7. Rain.
Hari berganti hari dengan cepat.
Rasanya baru kemarin minggu, sekarang sudah minggu lagi.
Sayang sekali minggu pagi ini malah turun hujan. Loi yang biasanya pergi ke taman ditemani Vion, sekarang cemberut di kamarnya sambil memandangi rintik demi rintik meninggalkan lingkaran kecil di atas tanah.
Di hari yang sama, Aygul sibuk merenovasi unit apartemennya mulai dari mengganti posisi barang-barang, membeli sofa baru sampai mengganti cat tembok.
Nathan seharusnya pernah singgah di sana beberapa kali. Tidak ingin terus menerus merasa jijik jika teringat, Aygul rela merogoh kocek sekaligus mengeluarkan banyak tenaga.
Tepat ketika hujan reda, Aygul baru selesai mengecat kamar. Dia membersihkan diri sebentar sebelum keluar mencari makan.
Aygul selalu masak kecuali hari sabtu dan minggu. Di dua hari itu, Aygul lebih suka makan di luar atau beli secara online.
Hari ini dia sangat berselera makan di luar, tujuan utamanya adalah restoran masakan Thailand yang baru dibuka sekitar satu pekan lalu.
Musim gugur rawan hujan. Benar saja. Tak lama setelah gadis itu menyelesaikan makanannya, hujan mengguyur deras.
Udara lumayan dingin tapi sialnya dia tak mengenakan mantel. Pakaiannya juga tergolong tipis.
Sayangnya makanan Aygul telah habis sepenuhnya, alhasil tak nyaman menunggu hujan reda di dalam restoran.
Meski tak punya keberanian menerobos hujan, Aygul mau tak mau ke luar resto.
Sekarang gadis itu berdiri memeluk diri sembari memandang langit mendung.
Huh!
Dingin membekukan tubuh Aygul. Giginya bergemelatuk, menahan diri.
Seorang pria diam-diam memperhatikannya dari kejauhan, menyadari Aygul dalam kesulitan, dia dengan tersenyum bergegas menghampiri gadis itu.
"Permisi, kamu butuh ini." Tanpa basa-basi pria itu menyodorkan mantel yang dikenakannya.
Aygul spontan menoleh, serta melihat mantel itu sesaat.
"Hujan seperti ini biasanya bertahan lama," kata pria yang sama.
Aygul tak enak hati, dia menolak secara halus. "Ah, kamu bahkan terlihat lebih kedinginan setelah melepas mantel nya. Itu untukmu saja."
Si pria terkekeh sejenak. "Ya, tapi aku akan ke dalam, sedang kamu berdiri di luar."
Aygul bergeming, tampaknya dia sedang berpikir.
"Jangan ragu! Ambil saja." Pria itu sedikit memaksa.
Aygul masih belum rela menerima, terlebih dia dan pria di hadapannya ini tak saling mengenal.
"Anu."
Seolah memahami pikiran Aygul, pria itu lekas merogoh sakunya. Dia mengeluarkan dompet, juga mengeluarkan kartu dari dompet tersebut.
"Kartu namaku, kamu bisa menghubunginya kalau ingin mengembalikan mantel itu." Senyum pria itu.
Aygul bukan orang bodoh, dia sering kali mendapatkan pengalaman serupa. Yakni seseorang berpura-pura melakukan sesuatu untuknya, tetapi berakhir memintainya nomor telepon.
Hari ini sama, hanya caranya yang berbeda.
Pria di hadapan Aygul ini tidak termasuk jelek, juga tidak layak disebut tampan. Dia tergolong standar.
Ketika Aygul melihat ke sisi lain, rupanya ada beberapa perempuan yang mengalami kesulitan seperti dirinya. Namun, kenapa Aygul yang pria itu hampiri?
Hal ini semakin memperjelas tujuan pria itu, jadi Aygul tanpa ragu-ragu menolak, "Tidak, terima kasih untuk mantelmu. Sejujurnya aku terbiasa kedinginan, ini bukan masalah. Dan juga, suamiku akan marah kalau aku membawa barang pria asing."
Sengaja Aygul beralaskan suami, karena dalam hal ini, pria biasanya tak berani menyinggung.
Benar!
Pria asing itu langsung menarik mantelnya dengan senyuman canggung. "Ah, sudah menikah, yah. Kupikir masih lajang."
Aygul hanya balas tersenyum kemudian sedikit menunduk tanda pamit.
Pria asing itu menatap tak rela namun juga tak bisa bertindak apapun.
Aygul beralih ke sisi lain. Setelah berdiri kurang dari sepuluh menit, dia merasa hujan sebentar lagi mereda.
Lokasi apartemennya tidak jauh dari restoran ini, dia pikir tidak akan rugi kalau sekarang menerobos hujan.
Huh!
Aygul menarik napas, kakinya siap terayun menerjang hujan, tetapi pada saat bersamaan seonggok tangan dingin mencekal pergelangan tangannya.
"Ah!" Aygul terkejut sekaligus menoleh panik.
Payung biru tersibak dalam sekejap. Perlahan payung terangkat, memperlihatkan wajah tegas nan tampan seorang Vengo dalam balutan mantel hitam tebal.
Aygul lebih terkejut!
"Musim gugur begini keluar-keluar menggunakan kaos tipis," sindir Vengo.
Kemunculan Vengo diluar dugaan Aygul, gadis itu seolah-olah kehilangan kesadaran. Selain tak bersuara, hanya terus menatap Vengo tanpa kedip.
"Pegang ini." Vengo menarik tangan kanan Aygul, dia membuatnya menggenggam gagang payung biru tersebut.
Berikutnya Vengo menanggalkan mantel hitam yang tengah dikenakan, karena di baliknya dia masih mengenakan kemeja berbalut sweater putih tulang, dia masih merasa hangat.
"Lain kali jangan seperti ini, kamu bisa sakit," tutur Vengo sembari mengenakan mantelnya pada Aygul.
Aygul masih bergeming, bahkan sekarang lebih mirip patung hidup.
Selesai mengenakan mantel hitam tadi pada Aygul, Vengo berbalik pergi sambil berkata, "Aku masih ada urusan, hati-hati di jalan."
Barulah Aygul mengerjap sadar. Saat yang sama pun menyadari tubuhnya tak kedinginan lagi.
Di depan sana Vengo menghampiri pria lain yang tampak menunggunya sejak tadi lantas masuk restoran bersama.
Aygul terdiam sejenak, mencoba memproses apa yang baru saja terjadi. Dia masih sulit percaya bahwa Vengo muncul tepat pada saat yang paling tak terduga.
Hati Aygul berdesir kencang, tidak hanya karena kehangatan mantel Vengo yang melingkupinya, tetapi juga karena tindakan dan perhatian dari pria itu. Dalam hati, dia bertanya-tanya apakah ini adalah pertanda atau hanya kebetulan semata.
***
Hari libur Vengo masih punya urusan bisnis. Pria itu menemui Seniman terkenal dari luar negeri. Kebetulan Seniman itu datang di hari ini, Vengo mau tak mau menghampirinya karena selama ini dia kesulitan membuat jadwal pertemuan dengan Seniman tersebut.
"Beberapa karya lawas anda terpajang rapi di ruang kerjaku. Setiap aku memandangnya, aku pikir mustahil bisa menemui anda. Tidak disangka, sekarang kita malah saling berhadapan," ungkap Vengo tulus dan sopan.
Ucapan Vengo secara tak langsung mengandung banyak pujian, Seniman senior di hadapannya merupakan pria tua yang harusnya sudah pensiun, dia tidak banyak bicara tapi selalu tersenyum ramah dan puas.
"Bill." Selanjutnya Vengo memberi isyarat Billy, asisten pribadinya.
Billy langsung mengerti, pria muda itu lekas menyerahkan tas kecil kepada Seniman.
Vengo berkata, "Aku selalu mengagumi karya-karya anda, semoga hadiah kecil ini dapat Anda terima."
Seniman terkekeh sejenak lantas lanjut membalas, "Terima kasih, Pak Vengo."
Pertemuan mereka tak berlangsung lama, ini lantaran sang Seniman masih punya banyak urusan. Dia ditemani tangan kanannya meninggalkan restoran, sementara Vengo masih di tempat.
Dalam perjalanan, sang Seniman membuka hadiah pemberian Vengo. Dan dalam sekejap perasaannya meluluh, diikuti tatapan lembut dan haru.
Di sisi lain, Vengo menikmati wine tertuang dalam gelas. Menggoyang gelas beberapa saat, melelehkan batu es bulat menjadi buih-buih kecil.
"Jepit rambut itu harusnya membuat Seniman Teng nostalgia," tebak Billy.
Vengo tak menanggapi, sembari melihat hujan pria itu justru membayangkan wajah Aygul, sekaligus bertanya dalam hati, apakah gadis itu tiba di rumah dengan aman?