Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

PART 09

Kemudian ia mencari nomornya Aini, dan memencetnya. Aktif. Sesaat kemudian wajah asli Aini muncul di layar ponselnya sambil menyapa, "Hai. Napa, Say…? Kok jam segini belum bobo?"

"Belum, barusan habis garap tugas kampus dulu, nih,” sahut Dewi, ngeles. “Lu sendiri napa belum bobo? Biasanya jam segini lu udah ngorok?"

“Tadi gue sudah tidur, terus bangun. Tapi dari suaranya lu, kayaknya lu lagi bete, gundah, atau semacam itu, deh.”

"Jujur, Iya, Ni. Gue lagi gundah habis, nih.”

"Gundah karena apa?”

Dewi lalu menceritakan permasalahan yang dihadapinya, terutama yang mengenai isi puisi yang terakhir diterimanya.

"Hmm, masih tentang puisi misterius itu rupanya? Atau lebih tepanya si pengirim puisinya, ya?"

“Iya, Ni. Kayaknya makin hari gue jadi dibuat jadi kepikiran terus. Dan entah mengapa, gue tetap menaruh curiga, bahwa si pengirim puisi yang menamakan diri dengan Kumbang Kelana itu adalah Dadan. Dalam bayangan, bahkan mimpi gue, hanya wajah dia saja yang muncul. Entahlah, mungkin karena pengaruh emosi gue aja kali, ya?”

"Hmm, ya, ya. Jika feeling lu kuat pada si Dadan, ya bisa jadi benar. Karena terkadang intuisi itu sangat benar. Ya, semoga waktu akan menunjukkan dan membuka misterinya ke lu, ya?”

“Semoga…”

“Tapi seumpama feeling lu benar, bahwa Kumbang Kelana itu adalah Dadan, lantas sikap lu sama do’i gimana? Tapi bentar…gue tebak: lu pasti senang, karena sesungguhnya lu lagi resah, em, tepanya lagi memikirkan do’i, kan?"

"Tau, ah! Mungkin gue marah, kale..?”

"Hahahaha…marah apa mauraaah?” goda Aini. “Kasihan lho hatimu kalau lo membohonginnya. Jujur sih, menurut gue, antara lu dengan Dadan bisa menjadi pasangan yang sangat serasi, lho. Sumpah! Gue serius ngomongnya. Do’i ganteng dan lo cantik. Dan menurut gue, do’i adalah mahasiswa terbaik di kampus kita. Lo keliru menolak do’i jika dia datang mengetuk pintu hati lo, Wi. Ingat, gue serius, nggak lagi bercanda.”

Cukup lama Dewi terdiam. Ia sedang meresapi kata-kata Aini. Apa yang dikatakan oleh sabahatnya itu sebenarnya tidak berlebihan, sesuai fakta, dan itu sudah sesuai dengan yang terasa dalam relung hatinya. “Jujur, Gue masih bingung, Ni,” ucapnya akhirnya.

“Bingung kenapa, Nek?”

“Entahlah, Ni. Jika itu benar dia, lantas buat apa sih perlu main petak umpet segala? Jika bener-bener jantan, ya perlihatkan kejantanan.”

"Kecil kali kejantanannya, makanya dia malu perlihatkan ke lo. Atau malah besar? Kan dia masih turunan Arab?! Kikikiki…,” goda Aini, lalu tak mampu menahan tawanya.

Dewi pun jadi ikut tertawa mendengar ucapan sahabatnya yang konyol itu. Setelah itu ia kembali membicarakan tentang kalimat dalam puisi yang dikirimkan terakhir. "Gue tertarik untuk menelaah kalimat pusinya yang terakhir, Ni, yaitu: Suatu masa aku akan datang, membawa nafas kehidupan. Maksudnya apa?”

“Yaa…bisa saja kalimat itu sebuah kekuatan tekad dari si penulisnya, atau bisa juga sebagai firasat. Tafsiran gampangnya, suatu saat, entah kapan, dia akan datang buat memberi kehidupan buat lo. Pemahaman gampangnya gitu saja sih, menurut gue.”

"Well, bisa jadi, Ni. Tambah puyeng gue!"

Keesokan hari, di kampus, pun Dewi tidak bertemu dengan Dadan. Ketika berjalan melewati kantor senat, tempat biasanya Dadan cs bermarkas, cowok yang pelan-pelan sudah mulai dirinduinya itu pun tak ada. Yang terlihat hanya Yadien, Amrin, dan beberapa anak senat lainnya yang nampak lagi serius membahas sesuatu masalah.

Amrin yang sempat melihat dirinya segera bangkit dan keluar menyapanya, "Hai…!"

"Hai juga," balas Dewi. "Lagi pada ngapa?"

"Biasa, lagi bahas tentang persiapan milad kampus kita.”

Saat itu Yadien muncul di samping Amrin langsung menyapa, "Hai Dewi. Kok cuma sendirian? Nggak sama Aini atau Anggun?!"

"Makanya aku lewat sini berharap bertemu mereka,” jawab Dewi, beralasan. “Aku kira mereka ada di sini.”

Amrin dengan cepat menjawab berkelakar, "Ada, nih, memang. Tapi di hati kami.”

“Iya, iya, sudah tahu,” balas Dewi lalu tertawa kecil. "Acara apa saja ntar buat milad kampus kita? Ada malam seninya nggak?"

"Oh pasti,” jawab Yadien. “Malam kesenian tuh wajib ada. Kita usahakan ada segmen acara sendratarinya."

Yadien pamit tinggal dulu sebentar, karena ada panggilan dari salah seorang temannya di belakangnya, dalam ruangan senat.

"Bagus sekali itu. Aku mau dong masuk di sendratarinya. Ya kebetulan dulu pernah di sanggar tari jua?”

“Ohya? Kebetulan. Kita memang lagi mencari para koreo dan pelatih koreonya. Bagaimana kalau urusan koreo itu kami serahkan kepada Dewi saja?” usul Amrin.

“Siap,” Dewi menyanggupi. “Terus, selain acara sendratari, persembahan apa lagi?”

"Ya antara lain lomba cipta puisi, deklamasi puisi, persembahan music.”

“Wah, persembahannya banyak, ya? Pasti ramai nantinya.”

“Aamiin.”

Yadien muncul kembali dan langsung berkata, "Ohya, Wi, katanya tadi pagi si Dadan mau bertemu dengan kau. Katanya mau membicarakan sesuatu. Kayaknya sesuatu yang penting, sih. Sudah bertemu?"

Ada perubahan di wajah Dewi saat mendengan nama Dadan disebut. Lebih-lebih saat mendengar, bahwa laki-laki itu mencari dirinya. " Belum tuh. Sekarang dia di mana?"

"Ya, kayaknya ada hubungannya dengan Malam Kesenian dalam rangka milad juga. Dia sekarang lagi ke rektoriat. Konsultasi," jawab Yadien.

"Oo, gitu..?" ucap Dewi. Ada sedikit kecewa yang menyelip dalam hatinya.

Malamnya, ba’da Isya, Dadan menelepon Dewi. Hal yang tak terduga oleh Dewi. Seperti gayung bersambut. Laki-laki itu meneleponnya di saat benaknya memang tengah memikirkannya.

"Dari mana lu dapat nomor gue ?" bertanya Dewi, berpura-pura tetap tak ramah.

"Oh iya hampir lupa, " jawab Dadan, " tadi aku nanya ke Kak Aini. Saya minta maaf ya Kak, karena sudah lancang."

Dewi tersenyum mendengar ucapan cowok di seberang yang terdengar kentara merasa bersalahnya. Namun Dewi pun agak kecewa juga karena Dadan masih saja memanggilnya dengan panggilan Kak. Panggilan lantaran perbedaan satu tingkat di ruang kuliah. Padahal usia Dadan sebenarnya lebih tua setahun dari usianya. Dewi mengetahui itu karena pernah membaca profil sang ketua senat itu beberapa minggu yang lalu, ketika terpilih sebagai ketua senat mahasiswa di fakultasnya.

"Iya, nggak apa-apa. Gue dengar dari Yadien lu mo membicarakan sesuatu ma gue? Soal apa?"

"Iya benar, Kak. Begini, kita kan mo ngadain acara malam kesenian dalam rangka milad kampus kita. Nah, kami sebagai panitia acara itu ingin mempersembahkan sendratari juga. Ya antara lain puisi, musik, drama, dan juga koreo. Untuk yang akan mempersembahan puisi, deklamasi puisi, serta musik sudah ada. Yang belum ada para calon koreografnya.”

"Lantas...?"

"Gimana jika nanti Kak Dewi cs yang mempersembahkan koreonya? Kebetulan sepengetahuan aku, Kak Dewi sangat punya kemampuan dalam bidang koreo. Aku pernah melihat penampilan Kak Dewi cs waktu malam perpisahan di SMA kita dulu. Bagus sekali."

"Emang Dadan nonton?" tanya Dewi. Ada perasaan tersanjung mendengar pujian Dadan.

"Pastinya dong, Kak. Masak ketua OSIS nggak nonton? Bagus sekali, Kak. Aku masih ingat sampi sekarang. Kak Dewi benar-benar seorang penari yang hebat!" puji Dadan terlihat tulus.

"Ah, gombal! Masak gerakan canggung gitu saja dibilang hebat?!" Nada senang tak mampu Dewi sembunyikan. Malah sebaliknya ia kagum terhadap laki-laki di seberang, yang ternyata hingga kini masih mengenang penampilannya di dua tahun yang silam itu. Memang harus diakui, bahwa ketika SMA dirinya adalah seorang penari yang bagus. Bahkan beberapa kali menyabet penghargaan lomba tari baik di beberapa ajang lomba koreo. Namun sekarang, setelah masuk bangku kuliah, dirinya sudah sangat jarang menekuni hobinya itu.

"Yakin, Kak. Aku benar-benar terpesona waktu itu. Dentuman musik tradisional Bima dan lagu Haju Jati sangat pas mengiringi gerakan koreonya. Kalau nggak salah, itu Tari Lenggo ya, Kak?"

"Iya, itu Tari Lenggo. Tapi kayaknya gerakanku tak seluwes dulu lagi, Dan. Habis sudah lama sekali aku nggak berlatih. Lagian teman-teman dalam kelompok tari dulu pada kuliah ke luar daerah. Cuman aku dan si bencong, Gawis, saja yang masih di sini."

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel