Bab 6. Tudingan Tak Berdasar
"Ngomong apa kamu, Ka? Aneh! Kamu pikir aku nggak bisa marah sama kamu karena tuduhan ini?" kesal Irwan pada Jaka yang begitu berani di hadapannya seakan pria ini tau segala rencana busuknya yang selama ini dia sembunyikan dari semua orang. "Apa karena kamu jatuh miskin kamu jadi minim ahlak?"
Jaka menatap nanar ke arah Irwan yang begitu marah di depan Irawan yang masih saja mengelak dari tuduhannya. Dia sadar saat ini dia tidak punya dasar untuk melanjutkan perdebatan yang pasti akan jadi panjang kalau dia lanjutkan tapi kekesalan di dadanya terlalu memuncak hingga dia tidak bisa menahan diri.
"Sudah, kalau kamu tidak mau ribut sama aku, pergi aja sana. Kita hidup masing-masing, jangan saling ganggu toh perkataanmu itu nggak mungkin ada buktinya," Irwan berbisik penuh penekanan sambil menatap tajam ke mata Jaka yang memang dia yakini berbicara tanpa dasar.
Irwan lalu menunjuk ke arah pintu keluar dengan senyuman licik seakan mengusir putra yang kini sudah tidak berharta meskipun harta yang dia miliki berasal dari cara yang salah.
"Aku akan kembali," bisik Jaka dengan tatapan perlahan meredup karena dia menyadari jika dia tidak memiliki kuasa yang cukup untuk melawan pria di depannya ini. "Aku akan cari bukti untuk seret kamu dan membalas dendam atas semua kekacauan yang kamu perbuat pada keluargaku," ancam Jaka dengan tatapan matanya yang tajam.
"Ok, cari saja. Kalau kamu bisa dapat, aku akan pergi dari sini dan mengembalikan semua harta yang kamu tuduhkan sama aku. Nggak takut aku, asal ada bukti," Irwan meninggikan dagunya seakan yakin kalau pria muda ini tidak akan menang menghadapinya karena Irawan tau tidak ada yang bisa menghadapinya untuk saat ini.
"Bagaimana kalau aku temukan bukti dari dugaanku?" tanya Jaka setengah mengancam. Tanganya mengepal kuat sambil tersenyum sinis agar Irawan tidak merasa jika dia benar-benar menang dalam pertarungan ini. Jaka juga menyipitkan matanya agar Irawan tau kalau dia sedang bersungguh-sungguh atas apa yang sedang dia katakan hingga Irawan tidak menganggapnya lemah.
Irwan tersenyum sinis mendengar ancaman itu, ingin sekali dia meremukkan wajah Jaka yang begitu yakin akan apa yang dia katakan tapi cepat-cepat Irwan menunduk, membuang senyum sinisnya mengingat jika dia adalah orang yang tidak pantas jadi sombong di dalam kantornya sendiri. "Aku ini polisi, jadi nggak mungkin aku melanggar," tegas Irawan begitu percaya diri meski sebenarnya di dalam dadanya dia mulai merasa goyah karena tidak menyangka Jaka yang dulunya penakut justru berani menghadapnya dengan wajah yang begitu yakin jika dia bisa mengalahkan sepupunya ini.
"Bagus, kalau begitu aku akan pergi dulu, tapi nanti, setelah aku temukan bukti atas dugaanku, aku akan kembali," janji Jaka begitu yakin.
Irwan tidak menjawab, dia hanya membiarkan saja Jaka pergi tanpa mengucap apapun setelah ancamannya.
Dia masih terlihat tenang meski sebenarnya di hati Jaka tetap ada rasa khawatir. Banyak cerita yang tidak bisa dia ungkap sekarang, terlebih tentang kematian ayah dari Jaka yang masih saudaranya.
Jaka kembali ke rumah kontrakannya menemui Roro, istrinya yang masih mengelus perutnya lembut.
Wanita cantik itu segera menoleh ke arah datang suaminya kemudian mendekat untuk bertanya. "Sudah pulang?" tanya Roro merasa warna wajah suaminya hari ini sangat berbeda. "Kenapa wajahmu terlihat aneh begitu? Apa yang terjadi?"
