Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 7: Pertarungan di Tengah Malam

Di tengah kegelapan malam yang membungkus, dua sosok bertarung dalam bayang-bayang masa lalu dan dendam yang membara. Tian dan Wu Lei, terperangkap dalam pertarungan yang jauh lebih dari sekadar duel pedang—ini adalah pertempuran melawan rahasia yang membunuh dan pengkhianatan yang menghantui. Angin malam berdesir lembut, namun suasana terasa tegang, seakan bumi dan langit menahan napas, menanti siapa yang akan keluar sebagai pemenang.

"Wu Lei," desis Tian, suaranya bergetar di antara rasa marah dan takut. Sosok yang selama ini dia hindari, berdiri di hadapannya, memancarkan aura ancaman yang tak bisa diabaikan. Cahaya bulan yang redup menyoroti wajah Wu Lei, menampakkan ekspresi dingin yang membuat darah Tian membeku.

Wu Lei mengamati Tian dengan tatapan penuh arti, senyum tipis menghiasi bibirnya, namun matanya memancarkan kebencian yang begitu dalam. "Siapakah dirimu sebenarnya, Tian?" tanyanya dengan nada mengejek, namun penuh tekanan, seolah mencari-cari jawaban yang tersembunyi di balik sorot mata lawannya. Wu Lei tahu ada sesuatu yang disembunyikan Tian, sesuatu yang selama ini menjadi rahasia terbesarnya.

Tian menggenggam erat pedangnya, menahan gemuruh dalam dadanya. Bayangan masa lalu dan beban rahasia yang selama ini dia pendam berputar dalam pikirannya, membuatnya hampir kehilangan fokus. "Aku tidak ingin bertarung denganmu," jawabnya, suaranya tenang meskipun dadanya bergemuruh dengan adrenalin. Dalam hatinya, dia tahu bahwa pertempuran ini tidak dapat dihindari, namun bagian dari dirinya masih berharap ada jalan lain untuk mengakhiri semua ini.

Wu Lei tersenyum penuh sinisme, menarik pedangnya dari sarung dengan gerakan yang begitu cepat, menciptakan kilatan cahaya yang hampir menyilaukan mata Tian. "Sayangnya, pilihan itu bukan milikmu lagi," katanya, suaranya terdengar dingin, penuh dengan tekad yang tak tergoyahkan. "Kau telah melangkah terlalu jauh, Tian. Malam ini, kita akan menyelesaikan semua ini."

Dengan satu gerakan cepat, Wu Lei melancarkan serangan pertamanya, sebuah tebasan pedang yang nyaris menghantam Tian. Tian menghindar dengan lincah, memutar tubuhnya dan menyerang balik dengan kekuatan penuh. Namun, setiap serangannya dibalas dengan kekuatan yang sama dari Wu Lei. Dentingan pedang mereka memecah keheningan malam, menghasilkan irama mematikan yang seolah menggema dalam setiap detik yang berlalu. Masing-masing tebasan membawa pesan tersembunyi—kebencian, dendam, dan rasa sakit yang tidak terucapkan.

Wu Lei tidak memberikan Tian kesempatan untuk bernapas, setiap serangannya semakin cepat, semakin ganas. Tian dapat merasakan setiap ototnya menegang, napasnya semakin berat. Dia berusaha untuk tidak terhanyut dalam emosi, namun dalam benaknya, terbersit sebuah pertanyaan yang tak kunjung menemukan jawaban: mengapa Wu Lei begitu bernafsu untuk menghabisinya? Apakah ini hanya tentang dendam, atau ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang tidak dia ketahui?

Dengan satu tebasan kuat, Wu Lei berhasil memojokkan Tian ke sudut halaman. "Kau tidak akan bisa lari dariku kali ini," katanya dengan suara rendah yang penuh dengan kebencian, matanya menyala dengan semangat yang menakutkan.

Tian mendengus, menatap tajam ke arah Wu Lei. "Aku tidak berniat lari," jawabnya dengan tegas, meskipun hatinya masih dipenuhi dengan keraguan. Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, Tian melancarkan serangan yang membuat Wu Lei sedikit mundur. Namun Wu Lei hanya tersenyum, senyuman yang membuat bulu kuduk Tian merinding, sebuah senyum yang menunjukkan bahwa Wu Lei masih memiliki banyak trik di balik lengan bajunya.

"Kau tidak tahu siapa aku sebenarnya, bukan?" kata Wu Lei dengan tatapan yang tajam, suaranya seperti bisikan yang membawa ancaman di baliknya. "Anak dari teman lamaku... sudah lama sekali aku mencari tahu tentangmu, Tian."

Kata-kata Wu Lei menghantam Tian seperti badai yang datang tiba-tiba. Benarkah? Apakah mungkin? Dia tidak pernah mengira bahwa pria di hadapannya ini memiliki hubungan dengan masa lalunya. "Apa maksudmu?" tanya Tian dengan nada yang mulai goyah, pedangnya sedikit menurun, tapi tatapannya tetap waspada. Hatinya bergolak dengan berbagai emosi—kebingungan, ketakutan, dan rasa penasaran yang semakin besar.

Wu Lei tidak menjawab langsung, tetapi memandang Tian dengan ekspresi yang campur aduk antara rasa penasaran dan penyesalan. "Ayahmu," ucapnya perlahan, suaranya nyaris seperti bisikan, "dia adalah teman lamaku... dan kau, kau adalah pengingat dari dosa-dosa masa lalu."

Tian tersentak, pikirannya seakan berhenti. Semua rasa marah dan takut yang dia rasakan sejak awal lenyap, digantikan oleh kebingungan dan kengerian yang tak terbayangkan. Bagaimana mungkin? pikirnya. "Ayahku..." bisiknya, nyaris tak terdengar. Kenangan tentang ayahnya yang samar-samar mulai bermunculan dalam pikirannya, seperti potongan puzzle yang belum pernah dia sadari sebelumnya.

Wu Lei mendekat, langkahnya pelan namun pasti, seolah ingin memastikan setiap kata yang dia ucapkan tertanam dalam di pikiran Tian. "Kau adalah anak dari pria yang pernah mengkhianati kami," lanjutnya, suaranya semakin menekan, setiap kata seolah menjadi belati yang menusuk hati Tian, "dan sekarang, kau harus menanggung akibatnya."

Hati Tian terombang-ambing di antara rasa marah, takut, dan bingung. Dia ingin membalas serangan Wu Lei, ingin menghancurkan pria itu dan semua kebohongannya. Namun, kata-kata Wu Lei terus menggema dalam pikirannya, menekan setiap kekuatan yang dia miliki. Dia merasa seolah-olah sedang berdiri di ambang jurang yang gelap, dan satu langkah lagi bisa membuatnya terjatuh ke dalam kehancuran yang tidak dapat dia bayangkan.

Wu Lei melihat perubahan di wajah Tian, dan dia tahu bahwa dia telah berhasil menanamkan keraguan dalam hati pemuda itu. "Apakah kau siap menghadapi kebenaran ini, Tian?" tanya Wu Lei, suaranya rendah dan penuh dengan kekuatan yang tidak bisa diabaikan. "Atau kau akan melarikan diri seperti ayahmu?"

Tian menegakkan tubuhnya, menatap lurus ke mata Wu Lei dengan tekad yang baru ditemukan. "Aku bukan ayahku," katanya dengan nada tegas, "dan aku tidak akan lari." Suaranya dipenuhi dengan keyakinan, meskipun hatinya masih terguncang oleh semua yang telah diungkapkan.

Wu Lei hanya mengangguk pelan, mengakui keteguhan Tian. "Kita akan lihat," ucapnya sebelum menyerang lagi dengan seluruh kekuatannya, kali ini tanpa ada belas kasihan. Tian menangkis serangan itu, meskipun hatinya masih dipenuhi dengan pertanyaan yang tak terjawab. Setiap serangan yang dia balas semakin berat, seolah pedangnya ikut membawa beban emosi yang tidak pernah dia sadari sebelumnya.

Pertarungan berlanjut, namun tidak ada lagi amarah dalam serangan mereka. Setiap tebasan pedang, setiap gerakan, seolah diiringi dengan beban masa lalu yang harus dihadapi oleh kedua belah pihak. Dalam setiap gerakan mereka, terlihat pertempuran bukan hanya di permukaan, tetapi juga di dalam hati mereka masing-masing. Pertarungan ini lebih dari sekadar adu fisik; ini adalah pertarungan antara dua jiwa yang terluka, dua jiwa yang terikat oleh takdir yang kejam.

Wu Lei mulai menyadari sesuatu yang membuatnya ragu. Apakah ini benar-benar yang dia inginkan? Menghabisi anak dari teman lamanya? Di satu sisi, dia melihat Tian sebagai musuh, tetapi di sisi lain, dia tidak bisa mengabaikan hubungan darah yang jelas terlihat di hadapannya. Dia mulai merasakan bahwa ada sesuatu yang salah, sesuatu yang tidak dapat dia kendalikan.

Akhirnya, Wu Lei melompat mundur, menahan serangannya dan menatap Tian dengan pandangan yang lebih lembut, namun masih penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab. "Tian," panggilnya, kali ini tanpa ada nada ancaman dalam suaranya, "aku perlu tahu... apa yang kau ketahui tentang ayahmu?"

Tian, yang masih terengah-engah karena pertarungan mereka, hanya bisa menggeleng. "Aku... aku tidak tahu banyak. Dia meninggalkanku ketika aku masih kecil." Kata-kata itu keluar dengan susah payah, seolah ada beban besar yang menghimpit dadanya.

Wu Lei menarik napas dalam, seolah mencoba menenangkan diri dari amarah dan kekecewaan yang selama ini dia pendam. "Kita perlu berbicara," katanya akhirnya, "tentang masa lalu, tentang dosa-dosa yang kita warisi. Tapi bukan sekarang. Malam ini, kita masih musuh."

Tian menatap Wu Lei dengan pandangan yang penuh kebingungan dan keraguan. Dia tidak tahu apakah dia bisa mempercayai pria di hadapannya ini, tetapi sesuatu dalam hatinya mengatakan bahwa Wu Lei memiliki kunci dari semua pertanyaan yang dia miliki. Namun, dia juga tahu bahwa kepercayaan itu adalah sesuatu yang mahal, dan dalam dunia mereka, kepercayaan bisa menjadi senjata yang mematikan.

Wu Lei melihat keraguan di mata Tian, dan dia hanya mengangguk pelan, seolah memberikan pengakuan atas keputusan Tian. "Kita akan bertarung lagi, Tian. Tapi saat itu tiba, kita akan melakukannya sebagai pria yang mengerti siapa mereka sebenarnya." Dengan kata-kata itu, Wu Lei memutar tubuhnya dan berjalan pergi, meninggalkan Tian yang masih terpaku di tempatnya.

Tian hanya bisa menatap punggung Wu Lei yang semakin menjauh, perasaan campur aduk dalam hatinya. Dia tahu bahwa pertempuran mereka belum selesai, namun ada sesuatu yang berubah malam ini. Pertarungan mereka bukan lagi sekadar adu pedang—ini adalah pertempuran untuk mencari kebenaran, untuk memahami dosa-dosa masa lalu yang telah membentuk hidup mereka. Dengan satu tarikan napas dalam, Tian menyarungkan pedangnya dan berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia akan menemukan jawaban dari semua pertanyaan yang berputar dalam pikirannya. Pertarungan mereka akan berlanjut, namun kali ini, dia akan siap untuk menghadapi kebenaran yang mungkin lebih menyakitkan daripada pedang manapun.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel