PART 04
Dengan kalimat terakhirnya, sebenarnya Dadan hanya untuk mengalihkan issue saja. Dan ternyata berhasil, karena kemudian Aini berkata, “Oh, gitu? Ya, udah, umpama ntar Dadan dapat infonya siapa pengirim puisi-puisi itu, tolong infokan juga ke kita ya? Ya, mungkin permintaan tolong dari kitalah, ya? Ngomong-ngomong barusan Dadan bilang gerai nasgor kita. Memangnya Dadan buka gerai nasgornya sama siapa saja?”
“Sama teman, Kak. Benar loh kak, kalau ada waktu, mampir. Lokasinya di sekitar Lapangan Serasuba. Aku sendiri yang akan bikinkan nasgornya. Serius!”
Sebelum Aini menjawab, Dewi sudah mendahului menjawab dengan nada ketus: “Nggak minat!”
Aini menginjak sepatu Dewi kuat-kuat sambil berkata, “Insya Allah, Dan, kalau ada waktu. Tapi tolong ya, umpama Dadan dapat siapa penulis puisi itu, cepat infokan ke kita, ya?”
“Insya Allah, Kak. Permintaan siap dilaksanakan!”
Sesaat Dewi mengamati wajah Dadan. Lagi-lagi ia tak mendapatkan sebuah isyarat apa pun di sana, kecuali wajah seorang laki-laki yang seolah-olah selalu tersenyum, menandakan keramahan dan ketenangan jiwanya.
Dadan tetap menampilkan gestur dan wajar yang tenang. Justru saat itu sesuatu rasa yang ganjil semakin merasuki ke dalam relung hati Nurmala Dewi. Seolah baru menyadari, bahwa ternyata tuh cowok memiliki wajah yang ganteng dan sangat menarik. Pelan-pelan ia membenarkan ucapan dan pujian Aini tentang kegantengan cowok di hadapannya. Aini benar, nih cowok memang ganteng dan simpatik…!
"Dadan tau nggak teman kampus atau SMA Dadan yang pandai bikin puisi?" Tiba-tiba Aini kembali bertanya. Entah iseng atau memang sengaja untuk menahan agar Dadan bertahan dulu di situ.
Kedua alis Dadan saling merapat, mencoba mengingat-ingat, lalu, "Ada, sih, beberapa. Tapi aku ragu, Kak, kalau salah seorang di antara merekalah yang punya puisi-puisi itu.“
“Siapa saja mereka…?” kejar Aini.
“Ada dua orang yang satu SMA hingga satu kampus sekarang. Mereka adalah Amrin dan Yadien. Mereka berdua penyuka sastra dan menulis banyak puisi juga.”
“Oh, Yadien itu yang item manis dan suka pake kaca mata itu, ya?” Entah mengapa Aini terkesan spontan menanyakan Yadien.
“Bener, Kak. Kalau yang Amrin yang agak kurus tinggi bungkuk gitu orangnya. Tapi aku kira bukan mereka, sebab aku tahu persis mereka berdua. Dalam hal urusan hati dan cinta, keduanya pasti curhatnya ke aku.”
“Oh gitu?” sahut Aini. “Ya, ya, saya ingat mereka. Sering lihat keduanya kalau pas ke kantin.”
Naga-naganya konsentrasi Aini sedang beralih ke salah satu sahabatnya Dadan, yaitu Yadien. Gadis hitam manis itu lanjut berucap, “Kalau nggak salah, si Yadien itu pacaran sama si…”
“Belum punya pacar kayaknya kak,” potong Dadan, jujur. Ia tak sadar terjerat oleh pertanyaan Aini yang sebenarnya mau mengusut soal sahabatnya yang satu itu.
Akan tetapi rupanya Dewi lebih jeli dengan maksud tersembunyi sahabatnya itu, lalu berkata, “Hm, modus! Si Amrin juga masih jomblo juga kayaknya tuh. Borong saja sekaliaaan!”
Dadan seolah baru menyadari, langsung menyandarkan wajahnya di pinggir meja dan tertawa tanpa suara.
“Ikh, apa-apaan sih lo? Gue tanyanya serius!” sanggah Aini.
“Nggak percaya gue!”
Aini menoleh ke Dewi lalu menarik kedua kelopak matanya dengan menggunakan jari telunjuk dan jari manisnya sembari berucap, ”Emangnya gue pikirin? Weeek!”
Perilaku Aini itu lagi-lagi membuat Dadan kembali dibuat menyembunyikan tawanya di pinggir meja. Tubuhnya bergoncang-goncang. Saat bersamaan ponsel di saku celannya berbunyi. Ada pesan Whatsapp yang masuk. Rupanya dari Yadien.
Setelah sekedar berbasa basi sebentar, Dadan pamit. Terakhir, tanpa diketahui oleh Dewi, Dadan menerima kode berupa kedipan mata sebelah dari Aini. Namun kedipan itu diarahkan ke samping, ke Dewi. Dadan hanya membalas dengan tersenyum malu-malu, tapi memperlihatkan jempolnya sekilas sambil tersenyum penuh arti.
Dewi merasa ada perasaan lain saat duduk berhadapan dengan Dadan, cowok yang menurutnya selama ini dianggapkan sebagai cowok misterius. Walau tak diamatinya dengan seksama, ternyata Dadan memiliki wajah
yang ganteng dan punya sifat yang simpatik.
Keesokan harinya, Dewi bertemu lagi dengan Dadan di depan mading senat tanpa sengaja. Keduanya asyik menjelajahi berita dan berbagai tulisan yang terpasang di mading, namun tiba-tiba keduanya berbalik dan hendak pergi, tapi nyaris bertabrakan. Beberapa buku dalam dekapan Dewi terjatuh.
“Ah, ma-maaf, Kak...!” ucap Dadan gagap. Dengan cepat ia memungut buku-buku itu dan menyerahkan kembali kepada Dewi. Wajahnya tetap seolah-olah tersenyum.
Dan Dewi tidak menjawab apa-apa. Namun ketika Dadan berlalu, ia sempat melihat punggung mantan ketua OSIS di SMA-nya itu. Dan saat Dadan menoleh, dengan cepat Dewi membuang wajahnya. Ia merasa sangat malu. Menggeleng-geleng pelan, tersenyum, lalu pun pergi dari tempat itu.
* * *
Pagi di hari Minggu, fajar di timur mulai nampak merekah. Setelah menyelesaikan sholat subuhnya, Dewi segera mengenakan stelan baju trainingnya, berikut sepatu khususnya buat berolah raga.
Pagi ini, seperti kebiasaannya di setiap Minggu pagi, ia akan lari pagi. Tadi malam ia sudah janjian dengan Aini, dan mereka akan bertemu di tempat biasa, yaitu di depan Asi (istana) Kesultanan Bima. Rumah Dewi hanya berjarak sekitar empat ratusan meter saja dari bangunan kebanggaan masyarakat Bima itu.
"Dewi pamit, Pap, Mam, mau lari pagi dulu," pamit Dewi sembari mencium tangan kedua ortunya. Saat itu Pak Usman dan Bu Tati baru pulang dari mesjid.
"Iya, hati-hati ya, Wi," pesan papanya.
"Iya, Pap."
Di luar, di jalanan yang melintang di depan rumahnya, sudah terlihat cukup banyak orang yang berlari pagi. Dewi pun segera bergabung dengan mereka. Udara musim kemarau di pagi itu terasa dingin, menisik hingga ke dalam sumsum tulang, sehingga untuk sementara Dewi terpaksa berlari sambil memeluk dada untuk sekedar memberi hangat pada tubuhnya.
Di depan Asi telah menunggu Aini. Dia tidak sendirian, tapi ditemani oleh Anggun.
"Dah lama kalian menunggu?" tanya Dewi.
"Baru juga, sih?" jawab Aini. "Cuma sendirian?"
"Iyalah. Biasanya juga gue sendirian, kok."
"Ya, siapa tau kali ini lu bareng gebetan lo," goda Anggun.
"Mang siapa gebetan gue?"
"Tauk! Si Gawis, kali!" celetuk Aini.
"Woekk! Tolong jangan sebut nama si brengsek itu lagi, deh! Muntah gue!"
Aini dan Anggun langsung tertawa.
"Terus destinasinya ke mana, nih? Pantai Kolo, Amahami, atau Lawata?" tanya Anggun kemudian.
"Sekali-sekali kita ke Pantai Kolo saja, yuk. Kan kita belum pernah ke sana," usul Dewi.
"Boleh juga, tuh. Yuk," ucap Aini.
Ketiganya pun berlari-lari anjing ke arah barat, lalu kemudian berbelok ke arah utara. Ternyata cukup ramai juga orang yang berlari pagi ke arah Kolo. Mungkin sama ramainya dengan yang berdestinasi ke Pantai Lawata atau pun Amahami. Bisa jadi penyebabnya karena jalur tembus ke pantai Kolo ini relatif baru, lalu menjadi destinasi alternatif untuk lari pagi. Dulu, untuk ke Pantai Kolo hanya bisa dilakukan lewat laut, yaitu dengan naik perahu boat dari dermaga Asakota Bima.
"Lu berdua pernah nggak ke Pantai Kolo?" bertanya Dewi kepada Aini. Dia mengambil posisi di tengah.
"Piknik sering juga, sih. Tapi kalau lari pagi ke sana, ya baru sekarang," jawab Aini. Gadis yang wajahnya mirip-mirip Dian Sastro Wardoyo ini mengambil posisi sebelah timur. Sekali-sekali ia memepetkan tubuhnya ke tubuhnya Dewi karena takut tersenggol sepeda motor yang mulai lalu-lalang di sampingnya.
"Kalau gue pas waktu SD dulu. Piknik sama bokap nyokap. Itu pun masih lewat laut pakai perahu. Lalu gue lanjut SMA-nya di Jakarta. Baru sekarang ini lagi gue ke Kolo. Pasti keadaannya sudah beda jauh kali, ya?" ucap Anggun.
"Eh, sebentar…!" Tiba-tiba Dewi menahan lari Anggun dan Aini. Sepasang mata indah gadis yang berwajah tak kalah cantiknya dengan artis Asmiranda ini memandang awas ke arah depan sana
"Kenapa, sih?"
"Sstt..!" Dewi memotong ucapan Aini. "Coba kalian lihat ketiga cowok di depan sana. Sepertinya itu si Amrin, Yadien, dan… si cowok misterius itu…!”