"Nggak, kok," Jaka mengelus wajahnya, mencoba melupakan semua yang terjadi antar dia dan Irawan beberapa menit yang lalu. "Aku hanya sedang kesal," Jaka kemudian memalingkan wajahnya agar Roro tidak tau apa yang baru saja dia alami di kantor Irawan beberapa saat yang lalu.
"Apa ini soal keluarga kayamu?" tanya Roro mencoba menebak lalu mencoba mengejar bola mata Jaka karena dia tau pria ini pasti berpaling jika apa yang dia tanyakan benar adanya.
Jaka tersentak mendengar jawaban istrinya, dia tidak menyangka kalau Roro bisa memberikan pertanyaan yang bisa membuatnya nampak begitu kaget. "Dari mana kamu tau?" tanya Jaka dengan nada yang lirih. "Kamu dapat kabar dari siapa?" tanya Jaka memastikan.
"Mas, aku tau kamu masih marah atas kematian ayahmu, tapi aku rasa demi anak ini, kita lupakan saja kejadian itu. Lebih baik kamu kerja, cari uang yang benar-benar dapat hasil," jelas Roro lalu memeluk tubuh Jaka yang baru saja tiba.
Detak jantung Jaka berdegup begitu kencang saat pelukan Roro yang hangat menyelimuti tubuhnya hingga wanita cantik ini segera tau kalau suaminya sebenarnya menyimpan sebuah cerita yang tidak mudah dia ceritakan di saat hatinya masih belum sepenuhnya tenang.
"Apa maksudmu?" tanya Jaka lirih lalu mengerutkan keningnya mendengar perkataan istrinya yang ambigu.
"Maaf," Roro meraih tangan suaminya kemudian menggenggamnya erat. "Aku tau mereka itu terlalu jahat, aku cuma takut saat kamu berani mengatakan semua yang kamu mau katakan, tiba-tiba hal buruk terjadi padamu. Lupakan, Mas. Kita hidup seperti ini saja aku sudah seneng, kok."
"Tapi... " Jaka menghentikan anak katanya karena bingung harus melanjutkan percakapan ini dengan cara yang seperti apa.
"Denger, kamu kerja saja kita sudah dapat uang. Kamu ngadepin mereka dapat apa? Dapat malu, Mas. Denger, aku nggak mau kamu ngemis-ngemis di depan mereka. Aku percaya, yang terpenting sekarang itu kerja, lupakan mereka, Mas. Aku mohon. Aku lebih butuh kamu ada di sisiku, ketimbang ngurusin mereka yang begitu dingin pada kita," tambah Roro penuh harap suaminya akan berhenti mencari keluarga kayanya.
Perkataan Roro itu mungkin benar. Bagi Jaka, malu rasanya kalau dia harus kembali ke rumah keluarga kayanya meski dia tau itu akan membantunya menemukan alasan kematian ayahnya. Belum lagi jika dia kembali berarti dia harus kembali merendah serendah-rendahnya dan sungguh Jaka tidak mau itu terjadi.
Sesaat mata Jaka masih saja memerah karena marah, tapi sedetik kemudian dia segera menghela nafas berat pertanda dia tidak mau perdepatan ini dilanjutkan.
Jaka terdiam, dia sungguh ada di situasi yang sangat pelik, di satu sisi ayahnya memintanya mencari alasan kematiannya, tapi di sisi lain ada Roro yang ingin dia melupakan saja semua kejadian yang terjadi dalam keluarganya. Memang tidak mudah menuruti perkataan Roro hingga Jaka hanya bisa menatap wajah cantik wanita yang dia nikahi itu dengan lembut.
Kepala suami Roro ini seketika jadi kaku, rasanya ingin berteriak saja melepas semua konflik batinnya, tapi dia kembali melihat istrinya yang sedang sangat membutuhkan dia di sisinya.
"Ya, Mas," pinta Roro sekali lagi dan Jaka menggangguk pelan.
"Semoga saja aku tidak memilih jalan yang salah," ucap Jaka penuh harap walau sebenarnya dia tidak mau berhenti sampai di sini.