Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 7. Mencoba Mengelak

Jaka kembali melanjutkan harinya sembari terus mengingat apa yang dikatakan Roro padanya, dia harus mulai melupakan keinginannya membalas dendam ayahnya demi keselamatan keluarga kecilnya.

Bukan tanpa alasan Roro meminta itu pada suaminya, bagi wanita sederhana itu memang Jaka berhak untuk memenuhi permintaan ayahnya yang sudah tiada, tapi melawan keluarga kaya suaminya yang memiliki uang dan kekuasaan adalah hal konyol yang bisa saja membuat mereka justru terjerumus dalam jurang kesulitan yang lebih besar.

"Memang Bang Irawan itu polisi, Ro," lanjut Jaka malam harinya. "Duh, kalau ingat kemarahanku tadi, aku jadi takut kalau dia... "

Roro yang biasanya pemarah malam itu malah terlihat tenang, dia tau kemarahannya tidak akan merubah apapun saat ini. Dia hanya memandangi wajah Jaka yag terus tergiang wajah ayahnya yang memintanya menuntut balas. "Kalau dia apa?" tanya Roro setelah anak kata Jaka tidak berlanjut.

"Ya, seperti yang kamu bilang tadi,"

"Sudah, Mas. Yang penting sekarang kita lupakan dia. Kita kerja aja untuk anak kita, yang lalu biar berlalu. Ayah lama-lama juga pasti ngerti," tutur Roro begitu lembut.

Jaka meninggikan pandangannya menatap Roro yang malam ini sangat berbeda. Dia kemudian mengecuk kening istrinya lembut kemudian mengajaknya tidur.

Hari sudah malam dan Jaka harus kembali bekerja keesokan harinya. Dia harus pergi pagi karena lupa memberikan laporan ke pabrik untuk menunjukkan hasil kerjanya hari ini.

Hari berganti dan Jaka sudah bersiap untuk pergi ke pabrik, matanya segera melirik ke arah meja makan yang masih kosong.

Jaka menghela nafas lalu meraba perutnya yang sejak subuh sudah bernyanyi. Ini bukan hal baru dalam hidupnya hingga Roro juga tidak banyak berkomentar menanggapi wajah suaminya yang suram.

Kondisi seperti ini yang membuat Jaka lelah hidup dalam kemiskinan, dia yang sudah bekerja keraspun bahkan tidak kebagian nasi untuk sarapan padahal dulu dia selalu bergelimang makanan di atas meja.

Semenjak dia pindah di rumah ini dengan istrinya, dia harus sering mengelus perut kosongnya bahkan kadang untuk beli air galon saja dia tidak mampu.

Bayangan ayahnya yang sedih melihat kondisinya kembali memenuhi kepalanya, membuat Jaka ingin kembali menemui Irawan untuk menuntut balas. Tapi baru saja dia berdiri tiba-tiba wajah Roro menggelengkan kepala seakan tau jika suaminya akan melakukan hal yang sama dengan yang dia lakukan kemarin.

"Mas," bisik Roro membuat helaan nafas Jaka kembali terdengar.

"Nggak, kok. Aku mau kerja aja," sahut Jaka dan senyum istrinya terlihat begitu indah pagi ini.

Jaka yang lapar kemudian memacu mesin motornya menyusuri jalan menuju pabrik. Suara perutnya masih menggema tapi dia tidak berdaya. Dia terus memutar gas hingga akhirnya sampai di depan pabrik saat Pak Danu terlihat berdiri dekat pos satpam dan menyambutnya dengan senyuman lebar.

"Jaka,"

Jaka yang masih memarkir motor hanya tersenyum simpul menahan perutnya yang terus bernyanyi, dia berusaha tetap datar agar Danu tidak tau apa yang dia rasakan pagi ini.

"Mmm, sudah sarapan?" tanya Danu yang segera tau isi kepala Jaka.

"Saya?" Jaka menelan ludahnya berharap pria yang berdiri dengan wajah berseri ini mau mengajaknya sarapan.

"Iya, siapa lagi. Aku belum sarapan, kalau kamu belum makan, ikut aku,"

"Alhamdulillah," bisik Jaka lalu melangkah mengikuti langkah Danu yang lambat menyebrangi jalan di depan pabrik.

"Pilih aja kamu mau apa. Ada pecel, soto, nasi campur," tunjuk Danu ke etalasei warung sederhana itu.

"Soto," jawab Jaka tegas.

