Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4: "Di Balik Topeng"

Di tengah malam yang terbungkus misteri, Tian berdiri di ambang jurang antara kenyataan dan ilusi. Bayangan hitam malam itu seolah menelan dirinya, membingkai siluetnya dalam kegelapan yang tak berbatas. Angin malam berdesir lembut, membawa bisikan-bisikan rahasia yang hanya dapat didengar oleh mereka yang waspada. Dan Tian, dengan hatinya yang gelisah, mendengar semuanya—setiap suara, setiap desir yang menambah berat beban di pikirannya.

"Aku tak bisa terus begini," bisik Tian dalam hati, suaranya hanya terdengar di dalam benaknya, namun dampaknya begitu nyata. Ada sesuatu dalam suaranya, sesuatu yang penuh kegelisahan dan keraguan, seolah-olah kalimat itu merupakan kenyataan yang dia coba tolak selama ini. Dia tahu, kekuatan yang dia miliki bukanlah sesuatu yang bisa dianggap enteng. Itu adalah karunia sekaligus kutukan, sesuatu yang hadir tanpa dia minta, namun kini melekat erat dalam dirinya. Kekuatan itu mampu menghancurkan atau menyelamatkan, tergantung pada bagaimana dia mengendalikannya. Namun setiap kali dia menggunakannya, bayangan dosa dan tanggung jawab itu semakin menghantui, semakin menekan di dalam jiwanya, seperti duri yang menancap di hati.

Di balik wajah tenangnya, Tian menyimpan badai yang tak seorang pun tahu. Perang batin yang berlangsung setiap saat, menggerogoti ketenangannya sedikit demi sedikit. Setiap tatapan matanya menyembunyikan ketakutan yang mendalam, ketakutan akan apa yang mungkin terjadi jika orang-orang di sekitarnya mengetahui siapa dia sebenarnya. Dia hidup dalam bayang-bayang, berjalan di atas tali tipis yang memisahkan rahasia dan kebenaran. Dalam hatinya, ketakutan itu menjelma menjadi monster yang terus mengintai, siap menerkam kapan saja. Dia takut pada kekuatan yang dia miliki, takut pada dampak yang bisa terjadi, dan lebih dari segalanya, takut pada kehancuran yang bisa dia sebabkan jika kekuatan itu tak terkendali.

Sementara itu, di sisi lain kota, Zhao Ming duduk di dalam kegelapan. Cahaya lampu kota yang samar-samar menyinari wajahnya, tetapi tidak mampu menembus pikirannya yang gelap. Matanya yang tajam menembus malam, memandangi jendela besar di depannya, namun pikirannya jauh melayang, mengembara di tempat yang tidak bisa dijangkau oleh orang lain. "Tian...," gumamnya pelan, nama itu terucap dengan begitu lembut, hampir seperti sebuah rahasia yang ingin dia jaga. Nama itu terus menghantui pikirannya, mengusik kedamaian batinnya yang selama ini dia banggakan. Ada sesuatu tentang pria muda itu yang membuatnya tak bisa tidur nyenyak belakangan ini. Seperti potongan teka-teki yang tak kunjung bisa dia selesaikan, meskipun dia sudah mencoba dengan segala cara.

"Dia terlalu misterius," lanjut Zhao Ming, suaranya terdengar seperti bisikan angin malam yang menderu, dingin dan menusuk. Tatapannya semakin tajam, seperti kilat yang menembus langit malam, membelah kegelapan dengan kecepatan yang mematikan. Dia tahu, ada sesuatu yang disembunyikan Tian, sesuatu yang tak terungkap dalam pandangan pertama. Dan Zhao Ming bukanlah orang yang mudah menyerah pada misteri. Tidak ada yang bisa lolos dari pengamatannya, tidak ada yang bisa bersembunyi di balik topeng tanpa dia sadari. Maka, dia memutuskan untuk mengirim mata-mata, seseorang yang mampu mengawasi setiap gerak-gerik Tian, mengungkap apa yang tersembunyi di balik wajah tenang itu.

Di sisi lain kota, Tian kembali ke tempat persembunyiannya, sebuah ruangan kecil di balik gang sempit. Dindingnya kusam, penuh dengan retakan dan noda yang menunjukkan usia dan kegunaan. Di sanalah dia merasa aman, jauh dari sorotan mata orang-orang. Namun, malam itu, rasa aman itu mulai memudar. Seperti bayangan yang tiba-tiba menghampirinya, menyergap tanpa ampun, meninggalkan jejak kegelisahan yang tak bisa dia singkirkan. "Bagaimana jika mereka tahu?" pikir Tian, tangannya yang gemetar mencengkeram kursi di depannya. "Bagaimana jika rahasia ini terbongkar?" Pertanyaan-pertanyaan itu berputar-putar di benaknya, mengganggu ketenangan yang dia coba pertahankan.

Di balik topeng tenangnya, hati Tian berkecamuk. Dia tak ingin menjadi monster, tak ingin kekuatan yang dia miliki menjadi penyebab kehancuran. Namun, semakin hari, dia merasa semakin sulit untuk mengendalikan kekuatannya. Setiap kali dia menggunakan kekuatannya, ada bagian dari dirinya yang hilang, tergantikan oleh sesuatu yang gelap dan menakutkan. Seolah-olah ada entitas lain yang mulai mengambil alih dirinya, sedikit demi sedikit. "Ini bukan yang kuinginkan," gumamnya dengan suara serak, suara yang nyaris tenggelam dalam keheningan malam. "Ini bukan hidup yang kupilih."

Namun, dalam hati kecilnya, Tian tahu bahwa dia tak bisa lari dari takdirnya. Kekuatan itu ada dalam dirinya, mengalir dalam darahnya, dan tak ada yang bisa dia lakukan untuk menghapusnya. Dia bisa menyembunyikannya, bisa berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja, tetapi dia tahu, suatu saat nanti, kebenaran akan terungkap. Dan saat itu tiba, dia harus siap menghadapi apapun yang datang.

Sementara itu, di sisi lain kota, Zhao Ming memandangi laporan yang baru saja dia terima. Jari-jarinya yang ramping mengusap kertas itu dengan lembut, seolah-olah dia sedang membaca nasib seseorang. "Menarik," gumamnya pelan, matanya berkilat penuh keingintahuan. Laporan itu, meskipun tidak banyak, memberi Zhao Ming petunjuk yang dia butuhkan. Seperti jejak yang ditinggalkan di pasir, cukup jelas untuk diikuti namun masih samar untuk diartikan. Dia yakin, Tian menyembunyikan sesuatu yang besar, sesuatu yang bisa mengubah segalanya. "Aku akan mengungkapnya," kata Zhao Ming dengan suara penuh determinasi, setiap kata yang dia ucapkan seperti janji yang tak mungkin dia ingkari. "Aku akan menyingkap topeng itu, dan melihat siapa dia sebenarnya."

Namun, di tengah ketegangan itu, Tian merasakan sesuatu yang tak terduga. Sebuah perasaan yang tiba-tiba muncul di dalam dirinya, sesuatu yang dia pikir sudah lama terkubur. Itu adalah rasa sakit, bukan hanya fisik, tetapi juga emosional. Rasa sakit karena harus berbohong, karena harus menyembunyikan siapa dirinya sebenarnya. Rasa sakit karena tak bisa menjadi dirinya sendiri, karena takut akan apa yang orang lain pikirkan. Tian merasa seperti berada di persimpangan jalan yang tak pernah dia inginkan, dipaksa untuk memilih antara kebenaran dan kebohongan, antara dirinya yang sejati dan topeng yang selama ini dia kenakan.

"Tian," sebuah bisikan terdengar dalam pikirannya, suara yang halus namun penuh kekuatan. "Kau tahu kau tidak bisa terus bersembunyi selamanya." Suara itu, meskipun halus, terasa seperti guntur yang menggema di dalam kepalanya, menggetarkan setiap sudut pikirannya. "Cepat atau lambat, kebenaran akan terungkap. Dan ketika itu terjadi, apakah kau siap menghadapi konsekuensinya?"

Tian menutup matanya, mencoba menenangkan pikirannya yang kacau. Namun, bayangan itu terus menghantui, tak memberinya sedikit pun kedamaian. Setiap kali dia mencoba melarikan diri dari pikirannya sendiri, rasa takut itu semakin kuat, mencengkeram hatinya dengan cakar-cakar yang tak terlihat. "Aku tak punya pilihan," gumamnya pelan, seolah-olah kata-kata itu bisa memberikan jawaban yang dia cari. "Aku harus terus bertahan, setidaknya untuk saat ini." Namun, jauh di dalam hatinya, Tian tahu bahwa waktunya hampir habis. Dan ketika hari itu tiba, dia harus siap menghadapi apa pun yang terjadi.

Di sisi lain, Zhao Ming memandang keluar jendela, senyum tipis menghiasi wajahnya. Pikirannya berputar-putar, merangkai rencana-rencana yang hanya dia sendiri yang tahu. "Permainan baru saja dimulai," katanya pelan, suaranya penuh dengan antisipasi dan kesenangan yang tersembunyi. "Dan aku akan memastikan, aku yang akan menang." Bagi Zhao Ming, ini bukan sekadar permainan, ini adalah pertempuran yang harus dia menangkan, apapun taruhannya. Dan dia tahu, Tian adalah kunci dari semua ini. Rahasia yang disembunyikan Tian adalah pintu menuju kemenangan, dan Zhao Ming bersumpah akan membukanya, tak peduli apa yang harus dia lakukan.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel