PART 07
Pada jalan yang belum terjejak
Mungkin baiknya aku menunggu
Genggaman erat jemarimu
Beri aku sebuah keyakinan
Agar aku tegar untuk terus melangkah
Menjejaki jalan ini, menuju hatimu!
___________________
Dalam ruang kuliah.
Kekalutan, gundah-gulana, dan mungkin nestapa tengah dihadapi oleh Dewi hari ini. Perasaan yang membias dan menghadirkan muram di durjanya. Pak dosen Pensos, Pak Doktor Sofyan Hadi, yang tengah memberikan kuliah dengan suara khasnya yang lantang, dicuek bebek aja oleh Dewi. Hanya mata beningnya saja yang sejak tadi bolak-balik memandang ke wajah sang dosen yang terkenal gaul dan familiar itu, sambil tangannya yang memegang pen terlihat terus aktif menggoreskan sesuatu di atas kertas kerjanya. Entah apa yang dituliskan atau digoreskan oleh Dewi. Tapi yang jelas bukan menuliskan poin-poin dari mata kuliah yang tengah didiktekan. Sebab, begitu satu kertas habis digoresi, kertas itu langsung diremas-remasnya untuk kemudian dibuang begitu saja di bawah kursinya. Entah sudah berapa kali dia melakukan hal itu.
Rupanya perbuatan mahasiswi tercantiknya itu menimbulkan kecurigaan di hati Pak Sofyan Hadi. Maka setelah jam kuliah selesai, Pak Sofyan Hadi tidak langsung meninggalkan ruang kuliahnya. Ketika ruangan telah kosong, Pak Sofyan Hadi beranjak dari meja kerjanya dan melangkah ke aras kursinya Dewi. Kertas-kertas yang tadi diremas oleh mahasiswinya itu dipungutnya lalu dibuka satu persatu. Agak sedikit kaget, entah juga masygul yang dirasakan oleh Pak Sofyan Hadi, setelah mengetahui apa yang digoreskan oleh Dewi dalam lembaran-lembaran yang teremas itu. Di situ semuanya Dewi menggambar wajahnya. Lumayan mirip-mirip juga, dengan jenggot yang tumbuh jarang yang telah dipotong pendek. Di bawah gambar itu masing-masing tertulisi sesuatu. Ada tulisan yang berisi: "Pak, gue lagi galau, nih!" Di kertas lainnya tertulis: "Pak, tolong gue, dong. Gue lagi kasmaran, nih! Tapi entah kasmaran ma siapa, gue sendiri nggak tahu".
Lanjut pada kertas berikutnya lagi ia menulis: "Pak dosenku yang ganteng and gaul (walaupun nggak seputih Primus), masih berlakukah jodoh atas pilihan ortu?". Dan di kertas terakhir ia menulis, "Please, Pak Dosenku. Problemku benar-benar berat, nih. Hampir seberat nilai mata kuliah yang kauberikan!"
Setelah selesai membaca coretan-coretan itu, ada perasaan yang bercampur aduk yang bergolak dalam hati dan pikiran Pak Sofytan Hadi. Ada rasa keki, haru, juga menggelitik. "Dewi, Dewi. Ada apa lagi ini anak?" gumam Pak Sofyan Hadi, seolah-olah kepada dirinya sendiri, sembari merogoh ponselnya di saku celana. Salah satu nomor yang tertera dalam memori ponselnya dia pilih dan pencet.
"Assalamualaikum dan selamat siang pak dosenku yang ganteng," sambut seorang wanita di seberang, Dewi.
"Walalaikumsalam warahmatullah. Ah, gombal kamu!" sahut Pak Sofyan Hadi. "Eh, Dewi, berikutnya kamu masih ada mata kuliah?"
"Hmm, ada, Pak. Tapi ntar sore jam tiga. Memang ada apa, Pak? Mau kasih nilai A ya, Pak? Hehehe…"
"Bukan!" Pak Sofyan Hadi setengah membentak. "Kalau mau dapat nilai A ya kamu harus banyak belajar, banyak membaca, bukannya banyak mikirin cowok!"
"Aih, aih. Terus kenapa, Pak dosenku yang unyu-unyu?" Dewi menggoda dengan suaranya centil.
"Ada hal yang ingin saya bicarakan sebentar dengan kamu. Ini serius!"
"Iya, Pak. Tentang apa ya kira-kira?"
"Sekarang kamu belum pulang dulu, kan?"
"Belum nih, Pak!"
"Bagus! Sekarang kamu temui saya di ruang perpus, ya?"
"Kok, di ruang perpus, sih, Pak? Katanya mau bahas soal yang serius. Kan banyak yang dengar ntar, Pak," protes Dewi.
"Ok, kalau begitu di ruang kerja saya saja, ya? Sekarang tapi..!"
"Siap, Pak!" Dewi mengakhiri pembicaraan. Lalu bergumam heran, "Pak Sofyan kira-kira mau membicarakan soal apa, ya?" Nggak biasanya? Ah, tau, deh!"
Sekitar sepuluh menit kemudian Dewi sudah berada di ruang kerjanya Pak Sofyan Hadi. Pak Dosen yang masih tergolong muda itu menyambut Dewi dengan ramah dan santainya, tanpa meninggalkan profesionalitasnya sebagai seorang pendidik. "Silakan duduk, Wi. Santai aja!"
"Iya, terima kasih, Pak."
"Begini, Wi, tadi aku sempat memungut dan membaca coretan-coretanmu di kertas-kertas yang kamu remas di ruang kuliah. Tapi, sebelumnya saya ucapkan terima kasih, karena kamu menggambar wajah saya dengan cukup bagus. Namun bukan soal itu yang mau saya bicarakan dengan kamu, tapi soal tulisan-tulisan kamu. Ada apa denganmu, Dewi? Maaf, ini memang urusan pribadimu, tapi juga bisa berimbas pada daya belajarmu. Jadi saya sebagai dosenmu merasa terpanggil untuk membicarakannya denganmu. Ya, kebetulan kamu meminta saya untuk membantu masalahmu."
Dewi merasa salah tingkah dengan apa yang disampaikan oleh dosennya itu. Salah tingkah karena masalah pribadinya harus dibicakan dengan orang lain. Lebih-lebih karena saat ini ia berhadapan dengan dosennya, yang menurut pandangannya, sangat berbeda penampilannya ketika mengobrolkan kembali perihal mata kuliah di depan ruang kelas, yang santai dan gaul. Di ruang ini, saat ini, ia sama sekali seperti sedang berhadapan dengan seorang pimpinan, dan dirinya adalah bawahannya. Namun kesalahtingkahannya itu sedikit lenyap, ketika laki-laki di depannya menyuruhnya untuk bersikap santai aja, dan seolah-olah menganggapnya sebagai teman curhat saja.
"I…iya, Pak. Terus-terang, memang saya sedang menghadapi suatu problema, pilihan, atau entah apalah namanya," ucap Dewi agar gugup. "Tapi saya harus memulai dari mana ya, Pak…?"
"Well, begini saja," potong Pak Sofyan Hadi, mencoba menetralisir keraguan di hatinya Dewi. "Saya coba blok permasalahanmu. Kamu tengah membicarakan soal asmara, kan? Coba, bentuk asmara yang gimana yang membuat kamu gundah?"
Dewi mencoba untuk bersikap rileks.
"Iya, memang, Pak. Saat ini saya sedang menghadapi persoalan asmara yang sangat pelik. Entah jatuh cinta, atau bimbang untuk menentukan pilihan. Sejak kelas tiga SMA saya mendapat kiriman puisi-puisi yang bertema cinta dari seseorang yang hingga kini saya tak tahu entah siapa dia. Dia hanya menamai dirinya dengan Kumbang Kelana. Saya sudah berusaha mencari tahu, namun hingga sekarang masih tetap menjadi sebuah misteri…"
"Biar saya tebak," potong Pak Sofyan Hadi. "Hatimu mulai tertawan oleh pesona dari kalimat-kalimat indah dari syair-syair itu, kan?"
"Iya, Pak. Kok Bapak tau, sih?”
“Kan kamu yang kasih klunya. Ah...!”
“Oh iy, maaf. Hehehe.”
“Lantas apa yang kaurasakan dengan adanya kriman puisi-puisi itu?”
“Ya itu tadi, Pak, bingung. Kadang saya merasakan risih, tetapi terkadang mengharapkan mendapat kiriman puisi itu lagi. Pelan-pelan dalam hati saya timbul semacam rasa kangen.”
“Kangen sama puisinya?”
“Entahlah, Pak. Mungkin lebih tepatnya, kangen ingin ketemu dengan laki-laki yang menamakan diri Kumbang kelana itu. Baru-baru ini, saya mulai merasakan ketertarikan kepada seorang pria. Dia mahasiswa di sini juga. Mulanya saya jengah kepadanya, lalu iba, dan seterusnya…entahlah!"
Pak Sofyan Hadi manggut-manggut, mencoba menyelami apa yang sedang dialami oleh mahasiswinya ini. "Kamu juga menyinggung soal jodoh pilihan orang tua. Persisnya bagaimana?"