"Ok, soto 2 makan di sini,"

Pemilik warung segera menyiapkan pesanan tanpa banyak berkata. Dia menata nasi, bihun dan suiran ayam di atasnya. Saat tangannya mengayun sendok sayur tiba-tiba Danu menunjuk ke arah telur rebus yang ada di dalam etalase. "Tambah telur,"

Jaka tersenyum senang, dia tidak menyangka atasannya itu begitu pengertian. Dia lalu menerima mangkok penuh isian setelah semua diserahkan pemilik warung.

"Makan yang banyak, pemilik pabrik hari ini ulang tahun, dia minta aku traktir semua karyawan,"

"Alhamdulillah kalau gitu," ucap Jaka mulai memakan semua nasi yang ada di depannya.

Saat dia sedang makan tiba-tiba seorang tetangga Jaka mendekat untuk membeli menu, dia lalu menepuk bahu Jaka yang masih menunduk tidak menyadari keberadaannya. "Mas, sarapan,"

"Eh, Pak De'. Iya," sahut Jaka masih sibuk dengan makanannya.

"Kamu tetangga Jaka, kan?" tanya Danu ke arah pria berkulit hitam itu.

"Iya, Pak Dan," jawabnya dengan panggilan akrab atasan Jaka ini.

"Wah, kebetulan. Aku titip makanan untuk istrinya Jaka, ya,"

"Hah, buat Roro?" Jaka terperanjak.

"Ya, kamu makan kenyang, masa istrimu nggak. Mau bungkus apa untuk istrimu, biar Pak De' yang antar?"

"Boleh," jawab Pak De' dan Jaka segera menangguk.

"Samakan saja, Pak. Sotonya enak," puji Jaka dan Danu segera membungkuskan sebungkus nasi dan seplastik soto untuk dibawa oleh tetangga Jaka ini.

Tentu Jaka sangat senang dengan pemberian atasannya ini, dia yang tadinya sedih akhirnya bisa tersenyum lagi.

"Nah, kalau kamu senyum gitu, kan, aku jadi senang," kata Danu lalu menepuk berkali-kali bahu Jaka.

"Maaf, Pak. Saya sedang banyak masalah, mangkanya jadi kayak gini."

"Masalah apa?" Danu mencoba menyelami masalah pegawai baru ini.

"Ada keinginan ayahku yang belum bisa aku penuhi. Itu membuatku jadi galau tiada henti,"

"Mmm, kayaknya serius banget ini," kekeh Danu menyairkan suasana. "Kalau aku boleh saran, kamu kerja aja dulu, fokus sama anakmu yang mau lahir. Kalau kataku, semua dalam hidup ini ada waktunya dan saat waktu itu datang, percayalah, kamu bahkan tidak akan pernah bisa menghentikannya,"

Deg!

Perkataan Danu ini begitu tepat menyentuh hati Jaka, dia tidak menyangka meski tidak berkata banyak, Danu bisa mengetahuinya.

Jaka tersenyum simpul lalu mengangguk tegas. "Iya, Pak. Saya fokus ke anak saja,"

"O, iya. Ngomong-ngomong bonusmu yang kemarin udah cair, tuh. Tar ke kantorku dulu, ya, ambil uangnya,"

"Dapat bonus, Pak?" tanya Jaka semakin senang.

"Pasti, lah. Masa kamu sudah kerja nggak dikasih bonus," kekeh Danu lagi semakin membuat Jaka merasa jika keputusannya untuk melupakan sejenak dendam ayahnya sudah benar adanya.

"Pak! Pak!" panggil seorang pegawai lain sambil melangkah memasuki warung tempat Jaka dan Danu sedang asik ngobrol.

"Ada apa teriak-teriak?" tanya Danu masih dengan wajahnya yang datar.

"Ada polisi datang ke pabrik, Pak?"

Danu menarik senyumnya melirik ke arah pengirim pesan itu. "Ada yang salah? Kok sampai di datangi polisi,"

"Nggak tau, Pak. Saya juga bingung,"

"Apa mungkin polisi itu..." Jaka menghentikan anak katanya melirik ke arah Danu. "Irawan," lanjutnya.

"Ih, siapa itu Irawan," Danu mengerutkan keningnya.

"Cepat, Pak," pinta pengirim pesan itu lalu menarik tangan Danu.

"Kalau gitu saya ikut," pinta Jaka lalu bangkit dari tempat duduknya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel