Pustaka
Bahasa Indonesia

Jeritan Dibalik Peti Mati Ayahku

16.0K · Ongoing
Sisi Ryri
68
Bab
319
View
9.0
Rating

Ringkasan

sebagai mantan orang kaya hidup Jaka tidaklah mudah, dia harus menerima hinaan dari istrinya dan keluarga besarnya. Bahkan Roro, istrinya mengancam akan menceraikan Jaka jika dia tidak segera mendapatkan pekerjaan. Pekerjaan baru Jaka ternyata membawanya ke kondisi dimana dia akhirnya tau jika kematian ayahnya mengandung misteri yang harus dia pecahkan sendiri.

PengkhianatanKeluargaSupernaturalPernikahanMenyedihkanactionpembunuhan

Bab 1. Bekerja Atau Bercerai

"Aku nggak mau tau, Mas! Pokoknya hari ini kamu harus dapet kerja!"

Petak rumah persegi yang cukup sempit itu tidak pernah sepi. Gema suara Roro terus mengalun hingga sang suami frustasi sendiri. Barangkali para tetangga pun tidak berhenti mendengar pembicaraan mereka.

Pasalnya, Jaka—suami Roro belum mendapatkan pekerjaan semenjak jatuh miskin. Waktu pria itu habis hanya untuk tidur, menonton televisi, dan main catur bersama para tetangga di warung.

Jaka masih mencoba mengusap punggung Roro, meminta wanita itu untuk tenang. Dia malu kalau seisi kompleks perumahan kecilnya itu mendengar bentakan Roro setiap hari.

"Sabar, Neng. Aku juga masih berusaha nyari kerjaan. Kamu doain aku dong. Jangan malah dibentak-bentak kayak gini."

Jaka beralih mengusap perut buncit Roro dan mencoba memeluknya. Akan tetapi, wanita itu malah menepis. Tatapan tajamnya sungguh sadis. Hingga di detik itu Jaka menciut dan memilih mundur sedikit jauh dari wanita itu.

"Sabar-sabar! Dari dulu tetep aja disuruh sabar! Mas, anakmu ini mau kamu kasih makan apa kalo kamu terus-terusan nggak dapet kerja? Mau kamu kasih makan rumput?"

Bunga desa itu sedang mengandung anak pertama mereka. Sekarang kandungannya berusia delapan bulan. Makanya wajar kalau dia marah melihat suaminya yang lebih senang rebahan ketimbang cari kerja. Semenjak digusur ke rumah kecil yang Roro pikir lebih pantas disebut gubuk ini, Jaka tidak pernah mencari nafkah lagi. Seolah-olah pria itu pasrah saja hidup mereka digerus kemiskinan.

Jaka yang mulai panas mendengar omelan istrinya mendengus. Dia melangkahkan kakinya menuju meja makan dan membuka tudungnya sejenak. Rupanya tidak ada makanan sama sekali. Kemudian dia beralih melihat galon di sudut ruangan. Dia mengacak rambut frustasi. Kerut dahinya pertanda putus asa itu terlihat jelas. Bahkan air galon pun hampir terkuras habis.

"Iya, Neng. Aku tahu. Kemarin aku juga sempet ngeliat brosur pekerjaan. Katanya perusahaan lagi rekrut orang besar-besaran buat jadi supir di pabrik. Ya nggak mungkin dong aku terima. Coba, siapa yang mau kerja jadi supir di pabrik!" Jaka bertanya sekaligus menjawab sembari mendudukkan tubuhnya di kursi kayu kecil dekat jendela.

"Ya kamu lah! Siapa lagi?"

Lagi-lagi bentakan itu menggema. Putus sudah urat malu Jaka. Pagi, siang, dan malam Roro terus saja berbuat kegaduhan. Kalau bukan masalah pekerjaan, dia sibuk mendebat masalah kehamilannya.

Jaka tidak akan pernah mau kalau diminta bekerja di pabrik. Baginya itu pekerjaan rendahan. Sebelum digusur di rumah sempit ini, dia adalah anak Pak Gunawan yang terkenal konglomerat. Bisnis ayahnya pernah melambung tinggi. Pak Gunawan merupakan seorang pebisnis terkenal yang pernah dinobatkan sebagai CEO paling berpengaruh dan menginspirasi di Jawa Timur.

Sewaktu kecil dulu main balap karung bukan kesukaan Jaka. Alih-alih ikut anak-anak kampung main balap karung atau lempar kelereng, dia memilih mengajak mereka main PS di rumahnya. Menginjak dewasa Jaka tidak pernah pusing masalah uang jajan habis atau keperluan belajarnya tidak terpenuhi.

Semenjak Pak Gunawan meninggal dan keluarganya berpisah entah ke mana, Jaka harus menyambung hidup di kompleks perumahan kecil semacam ini. Kini yang adalah konflik utamanya. Roro tidak segan-segan memukul kalau dia pulang dan masih saja membawa tangan kosong.

Pasti berakhir Jaka berhutang makanan di warung depan. Kalau pemilik warung tidak meladeni Jaka sembari menatap sinis, ya mengomel hingga Jaka pergi dari warungnya dengan tangan kosong.

"Aku ini dari keluarga terpandang, Neng. Almarhum ayahku adalah pengusaha terhormat. Kamu pikir aku pantas mengambil pekerjaan itu?Supir pabrik itu hanya untuk masyarakat-masyarakat menengah ke bawah seperti mereka-mereka ini," ucap Jaka sembari menunjuk deret rumah di seberang mereka.

"Mas, rumah mereka aja lebih bagus dari kita! Mereka masih punya beras dan bisa masak enak! Lah kita? Kenyataannya sekarang kita jatuh miskin, Mas! Kamu harus sadar!"

Jaka melengos. Dia baringkan tubuhnya ke kursi panjang di ruang tamu dan meringkuk, ingin tidur. Mendengar omelan sang istri membuatnya hampir depresi. Dadanya sesak bukan kepalang. Ubun-ubun hingga panas keterlaluan.

"Aku nggak mau tau lagi! Kalo sampe dalam dua minggu kamu nggak dapet pekerjaan, aku nggak akan segan-segan buat ceraikan kamu!"

Sementara, Roro segera melangkah, menghampiri Jaka dengan perut buncitnya itu. Dia pukul-pukul lengan Jaka sekuat mungkin.

"Neng, perceraian itu bukan bahan candaan."

"Aku nggak bercanda, Mas! Pokoknya kamu harus segera dapat kerja, TITIK!"

Jaka yang terus dipukul dan tubuhnya ditarik supaya bangun dari kursi itu mendengus. Muka kusutnya dia usap kasar. Dia mengurungkan niat untuk tidur lebih awal dan memilih bangkit dari kursi. Diraihnya jaket lusuh yang tersampir di sandaran kursi dan melangkah pergi.

"Mas Jaka! Aku lagi bicara sama kamu!"

Jaka tidak menggubris teriakan Roro. Terkadang kata-kata dari istrinya itu sangat pedas hingga membuatnya dongkol sendirian.

"Kamu ini! Dasar suami nggak tau diri!"

Dari tepi jalan sana, Jaka masih bisa mendengar jelas makian istrinya.

Mendengus, melangkahkan kaki semakin lebar ke arah seberang. Lantas melangkah menuju warung langganannya. Benar bahwa dari sekian banyak masalah yang bertumpuk, warung itu adalah tempat terakhir yang paling nyaman untuk mendekam biarpun hutangnya terus ditagih dan terus dikatain pria pengangguran tidak tahu malu.

Tak pernah terbayangkan sedikitpun bahwa Jaka akan jatuh miskin seperti ini. Pak Gunawan meninggal dengan cara paling tragis yang pernah Jaka tahu. Bisnisnya hancur. Tanahnya dirampas pemerintah. Uangnya ludes entah ke mana. Kini Jaka tidak mendapatkan apa-apa. Untuk tetap hidup dan menghidupi Roro, Jaka harus membawa sang istri pergi jauh dari rumah mewahnya.

Jaka ketiban sial. Seolah-olah hidup sudah tidak berpihak lagi pada Jaka.

Sekali lagi dia mengacak rambutnya frustasi. Hawa kantuk bercampur lelah membuatnya semakin stres. Sisa uang seribu di dompet tidak akan memberikan jaminan apa pun. Terkadang Jaka ingin lari saja dari pernikahannya. Akan tetapi, lagi-lagi dia dibayangi bayi mungil yang sangat mirip dengannya.

'Ya Allah, anakku mau lahiran, tapi bapaknya ini belum mendapat pekerjaan sama sekali. Biaya persalinan saja tidak ada. Apalagi membelikan baju dan menyiapkan bubur untuknya.'

Jaka menyesal pernah menggebu-gebu ingin punya anak secepatnya.

Sekian menit usai itu, di tengah lamunannya, mata Jaka terbuka lebar. Tembok besar seberang sana memperlihatkan iklan lowongan pekerjaan yang tertempel di dinding teramat besar dan jelas. Jaka langsung melangkah, mendekat untuk membaca lebih teliti tulisan yang tertera.

Lowongan pekerjaan menjadi pengantar peti mati. Di tengah makian sang istri, omelan penjaga warung yang menagih hutang padanya, dan bayang-bayang anak sulung yang akan lahir dalam waktu dekat, Jaka menimbang-nimbang. Pekerjaan aneh semacam itu berhasil menarik atensi Jaka untuk membaca informasinya lebih lanjut.

HRD menulis bahwa gaji akan diberikan langsung ketika peti mati tersebut tiba di lokasi. Pekerjaan ini adalah alternatif yang sangat tepat karena Jaka ingin segera mendapatkan uang.

Langkah Jaka yang hendak pergi ke warung kini putar haluan. Dia ingin segera melamar pekerjaan itu sebelum didahului orang-orang. Jaka mengepalkan kedua tangan. Tekatnya begitu kuat dan harapannya bangkit kembali. Semoga saja HRD menerima lamaran pekerjaannya.

“Aku harus mengambil kesempatan ini!” tegas Jaka lalu melangkah masuk ke dalam pabrik tanpa banyak berpikir.