Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

PART 08

"Iya, Pak. Sejak SMA saya diberitahu oleh Papa dan Mama, walaupun dengan cara setengah berkelakar, bahwa jodoh saya telah ada dan telah mereka siapkan! Ini semua semakin membuat perasaan saya bingung. Saya harus bagaimana, jika suatu saat pria pilihan orang tua saya itu hadir pada saat saya sudah terlanjur cinta pada salah satu dari dua pria yang saya maksdukan pertama?"

Pak Sofayn Hadi diam sesaat, lalu: "Hm, ini kasus asmara yang unik dan pertama kali yang saya dengar. Tapi begini saja, kamu rilekskan pikiranmu. Kamu harus orientasikan pikiranmu pada kuliah dulu. Soal asmara yang kini membuatmu kalut, biarlah waktu yang menetukan, sembari terus meminta kekuatan dan petunjuk kepada Sang Pemilik Cinta yang sejatinya. Itu jalan yang paling bijak, menurut saya."

Dewi mengangguk-angguk pelan, tanda bahwa ia mengamini saran dosennya itu.

"Kamu pernah mendirikan sholat istikharah tidak?" bertanya Pak Sofyan Hadi lagi.

"Belum pernah, Pak. Hanya sholat wajib saja."

"Kalau begitu, coba kamu amalkan sholat itu. Insya Allah kamu akan mendapatkan kekuatan untuk menentukan pilihan."

"Iya, Pak Insya Allah akan saya lakukan. Dan, um, terima kasih banyak nih, Pak, atas waktu dan nasehatnya.”

"Iya, sama-sama. Tidak apa-apa, Dewi. Kamu jangan sungkan-sungkan untuk rembug pendapat dengan saya, semasih masalah itu ada korelasinya dengan pelajaran dan semangat belajarmu! Santai saja!" ujar Pak Sofyan Hadi, lalu tersenyum ringan.

"Iya, Pak, terima kasih sebelumnya. Saya permisi mau balik dulu, Pak!"

"Oh, iya, silakan."

"Mari, Pak. Assalamu alaikum"

"Ya.Waalaikum salam"

Kegalauan pun sedikit terhapus dalam hati Dewi. Pak Sofyan Hadi memang seorang dosen yang baik. Di depan gedung rektoriat, Dewi bertemu dengan Anggun, Amrin, Aini, juga Yadien. Kedua pasang sejoli ini mulai menampakan keintiman dan keromantisan mereka. Karena kebetulan keempatkan hendak menuju kantin, maka Dewi pun turut serta.

Suasana kantin saat itu belum begitu ramai. Dewi sedikit menegangkan lehernya, mengedarkan pandangan, seolah-olah sedang mencari seseorang. Dan ketika seseorang yang tengah dicari-carinya tak tampak di situ, maka ia pun menghela nafas dengan raut sedikit kecewa.

Seseorang yang dia cari-cari itu tak lain adalah si cowok misterius, Dadan Hermawan. Ya, seperti pengakuannya, rasa-rasanya ia sudah mulai memikirkan, atau tepatnya, merindukan pemuda itu. Setidaknya setelah peristiwa yang mereka alami di Pantai Kolo tempo hari. Kadang dia juga sudah mulai berani menyinggung-nyinggung nama laki-laki itu jika sedang teleponan dengan Anggun atau Aini.

* * *

Malam baru menunjukkan pukul 10.30 Witeng, namun Dewi belum mampu memincingkan kedua pelupuk matanya. Biasanya jam segini ia telah berlayar ke pulau kapuk, lelap dalam cengkeraman mimpi-mimpi. Entah apa yang sedang mengganggu pikirannya. Udara AC di kamarnya seolah-olah tak mampu mendinginkan benaknya yang sesak. Entah sudah berapa kali ia keluar masuk kamar, mengambil minuman dan makanan apa saja yang ada di kulkas. Sementara suasana di dalam rumah telah senyap, hanya suara gemericik air di akuarium di ruang tengah aja yang kontinyu terdengar.

"Kumbang Kelana, siapakah dirimu sebenarnya? Kaubenar-benar telah membuatku mulai gila!" Dewi bergumam.

Gumaman yang entah sudah berapa kali ia ucapkan. Dan entah sudah berapa puluh kali ia menyebut-nyebut nama itu sembari mereka-reka siapakah sesungguhnya dia. Dewi membayangkan wajah Dadan. Apakah dia? Tapi saat ditanya di perpus tempo hari, nampaknya bukan dia..! Tapi siapa? Amrin, jelas bukan, apalagi Yadien. Siapa? Siapa? Siapa? Ah…!

