PART 02
Bahkan seingatnya pula, cowok yang merupakan adik kelasnya di SMA yang sama itu memang selalu ada hampir tempat mana pun ia berada. Apakah itu sebuah ketidaksengajaan atau kebetulan semata? Tetapi seingatnya pula, tak sekali pun ia pernah berbicara dengan cowok itu. Jika mereka berpapasan jalan, cowok itu hanya menggangguk kecil padanya sambil tersenyum, dan hanya membalas dengan senyumnan kecil. Itu pun senyuman kecil yang nanggung.
Ah, semoga semua itu memang benar-benar sebuah hal yang kebetulan saja!
Karena jam mata kuliah masih satu jam lagi, ia langsung menuju ke ruang perpustakaan di lantai dua. Ada beberapa buku diktat dan referensi yang ingin ia pinjam.
“Gue lihat pagi ini lo nggak ceriah seperti biasanya? Wajah pakek ditekuk seperti kipas angin gitu,” tegur Aini santai sembari membuka buku tebal yang baru dipinjamnya.
“Gue gek kesel banget sama si Gawis itu,” ucap Dewi setengah ngedumel.
Kedua alis Aini terangkat. “Kenapa dengan tuh anak?”
“Masyak dia mo perkosa gue?!”
“Hah...!” Mulut Aini sontak melongo, kaget. “Apa lo bilang? Si Gawis mo perkosa lo?” Aini langsung tertawa.
“Ini gue gek serius, Ni!” Wajah Dewi makin ditekuk.
Kedua alis Aini saling merapat, seolah-olah masih tak percayai pada apa yang barusan diceritakan oleh Dewi.
"Masyak sih si Gawis mo berbuat begitu? Padahal kalau dia pas tidur bareng kita, tuh anak ngcewek banget, langsung ngorok! Jadi ya...sangat aneh saja tiba-tiba lo bawa cerita seperti itu, Nek! Ah, lo pasti salah paham tuh!”
Setelah melepaskan pipet teh kotaknya dari bibirnya, Dewi menceritakan kronologi peristiwanya. "Iya, gue juga nggak nyangka, makanya gue minta dia buat meluluri punggung gue dengan lotion tabir surya, eh, tau-tau dia menggerayangi tubuh gue dari belakang, coba?! Iikh…kalau ingat itu, benar-benar pengen gue lempar tuh onta Arab pakai bom molotov!”
Aini hanya tertawa kecil mendengar cerita Dewi.
“Napa lo malah ketawa?”
“Ya gue merasa lucu dan nggak percaya saja si cowok kemayu itu bisa seperti itu. Qiqiqiqi. Memangnya waktu itu suasananya sepi, ya?”
“Ya nggak sepi juga sih. Tapi pas gue minta dia buat lulurin punggung gue ya di dalam semak-semak gitu.”
“Yeah terang saja, suasananya mendukung gitu. Walaupun si Gawis tuh bencong, tapi ketika melihat punggung putih mulus lu terpampang di hadapannya, tetap juga potensi kelelakiannya muncul, Nek. Apalagi cuma berduaan di balik semak-semak lagi. Gawis kan termasuk jenis manusia amfibi.”
Keduanya jadi tertawa cekikikan. Tapi tiba-tiba Aini menyepak pelan kakinya Dewi di bawah meja. Dewi menoleh, Aini memberi kode dengan mengarahkan kerlingan mata ke arah samping.
Dewi mengikuti arah kerlingan ekor matanya Aini. Dari balik rak perpustakaan, di sela-sela buku yang berderet, terlihat bayang-bayang wajah seorang cowok. Si cowok saat itu senyam-senyum, namun matanya pura-pura memperhatikan halaman-halaman buku yang diambilnya dari rak.
Dewi nyaris keselak minuman yang sedang disedotnya. Ya Tuhaaan, ternyata cowok misterius itu lagi!
“Huh...!”
“Napa lu?” Aini menatap heran wajah Dewi.
Dewi tidak menyahuti pertanyaan Aini, namun matanya terus mengawasi wajah si Dadan. Dan ketika mata cowok yang disebutnya misterius itu kembali mengintai ke arahnya, Dewi langsung memasang wajah galak dengan mata melotot.
“Ngapain lu intai gue kayak kera ekor panjang gitu?! Lu pura-pura cari buku di situ karena hanya ingin dengerin kita cerita, kan? Dosa tau, nyuri denger cerita orang!”
“Aku nggak nyuri dengar, kok, Kak, cuma kebetulan aja dengarnya,” jawab Dadan dengan santainya sambil tersenyum. Lalu dengan sikap cuek dan santainya pula ia melangkah ke arah deretan rak pustaka lainnya.
Dewi masih mendengus dengan tetap memasang wajah judes. “Huft sebel! Sok kegantengan!” gerutunya.
"Napa sih lo? Sepertinya lo nggak senang banget sama si Dadan?"
"Tau nggak lo? Tuh cowok kayak siluman, sering banget gue lihat ke mana pun gue berada!”
Aini menatap serius ke wajah Dewi sesaat. “Yeah, hanya kebetulan saja, kali?”
“Iya, mulanya gue berpikiran gitu juga. Tapi lama-lama gue berpikir, itu cowok sengaja nguntitin ke mana pun gue pergi. Masalahnya sudah berlangsung lama. Sejak SMA, tau?!”
Ya, sekalipun tak pernah bertegur-sapa, namun Dewi sudah kenal sekali dengan cowok yang bernama Dadan itu. Nama lengkapnya Dadan Hermawan. Dia adalah bekas adik kelasnya sewaktu di SMA. Juga pernah menjadi ketua OSIS waktu kelas duanya. Yang bisa Dewi ingat tentangnya adalah, bahwa ia memiliki pembawaan yang tenang, kalem, dan ramah, namun juga cerdas. Dadan juga adalah pemain basketball SMA yang hebat. Maka tak heran—karena juga didukung oleh wajah tampannya—jika ia dulu menjadi cowok idola di SMA.
Seingatnya Dewi juga, Dadan memiliki karakter leadership yang mumpuni. Sewaktu pemuda itu menjabat sebagai ketua OSIS, ada banyak prestasi di berbagai bidang yang diraih dan dipersembahkan kepada sekolah mereka. Terutama dalam prestasi olah raga, seperti bola voli, bola basket, tenis meja, dan sepak bola.
Namun semua apa yang ada dalam diri cowok itu tidaklah menjadi sebuah perhatian khusus bagi Dewi, karena memang hanya adik kelas. Kebetulan juga, hanya setahun mereka masuk sekolah bersama kelas pagi, yaitu ketika ia di kelas tiga dan Dadan di kelas dua.
"Jangan-jangan tuh cowok naksir lu kali, Wi?" ucap Aini, tanpa bermaksud menggoda.
Sontak Dewi mengangkat wajahnya.
“Dia naksir gue?” Dewi tertawa. ”Modalnya apa tuh cowok mau jadi kekasih gue? Tunggangannya saja sepeda motor zaman VOC kali? Ih, sorry bingit, ya? Nggak level, keles?!"
Aini agak kaget juga mendengan ucapan Dewi. Sombongnya nih anak keluar juga. Yeah, mungkin disebabkan oleh ketidaksukaannya terhadap si Dadan sehingga ia begitu?
Tapi Aini berusaha untuk tidak memasukkan dalam hati tentang sikap spontan sahabatnya itu.
"Iya juga, sih, tapi nggak bijaklah jika cinta harus diukur dengan materi. Mungkin, yeah si Dadan bukanlah dari keluarga berada seperti lu, Wi. Namun di hal lain, gue kira, do’i punya kelebihan yang tak kaudapatkan dari cowok-cowok lain. Misalnya, kemapuan leadership yang bagus. Terbukti do’i memegang tampuk pimpinan BEM dua periode. Dari segi penampilan dan tampang, do’i masuk dalam level di atas rata-rata cowok di kampus kita, di samping kesupelannya dalam bergaul. Di kalangan senat kampus, kayaknya do’i paling disegani, tuh.”
"Kalau gitu, lu saja yang naksir. Kalau gue, ih, nggak, deh!” cibir Dewi.
“Kok, gue, sih? Kan gue hanya kasih penilaian yang obyektif tentang tuh cowok, Wi!” Rada senewen juga Aini menanggapinya.
Dewi merasa jadi tak enak hati. Tidak nyaman. Ia merasa bersalah. Untuk menutupi kesalahannya, lalu ia pun berkata setengah membujuk, “Sorry deh. Gue barusan cuma bercanda, kok.”
“Iya, Nek,” ucap Aini singkat, lalu mengembalikan rona ceriah lagi di wajahnya.
"Tapi benar, Ni,” ucap Dewi lagi, “itu cowok misterius banget. Lo masih ingat nggak soal puisi-puisi yang gue ceritain ke lo tempo hari?"
Kedua alis Aini sesaat merapat. "Iya, ingat. Lalu, apa hubungannya puisi-puisi itu dengan si do’i?"
