Pustaka
Bahasa Indonesia

KAU PEMILIK HATIKU

60.0K · Tamat
Emde Mallaow
57
Bab
73
View
9.0
Rating

Ringkasan

Dadan Hermawan, laki-laki yang diharapkan harus ada dan ia kangeni, belum juga tampak. Ada perasaan berdosa yang demikian besar yang ia rasakan terhadap laki-laki itu. Sejak kemarin Dewi sangat berharap ia bisa bertemu dengannya dan menjelaskan semua duduk persoalan yang tengah ia hadapi. Tetapi harapannya itu belum sampai. Ponselnya pun laki-laki itu tak aktif, atau berada di luar jangkauan. Jadi sejak acara pertunangannya itu, Dadan seolah-olah sengaja menghindarkan diri, membawa kecewa di hatinya. "Aku tau, kausangat kecewa, Dan," jerit batin Dewi. Ya, pikir Dadan, semua tidak adil. Arogansi mewabah di mana-mana. Tidak hanya di rezim, tapi juga di kalangan orang -orang yang merasa dirinya kaum elite, kaya, bangsawan, terpelajar, modernis, dan lain-lain, seperti yang juga sikap yang diperlihatkan oleh papanya Dewi kepadaku. Ego dan keangkuhan diri telah membutakan mata hati mereka, sehingga tidak mampu melihat dan merasakan kehendak dan perasaan orang di sekitarnya, bahkan terhadap anaknya sendiri. Mereka beralasan atas nama kasih sayang. Ah, kasih saying yang salah kaprah ! Geram, jengah, gelisah benar-benar telah bercampur-aduk dalam hati Dadan.

RomansaKampusMengandung Diluar NikahTuan Muda

PART 01

Jika engkau adalah gelombang

Kuingin menjadi sang camar,

Mencumbui buihmu tanpa meninggalkan sepi.

Kuingin kita laksana lautan dan pantainya

Walau berbeda hakikat

Namun saling melengkapi dan tak terpisahkan.

SIANG hari di suatu destinasi wisata alam di Bima bagian selatan agak ke kanan dikit, tiba-tiba tubuh seorang cowok alay terlempar keluar dari semak-semak di sisi jalan.

Sesaat kemudian muncul pula seorang cewek dari semak-semak yang sama sambi ngamuk-ngamuk. “Kurang ajar, lo! Lo mo perkosa gue, ya!”

Telunjuk si cewek yang runcing sedikit melengkung ke atas ditunjuk-tunjukkannya ke wajah si cowok yang masih meringkuk di tanah dengan wajah bersalah dan sedikit malu-malu singa.

“Dewi, lo salah sangka. Masyak gue mo perkosa lo? Tega nian lo nuduh gue kek gitu...!”

“Diam lo! Ternyata mahluk ampibi, lo!” bentak si cewek yang dipanggil dengan Dewi. Dan...

Bugh...!!

Satu tendangan takraw mendarat di betis sang cowok yang berbulu lebat.

“Aw...! Tega nian lo nyiksa gue kek gini, Wi? Gue kan sohib lo sejak SMA.”

Si cowok memperlihatkan wajah memelasnya.

“Tampang aja lo yang ganteng mirip Salman Khan, tapi kelakuan lo tak beda dengan tukang pijit plus-plus!”

“Emang lo sudah pernah dipijit plus-plus, Wi...?”

“Kurang ajiar, lo! Dibilangin semakin ngelunjak! Perilaku lo bisa dijerat dengan pasal berlapis, tau!”

“Kue kale, berlapis...?! Hahaha...,” ejek si cowok langsung kabur sambil ngakak.

“Eh, mo ke mana lo...! Gue belum selesai ngomong! Gawiss...!” teriak Dewi keras.

Sebiji kerakal sebesar buah mengkudu yang tergeletak di dekat kakinya dipungutnya dan langsung dilemparkan dengan gemas bercampur kesal. “Terimalah ini, wahai banci jadi-jadian...!”

Tanpa diduga oleh Dewi sendiri, ternyata batu kerakal itu mendarat tepat mengenai kepala si cowok yang bernama Gawis itu.

Tokk...!!

Tak ayal, Gawis langsung terduduk sembari memegang kepalanya yang sakit dengan kedua belah tangannya.

“Rasain...! Emang enak kena lempar...?!” ejek Dewi.

Seorang bapak-bapak dengan rambut dicat warna pirang anjing yang sedang lewat, melihat Gawis yang sedang duduk menunduk dengan wajah meringis penuh penderitaan seperti itu, langsung berhenti dan menunjukkan empatinya yang dalam. Ia sangat prihatin menyaksikan cowok ganteng yang rada-rada mirip artis lokal itu mengalami penderitaan seperti itu lalu mencoba mendekati, dan dengan suara selembut tepung pati ia bertanya, “Kaukenapa, Sayang?”

“Kepala saya kena lempar, Om…!” keluh Gawis tanpa mengangkat wajahnya.

“Owh, kasian. Ganteng-ganteng disiksa seperti ini. Apanya yang sakit, Sayang?”

“Kepala, Om. Dilempar pake batu...!”

Gawis merasa terharu juga. Ternyata di era globalisasi seperti ini masih ada orang yang sangat peduli pada penderitaan orang lain.

“Siapa yang lempar...?”

Gawis tak menjawab, namun seorang laki-laki lain yang berada di dekat TKP langsung menunjuk ke arah Dewi. “Cewek itu yang melemparnya...!”

Saat si om-om menoleh, Dewi langsung membuang pandangannya ke arah lain sembari berpura-pura bersiul.

Tapi si om-om yang rupa-rupanya sudah kenyang makan asam-garam-cabai di dunia kepura-puraan, langsung mendamprat: “Heh, perempuan! Kira-kira dong kalo bercanda! Jangan durhaka ko sama laki-laki. Tanpa laki-laki kelak ko nggak bisa hamil, tau!”

Dewi mendengus sinis. “Ya namanya saja bercanda, Om, bisa pelan bisa keras. Babe gue bilang, kalau sesuatu diawali dengan canda tak boleh mewek sekalipun mulut lo monyong kena tabok! Makan tuh, Om, cowok tangan melambai...!”

Si om-om langsung menampakkan ekspresi kaget. “Hah, kamu juga banci? Hiih...timun pahit juga ternyata! Emang aku banci apaan suka sejenis? Nejong!”

Lalu seolah-olah seperti melihat sesuatu yang menggelikannya, om-om yang sok berempati sama si Gawis itu langsung melenggang pergi dengan pinggang bergoyang ke kiri dan kanan sembari jari jemarinya dikeritingkan persis jari-jemari kepiting.

Gawis bangkit berdiri dan memanjangkan lehernya. Si Dewi sudah tak dilihatnya. Hanya buntut mobilnya saja yang terlihat di kejauhan sana, meninggalkan areal parkir lalu menuruni jalan yang membelah kawasan wisata itu.

“Uh, sial banget nasib gue hari ini! Sudah dituduh macam-macam, disiksa, eh ditinggal sendiri! Nasiib, nasib...!” keluh Gawis. Kakinya menendang dengan kesal. Tanpa sengaja ia menendang ujung batu yang menyembul di tanah yang keras.

“Aww...!!” Spontan Gawis memekik sembari menjinjing kakinya yang menderita dengan ekspresi wajah seperti hendak menangis.

Seorang bocah laki-laki dan perempuan yang sedang digandeng tangannya oleh kedua orang tuannya spontan menoleh dan langsung tertawa sambil menunjuk-nunjuk ke arah Gawis.

“Hust...!” tegur ayahnya, “Nggak boleh gitu, Nak. Wati pehe. Bisa dosa kalian ngetawain orang duafah seperti itu...?!” [Wati Pehe atau tipehe arti harafiahnya “tidak boleh diucapkan”, tetapi secara umumnya diartikan “tidak boleh dilakukan atau diucapkan” karena tidak baik; pemali].

***

Keesokan harinya, Gawis telah menunggu Dewi di halaman depan kampus.

“Maafkan gue, Wi, lo salah sangka ma gue. Kemarin tuh tangan gue kepeleset pas lumurin lotion tabir surya ke punggung lo!” rengek Gawis mengikuti langkah Dewi dari belakang.

“Ah, bodo! Gue sudah benci ma lo!” sahut Dewi tanpa menoleh dan semakin mempercepat langkahnya, melintasi koridor yang menuju ke kampus fakultasnya.

“Sumpah, Wi, gue sama sekali nggak bermaksud jahat ke lo! Bagaimana mungkin gue mau perkos...!”

“Diam lo...!” bentak Awi sembari hendak mencopot sepatunya untuk dilemparkan ke arah Gawis. Gawis langsung terdduduk sembari melindungi kepalanya dengan kedua tangannya.

“Awas, ya! Kalo lo masih nguntit gue, gue nggak segan-segan untuk melempar lagi pale lo pakek sebongkah batu. Mau?!”

Gawis tak menjawab. Tapi pas Dewi hendak melangkah ia memanggil: “Wi..!”

“Cuih...!”

Walhasil, Dewi menoleh dan langsung meludahi wajah pemuda yang sebenarnya ganteng itu.

Gawis hanya menatap tanpa berkata apa-apa karena kaget. Ia sangat tak menduga Dewi serisih itu terhadapnya. Dengan wajah memelas ia mengusap ludah yang menumpuk di ujung hidungnya.

“Ingat…!” Dewi menatap tajam sambil menunjuk pendek. “Sejak kemarin kita bukan teman lagi! Jadi elo jangan lagi berpikir gue akan maafin elo!”

Saat itu Gawis sadar, bahwa Dewi tampaknya benar-benar sudah sangat benci padanya. Gadis yang berwajah cantik itu ternyata mengerikan juga jika pas benar-benar marah. Gawis pun tak lagi berani menatap wajahnya, apalagi untuk mengikutinya.

“Apa lo lihat-lihat!”

“Ng-nggak, Wi...!”

“Dasar banci jadi-jadian lo!”

Gawis benar-benar dibuat mati kutu sampai tak berani menatap wajah Dewi.

Dengan meninggalkan seulas senyum sinis, Dewi melanjutkan langkahnya.

Ketika ia membelok ke timur, mendadak langkah kakinya terhenti.

Di depan sana, di kursi taman kampus, ia melihat punggung cowok yang sudah cukup lama dibencinya sedang duduk sendirian dengan wajah menunduk, menikmati halaman buku yang tengah dibacanya.

Ya Allah, ampunkan hamba. Apa salah hamba sehingga cowok itu selalu ada di mana pun aku ada?

Dewi merasa kurang suka terhadap cowok itu hanya karena sesuatu sebab yang tak jelas. Ia merasa, seolah-olah cowok yang bernama Dadan Hermawan itu suka menguntitnya.