Bab 5. Peran Irawan
Seketika Jaka menelan salivanya. Pikiran buruk kembali hadir. Nama-nama saudara Ayah dan pada karyawan itu berbaur dengan sekian banyaknya keluarga Ibu. Kembali Jaka ingin kenangan tentang satu per satu keluarga Ibu. Termasuk Rani.
Kalau bukan keluarga Ayah yang berbuat jahat, tidak ada opsi selain keluarga Ibu. Kini pertanyaan Jaka menjadi sangat kompleks.
'Apakah keluarga Ibu yang membunuh Ayah dan merampas semua harta Ayah?'
Jaka bergegas mengantarkan peti mati tersebut dengan kecamuk pikiran buruknya. Dia terus mencari korelasi yang tepat tentang peran penting keluarga Ibu di tengah kebangkrutan perusahaan Ayah.
'Apakah kematian Ibu dua tahun yang lalu membuat mereka merasa bebas dan semakin semena-mena dengan keluargaku?'
Jaka berceloteh dalam hati, menafsirkan apa pun yang sekiranya bisa memecah kebisingan dalam benak.
Hanya butuh waktu dua puluh menit untuk sampai ke alamat tujuan. Jaka langsung tahu di mana persisnya rumah yang dimaksud Danu.
Jaka langsung memberhentikan mobilnya tak jauh dari rumah tersebut dan segera menurunkan peti mati. Pengurus prosesi tutup peti itu bergegas mengambil petinya dari Jaka dan memberikan bayaran sesuai yang dijanjikan.
Tampaknya semua keluarga Ibu datang untuk berbela sungkawa. Banyak mobil dan sepeda motor yang memenuhi halaman rumah. Jaka yang juga ingin melihat jenazah Rani turut melangkahkan kaki lewat pintu depan.
"Jaka!"
Jaka menoleh pada salah seorang anggota keluarga yang menyapanya. Dia tersenyum sekilas.
"Dari mana kamu tau kalau Rani meninggal? Apakah ada keluarga yang menghubungimu?"
Jaka lihat sejenak peti mati yang melintang di hadapannya. Tidak mungkin Jaka bercerita kalau dirinya sekarang bekerja sebagai pengantar peti mati. Gengsinya masih cukup tinggi.
Makanya dia putar pandangan ke arah salah seorang keluarga yang baru datang. Jaka tersenyum simpul.
"Hallo, Mbak Ratih! Keluarga Mbak Ratih sehat?" tanyanya sekadar untuk basa-basi.
"Sehat,Ka. Kemarin Mas Ben berangkat kerja ke luar kota lagi."
Seseorang yang Jaka panggil Mbak Ratih itu mengangguk. Ratih adalah salah satu kerabat yang cukup dekat dengan Ibu. Makanya Jaka tidak sungkan mendekatinya sekadar untuk mengobrol lebih jauh.
"Diva sama Zen juga sehat?"
"Sehat juga, Ka. Diva lagi bantu-bantu siapin sembako buat acara doa bersama nanti malam. Kalau Zen masih ganti baju. Katanya mau ikut pemakaman tantenya."
Jaka mengangguk paham. Pandangan pria itu berangsur pindah. Dia melihat jenazah Rani yang sudah ditutupi kain kafan. Entah apa penyebab kematiannya. Yang jelas raut wajah Jaka tidak bisa berbohong. Ada gurat kesedihan karena ayahnya juga pernah ada di posisi ini. Dikafani dan dikerumuni para keluarga.
"Saya jadi ingat almarhum Ayah, Mbak. Waktu itu Ayah meninggal sewaktu saya nggak ada di rumah."
Jaka berbicara dengan volume kecil. Suaranya hampir-hampir tidak bisa didengar oleh Ratih. Akan tetapi, Ratih peka. Dari gurat sedih Jaka, Ratih bisa membaca bahwa pria tampan itu sangat merindukan ayahnya.
"Yang udah berlalu biarin berlalu, Ka. Kematian ayahmu pun bukan kesalahanmu sendiri. Sekarang fokus aja sama istri dan anakmu. Bentar lagi Roro mau lahiran, kan?"
Jaka mengangguk, meski sedikit ragu. "Bener, Mbak, yang udah berlalu biarin berlalu. Tapi ya tetep aja, kadang-kadang saya ngerasa sedih kalo keinget Ayah. Apalagi dia ini orang baik. Saya masih belum bisa terima kenyataan tentang kematiannya Ayah."
"Ikhlasin ayahmu, Ka. Dia pun pasti nggak mau kalau tau anaknya sedih."
Punggung Jaka diusap lembut, berharap energi positif itu dapat tersalurkan. Jaka yang berusaha menetralkan emosi menoleh penuh pada Ratih. Mata wanita itu ditatap sedemikian intens.
"Mbak percaya nggak kalau aku bilang Ayah mati karena dibunuh?"
Tandas dan begitu jelas. Dengan ujaran yang teramat pedas. Tangan Ratih berhenti mengusap punggung Jaka. Kini wanita itu melayangkan tatapan tajam.
"Jaka! Apa-apaan kamu? Nggak baik ngomong kayak gitu di rumah duka. Mbak udah bilang, ikhlasin ayahmu. Jangan mikir yang aneh-aneh kayak gitu!"
Sayangnya Jaka tidak menggubris. Jaka seperti tengah tersulut perasaan yang tak biasa. Makanya pria itu berterus terang menatap Ratih, seolah-olah menaruh curiga.
"Mbak masih inget hal-hal yang berhubungan dengan mendiang Ayah sebelum meninggal?"
Ratih mendesis. "Jaka, cukup! Ini bukan saatnya bicarain soal Ayah kamu! Kita ini sedang bertamu di rumah duka. Bukannya mendoakan Rani, kamu malah bicara macam-macam yang tidak masuk akal!"
Lantas bungkam sudah mulut Jaka karena Ratih melontarkan tatapan tajam tak masuk akal. Tudingan tangannya persis terarah ke muka Jaka. Seolah-olah menunjuknya hina.
Mengapa Ratih begitu marah atas pertanyaan Jaka?
Jaka berhembus nafas kesal. Kini dia hanya bergeming menatap jenazah Rani yang mulai dimasukkan ke dalam peti. Sepanjang prosesi itu Jaka hanya melamun.
Hingga kembali lagi! Dunia Jaka buyar!
"Jaka, ini Mbak Rani."
Jaka meneguk ludah. Suara yang pernah dia kenal itu menyapa pendengarannya. Iya, itu Rani!
"Iya, di sini."
Persis di sudut ruangan, di dekat pintu menghadap peti mati.
"Mbak percaya padamu, Jaka. Mbak percaya kalau kamu bilang ayahmu meninggal karena dibunuh."
Jantung Jaka seolah-olah berhenti berdetak. Pikirannya buntu. Sosok wanita dengan gulungan rambut rapi dan pakaian putih bernoda itu berdiri di sudut ruangan. Sosok wanita itu berucap lembut dengan tangis keruh di kedua matanya.
"Mbak mau menjadi saksi atas pembunuhan ayahmu. Kakaknya Mbak, Bang Irawan adalah orang yang memberikan racun di minuman ayahmu beberapa waktu sebelum ayahmu dinyatakan meninggal."
Jaka menggigit bibir. Benarkah semua yang dikatakan Rani? Benarkah pelakunya adalah Irawan?
"Mbak sendiri yang melihatnya. Karena Mbak adalah kaki tangan Bang Irawan. Mbak menyesal, Jaka! Mbak menyesal!"
Apakah ini jawaban dari segala pertanyaan pelik perkara kematian ayahnya?
Jaka berhasil mendapatkan pinjaman mobil dari Danu. Hari ini dia tidak mendapatkan jatah tugas mengantarkan peti mati. Jadi dia lebih leluasa menggunakan mobil ini.
Speedometer mencapai kecepatan tertinggi, membelah jalanan kota dirambati amarah yang berbaur dengan rasa benci. Pengakuan sosok Rani tempo kemarin menjalar ke ubun-ubun. Sumpah mati! Kalau saja benar Irawan adalah pelaku utama atas kematian ayahnya, Jaka tidak akan pernah memberi maaf sedikit pun.
Mobil yang berhasil menerobos segala kendaraan di jalan raya, kini berhenti persis di depan sebuah gedung milik pemerintah. Para penjaga simpang siur dengan pakaian khas andalan mereka.
Jaka bergegas turun dari mobil. Dia terobos pintu masuk menuju sepanjang lorong dan berakhir di suatu ruangan yang ramai para polisi. Deret bangku kepolisian dan berbagai tumpukkan buku tebal menyambutnya. Di ujung sana, persis di meja kayu bertuliskan nama Irawan, seseorang tengah menghadap penuh ke layar komputer.
"Bang Irawan!"
Jaka menggebrak meja hingga sang pemilik terlonjak kaget. Semua polisi melihatnya.
Ya, sekarang Jaka berada di kantor polisi! Di tempat Irawan bekerja.
Dengan amarah yang kian menggebu, Jaka menatap wajah Irawan. "Bang Irawan masih inget saya, kan?"
Pria berpangkat bintara dengan topi polisi kebanggaannya mendongak, mengangguk kecil disertai senyuman manis.
"Iya, kamu Jaka, anaknya Mbak Laras."
Tidak! Jaka sama sekali tidak butuh senyuman itu!
"Tumben banget kamu dateng kesini, Ka? Biasanya kalau bertamu kamu suka langsung ke rumah," lanjut Irawan dengan raut penuh tanya. Pasalnya tiba-tiba sekali Jaka datang langsung ke kantor polisi. Pun dengan muka marah sembari menggebrak meja kerjanya. Baginya ini sama sekali tidak etis.
Jaka berdecak kesal. Ini bukan saatnya untuk basa-basi. Muka Irawan yang menjelma wajah licik di mata Jaka itu dituding mentah-mentah.
"Saya pikir setelah ngerampas semua hartanya Ayah, Abang bakalan pergi jauh dari sini!"