Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

PART 03

Dewi menengok ke arah utara, ke punggungnya Dadan Hermawan sebentar, sebelum berkata, "Gue jadi curiga, Ni! Jangan-jangan puisi-puisi itu kiriman dia. Coba bayangkan, puisi-puisi itu sering ditempelkan di mading SMA dulu, sampek di mading senat sekarang, kayaknya ditulis oleh orang yang sama."

Aini manggut-manggut. "Ya, bisa juga. Tapi alasan lo curiga ke do’i apa?"

"Banyak, sih, antara lain…nyatanya dia juga ikut kuliah di sini, kan?"

"Emangnya yang satu SMA ama lo dulu cuma dia doang yang kuliah di sini?”

"Ya banyak juga, sih. Tapi feeling gue sangat kuat mengarah ke dia. Sejak kelas dua SMA, sering banget gue pergoki dia lagi perhatiin gue. Selain itu, dia sering banget berada di suatu tempat di mana gue berada. Yeah, walaupun mungkin sebuah kebetulan, namun gue tetap merasa kalau dia tuh suka menguntiti gue, Ni.”

Aini manggut-manggut sambil memajukan bibirnya yang bawah.

"Argumen seperti itu pun belum cukup kuat buat lo untuk menjust dia? Untuk memastikan sebuah kebenaran itu tidak bisa oleh sebuah dugaan atau pun feeling. Itu kata bokap gue. Bokap gue kan seorang hakim tuh. Nah, katanya, untuk memperoleh sebuah kebenaran dalam sebuah kasus, maka perlu didukung oleh tiga hal utama, yaitu: pelaku, bukti, dan saksi. Nah, lo, tiga-tiganya nggak punya. Jadi, lo hanya baru pada sebuah tuduhan belaka.”

Dewi terdiam dan manggut-manggut.

“Tapi anggaplah dugaan lo benar,” lanjut Aini, “bahwa yang kirim puisi-pusi itu si do’i, ya anggaplah sebagai sebuah hadiah terindah buat lo. Hadiah terindah karena ada seorang cowok yang sangat mengagumi lo. Berarti itu cowok benar-benar tulus mengagumi dan…yeah, mungkin menyukai lo. Nggak gampang loh untuk membuat puisi-puisi begitu. Puisi hanya mampu diciptakan oleh orang-orang yang cerdas, jernih pikiran, dan memiliki perasaan yang halus. Artinya, tak banyak orang yang mampu menciptakan tulisan seperti itu. Yeaah..menurut gue, ou jangan suudzon dulu. Kebenaran itu dengan sendirinya akan menampakkan diri pada waktunya. Lo sabar aja dulu, sambil selidiki pelan-pelan.”

Dewi mengamati wajah Aini. Ada sebiji jerawat yang sudah berwarna merah di ujung hidungnya.

“Gitu, ya? Ternyata lo orangnya bijak juga, ya? Nasihat lo malah sudah mirip-mirip nasihatnya Ustazah Qurrata a’yun gue dengar.”

Keduanya kembali cekikikan.

“Gini,” ucap Aini kemudian, “mungkin langkah pertama yang bisa lo lakuin, ya bertanya langsung kepada si do’i.”

"Ya, nggak enaklah kalau gue nanya langsung ke orangnya.” Sambil berkata demikian Dewi menengok ke belakang, ke arah Dadan Hermawan berada. Dia sedang duduk di meja baca perpus, sedang konsentrasi pada halaman buku yang sedang dibacanya.

"Napa memangnya? Kalau umpamanya bukan do’i, mungkin juga lo bisa dapat jawabannya lewat do’i, tentang siapa gerangan yang punya puisi-puisi itu."

"Hm, gitu, ya? Gue malah nggak kepikiran gi..."

Dewi tidak melanjutkan ucapannya, karena Aini kembali menyepak pelan kakinya sembari mengerlingkan ekor matanya ke arah samping. Saat itu cowok yang mereka bahas sedang menuju ke arah meja petugas perpus, melewati mereka.

“Dadan...,” Aini memanggil dengan suara yang tidak begitu keras.

Dadan Hermawan menghentikan langkah kakinya, menoleh.

“Kakak memanggil saya?”

"Iya," jawab Aini. "Ke sini dulu bentar, ada yang ingin kami tanyakan ke kamu."

"Iya, Kak. Sebentar, saya registrasi dulu buku-buku pinjaman ini, ya?"

"Ok!"

Setelah meregister buku-buku yang dipinjamnya, Dadan datang menghampiri, menarik salah satu kursi yang kosong di situ sembari bertanya, "Kak Aini mau menanyakan soal apa?"

"Duduklah dulu. Wah, tebal-tebal sekali buku yang kaupinjam?"

"Terima kasih. Iya nih, Kak, hanya buku-buku referensi saja."

"Oh, gitu? Ciri khasnya seorang kutu buku, hehehe,” kelakar Aini.

“Hahaha. Kak Aini bisa saja.”

Sesaat Dadan menoleh ke arah Dewi, namun Dewi seolah-olah masih tenggelam dengan halaman buku yang bacanya.

Aini menyenggolkan ujung sepatunya ke betisnya, barulah Dewi menoleh dan mengangguk. Tetapi sama sekali tidak berminat melihat ke wajah cowok yang berada persis di depannya. Seolah-olah bahwa Dadan tak ada di tempat itu.

Karena merasa tak enak hati pada sikap cuek sahabatnya, Aini mencoba mengembangkan senyumnya kepada Dadan, untuk sekedar menenangkan pikiran.

Lalu, setelah didahului dengan helaan nafas secukupnya, Aini pun berkata, “Gini, Dan, eeem...kami hanya ingin menanyakan tentang sesuatu hal ke kamu. Tapi, sebelumnya maaf, loh, ini bukan nuduh, tapi hanya sekedar cari informasi saja, siapa tau kamu tau, gitu.”

Sesaat Dadan memandang lekat-lekat wajah Aini, mencoba berpikir, lalu mengangguk-angguk pelan. “Ya silakan, Kak. Jika saya bisa menjawabnya, saya akan menjawabnya. Tentang apa, Kak?”

“Ehm, gini, Dan, kita, eh, tepatnya sahabatku yang tercantik ini, sering menerima kiriman puisi. Katanya sejak SMA hingga kini. Menurutnya, puisi-puisi itu dikirim oleh orang yang sama, dengan nama Kumbang Kelana, dan menyebut si cantik ini dengan Padma Putih.”

Aini menghentikan ucapannya, memandang ke wajah Dadan lekat-lekat, mencoba menangkap sebuah isyarat tertentu pada wajah ganteng itu. Wajah ganteng dan berhidung bangir yang menaungi kumis tipis yang rapi yang menghiasi bibirnya agak tebal. Sudah ganteng, simpatik juga nih anak. Tapi, jika diamati secara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, wajahnya mirip-mirip wajahnya si Gawis, ya? Qiqiqiqi.

Tak ada perubahan mimik atau isyarat apa pun di wajah tampan itu, kecuali gerak manggut-manggut pelan yang menunjukkan perhatiannya terhadap ucapan lawan bicaranya.

“Iya, lalu, Kak?”

“Dadan tau nggak tentang puisi-puisi itu? Maksudku, Dadan sempat melihat di mading atau mungkin sempat membacanya? Lantas, kira-kira Dadan tau nggak siapa kira-kira pengirimnya?” Sembari bertanya demikian, Aini, juga halnya Dewi, mencoba menangkap di setiap perubahan di wajahnya Dadan.

Namun lagi-lagi tak ada perubahan yang mencurigakan di wajah laki-laki yang berambut agak ikal semi gondrong itu. Do’i hanya manggut-manggut pelan dan seolah-olah sedang mengingat sesuatu hal.

“Iya, iya. Saya juga sering membaca puisi-puisi itu jika kebetulan saya mampir membaca info-info di mading senat, juga dulu di mading SMA. Hmm, puisi-puisi yang indah, menyiratkan kerinduan dan cinta. Cinta sang penulisnya demikian kuat dan konsisten,” ucap Dadan Hermawan.

“Tapi Dadan kira-kira tau nggak siapa penulis dan penitip puisi-puisi itu di mading?”

“Wah, kalau soal itu saya blank, kak. Tapi kalau ditanya apakah saya pernah membaca puisi-puisi itu? Jawabnya, iya! Jujur, saya mengagumi puisi-puisi itu, kak. Kayaknya puisi-puisi itu benar-benar dibuat berdasarkan suara hati yang murni dari sang pembuatnya, menurutku.”

“Oh, gitu?” Hanya itu yang keluar dari bibir indahnya Aini.

Tiba-tiba Dewi nyolot berkata," Atau jangan-jangan lo sendiri yang kirim puisi-puisi itu?!”

Dengan sikap tetap tenang dan sambil tersenyum Dadan memandang ke wajahnya Dewi, namun dengan cepat membuang pandangannya itu ke arah lain. Sebuah senyum yang menandakan kerendahan dan ketenangan jiwanya saat ia mendapat sebuah tuduhan.

Melihat sikap tenang yang ditampakkan oleh cowok di hadapannya, justru suatu perasaan aneh spontan merasuk ke dalam hatinya Dewi. Lebih-lebih ketika tatapan mata teduh dari laki-laki itu menikam ke dalam manik matanya. Entah perasaan apa, Dewi juga tak mengerti. Setidaknya untuk saat ini.

"Masak sih justru saya yang dituduh, Kak Dewi? Untuk dunia sastra dan kepujangaan, terus terang, saya nyerah Kak. Tapi kalau urusan bikin nasi goreng lezat, nah, baru sayalah ahlinya. Sekali-sekali Kak Aini dan Kak Dewi jalan-jalanlah ke gerai nasgor kita, insya Allah saya sendiri yang akan membuatkan nasgor super lezat buat kakak berdua.”

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel