul memasuki mini market dan ke luar membawa dua bungkus rokok.
Tidak jauh dari mini market merupakan tempat bebas rokok. Di sana juga terdapat kedai-kedai kecil yang menjajakan makanan jalanan, aksesoris, pakaian murah, dan masih banyak lagi.
Untuk menikmati hidup yang damai, Aygul pergi ke salah satu resto kecil. Memesan semangkuk pangsit pedas dengan tambahan daging melimpah dan segelas bir.
Sudah lama Aygul tidak datang ke tempat ini. Sekarang dia tampak begitu menikmati, hingga merokok pun sampai habis tiga batang.
Di tempat ini banyak sekali pengunjung yang merokok, tetapi tak satupun dari mereka seorang perempuan.
Perempuan di kota ini biasanya selalu menjaga diri. Jika mereka perokok, mungkin akan merokok secara diam-diam. Misalnya di dalam kamar.
Karena itu kemunculan Aygul yang terang-terangan merokok mengundang banyak perhatian. Terlebih juga karena wajahnya cantik tak biasa.
"Aku tahu kamu pasti akan ke sini." Entah kapan datangnya, Nathan tiba-tiba muncul di hadapan Aygul.
Fyuh!
Aygul mengepulkan asap rokok dari mulutnya. Lantas dengan santai dia bertanya, "Ada urusan apa?"
Nathan menyeret kursi, dan menghempaskan bokong tanpa ragu. "Tolong jangan abaikan aku, Gul! Aku tahu kamu masih mencintaiku. Dua tahun kita bersama, tidak mungkin kamu melupakanku begitu saja."
Nathan tampak seperti memohon-mohon, sedang di mata Aygul... selain rokok di tangan, tak ada lagi yang menarik.
"Gul." Nathan memberanikan diri menggenggam tangan Aygul. "Kita balikan, yah?"
Aygul melirik tajam tangannya. Secara tidak langsung dia memerintah Nathan enyah dari sana.
Seolah mengerti bahasa mata Aygul, Nathan perlahan-lahan menarik diri meski sedikit tak rela.
"Kamu benar," balas Aygul, "dua tahun bukan waktu yang sebentar, terlebih selama dua tahun itu kita sudah melewatkan banyak lika-liku."
Nathan manggut-manggut, entah sejak kapan dia merasa lebih percaya diri. "Setelah berpikir matang-matang semalaman penuh, aku memutuskan ingin menikahimu lebih dulu. Tak peduli bagaimana pendapat orang tuaku, kita akan menikah."
"Begitu?" Santai dan tenang tanggapan Aygul.
"Kamu jangan khawatir! Irina tidak akan tahu hubungan kita, dia akan mengira aku masih lajang," sambung Nathan.
Sampai detik ini Aygul mengerti. Intinya tidak berubah. Aygul masih orang kedua yang harus disembunyikan, sedang Irina; selingkuhan Nathan adalah wanita utama yang dipublikasikan.
Aygul tidak bodoh, dia melanjutkan, "Idemu lumayan juga, sayangnya aku tidak tertarik."
Wajah Nathan yang awalnya tampak sangat berantusias, sekejap mata berubah masam.
"Jika tidak ada urusan lain silahkan pergi," usir Aygul tanpa perasaan jengkel.
Nathan masih di tempat. Sepertinya dia tidak akan pergi semudah itu. Lagi pula setelah memutuskan Aygul, dia kesulitan menghubungi gadis itu, bahkan ketika mendatanginya di apartemen, dia mendapat penolakan mentah-mentah.
Hari itu Nathan berpikir, Aygul hanya masih marah, paling-paling beberapa hari lagi akan membaik.
"Ok! Aku pasti pergi tapi tolong renungkan ideku,Gul. Kamu tahu alasanku melakukan semuanya, kamu paling tahu!" tegas Nathan.
Aygul manggut-manggut. "Ya aku tahu."
Nathan kembali tersenyum sumringah.
Aygul melanjutkan, "Karena sudah tahu itulah, aku semakin yakin tidak ingin balikan. Yah, lagi pula aku tidak cinta buta padamu."
Benar!
Selama dua tahun ini, Aygul tidak gila cinta. Kalaupun dulu Nathan bicara baik-baik akan memilih wanita lain, Aygul tak akan menghalangi pria itu.
Alasan Aygul menangis di hari dirinya diputuskan, bukan lantaran dia diselingkuhi, melainkan cara Nathan mencampakkannya yang keterlaluan.
Aygul sangat menghargai diri sendiri, sementara orang lain menginjak-injak sesuka hati.
Masalah ini, siapa yang tidak sakit hati?
"Aku tidak percaya." Nathan menolak yakin, dia benar-benar mengira gadis yang dipacarinya selama dua tahun itu sangat mudah dikuasai.
Aygul bergeming. Tampaknya dia tengah berpikir. Kemudian dia tak sengaja mengingat Vengo, dan secara bersamaan sebuah ide terlintas dalam benaknya.
"Tidak masalah jika kamu tidak percaya," ucap Aygul, "bulan depan orang lain akan melamarku, saat itu kamu akan melihat pria tampan mana yang pantas bersanding denganku."
Deg!
Seketika Nathan membeku.
Aygul meneguk bir terakhirnya lalu beranjak pergi seraya mengepulkan asap rokok.
"Melamar?" Mengulang kata ini, Nathan tanpa sadar terkekeh-kekeh linglung. "Melamar?"