Dewi melontarkan tubuhnya ke pembaringan empuknya. Namun matanya masih tetap berbinar, terus mereka-reka siapakah adanya Kumbang Kelana?

Dewi meraih selembar kertas yang tergeletak di meja kecil di samping tempat tidurnya. Kertas yang isinya juga telah berulang-ulang ia baca. Puisi terakhir yang ia terima. Kumbang Kelana mengirimnya lewat pos, dengan alamat sang pengirim yang tak jelas. Itu adalah puisi yang ketiga dari orang yang sama, sejak SMU dua tahun yang lalu.

Padma Putihku yang tumbuh di hati

Pesonamu terlukis di manik mataku

Harummu lekat bersama nafas

Sampai aku tak ingin sedikit pun lena

Untuk mengeja namamu

Aku, Kumbang Kelana

Rinduku telah kugantung hingga ke cakrawala

Suatu masa, aku akan datang

Untuk membawa nafas kehidupan!

Selesai membaca kembali dengan seksama baris demi baris puisi itu, Dewi melipat kertasnya dan meletakkan di dadanya dan memejamkan kedua matanya. Iya, Kumbang Kelana, aku pun menggambarkan sosokmu lewat anganku, dan aku merindukanmu. Tapi mengapa kaumasih jadikan dirimu sebagai misteri bagiku...?

Tanpa sadar, bulir-bulir bening menetes, menimpa kedua pergelangan tangannya. Kautelah membuat rasaku tersiksa, Kumbang kelana...!

***

Esok hari, di koridor kampus Dewi berpapasan dengan Dadan Hermawan. Pemuda itu mengangguk pelan sembari melemparkan senyuman khasnya.

Dewi menghentikan langkahnya. Pelan-pelan ia menoleh, tetapi pemuda itu telah lenyap oleh sudut bangunan kampus. Entah mengapa ia merasa begitu senang. Rindunya yang mulai tumbuh kepada pemuda itu terasa terobati oleh pertemuan sesaat itu.

Dengan sebuah senyuman ia melanjutkan langkah, menuju ke ruang perpustakaan di lantai dua. Di tempat itu nanti ia berharap bertemu lagi dengan Dadan.

Tetapi setelah lebih dari satu jam dia duduk sambil berpura-pura tenggelam di halaman buku yang diambilnya di rak buku perpus, namun pemuda itu tak muncul ke dalam ruangan itu.

Dengan perasaan sedikit kecewa, ia keluar dari ruangan yang dirasakannya tiba-tiba begitu sepi itu. Ia menuju kantin. Di kantin pun laki-laki itu tak ada. Ke mana dia?

Jarum jam weker di meja belajarnya sudah menunjukkan pukul 23.00. Lagi-lagi Dewi belum mampu memincingkan kedua matanya. Pikirannya masih bermain dengan misteri Kumbang Kelana, juga pada bayangan Dadan Hermawan. Dua sosok yang yang datang silih berganti menggoda angannya.

Sejauh ini, Kumbang Kelana benar-benar masih sebuah misteri, namun hatinya mulai merindukan sosoknya. Sementara kepada Dadan pun sama. Hanya bedanya, ia bisa membayangkan sosok Dadan, tetapi tidak pada Kumbang Kelana. Sudah dua hari ia melaksanakan sholat sunat istikharah seperti yang disarankan oleh Pak Sofyan Hadi, tetapi ia belum mendapatkan petunjuk apa-apa. Satu-satunya hal yang makin ia rasakan adalah bayangan Dadan makin suka hadir dalam angannya. Apakah ini juga petunjuk, bahwa sebenarnya Kumbang Kelana dan Dadan Hermawan adalah orang yang sama? Oh Tuhan, jangan biarkan aku terus dibuat gila bayangan seperti ini.

Dewi sesaat melupakan bayangan Kumbang Kelana atau pun Dadan Hermawan dalam benaknya lalu menggantinya dengan bayangan Aini dan Anggun. Ia meraih ponsel yang tergelatak di samping tubuhnya. Sudah tidur belum ya mereka?

Pertama ia menghubungi Anggun lewan video call, mengharapkan sahabatnya yang centil itu masih melek. Namun setelah Dewi menghubunginya beberapa kali, suara si centil itu tak juga terdengar. Kayaknya dia sudah ngorok.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel