Part 10. Kebencian Tak Beralasan
Fensya masih kesal, tiap kali membaca ulang pesan balasan dari Paul beberapa hari yang lalu, saat ia meminta kejelasan perkara modal sepuluh milliar untuk membuka resto dan boutique cafe.
Hatinya menyimpan amarah.
'Maaf Fensya,, Kakak belum bisa kasih yang modal sebanyak itu. Kakak tahu lokasi restonya strategis, tapi restoran yang kayak gitu udah kelewat banyak. Kakak tahu dia udah enam tahun bisnis restoran. Setelah Kakak research, restoran dia sering tutup sebelum dua tahun berjalan, dalam artian bangkrut. Jadi daripada modal ilang, coba kamu cari alternatif bisnis lain. Jangan ragu buat konsul sama Kakak. Atau Nayla ya...?'
Selama ini, Paul selalu menuruti dan menyanggupi semua keinginannya.
"Mama liat kan, gimana Kak Paul sekarang?" Fensya menutup layar ponsel, setelah menunjukkan pesan balasan Paul kepada Ranti Christensen ibunya Paul.
Saat ini mereka sedang berada di rumah Ranti di jalan imam Bonjol jakarta. Duduk di sofa besar ruang tamu yang nyaman dan luas.
Rumah ini memang besar, dengan halaman di depan rumah juga di bagian belakang rumah bersama Arsy yang hanya tersenyum menanggapi ocehan Fensya sepupunya itu.
Sejak Ranti memutuskan tinggal di jakarta, Fensya yang menemani nya tinggal di rumah ini dengan asisten rumah tangga.
Tetapi sebenarnya ibu mertuaku tidak pernah kesepian karena selalu sibuk bergaul dengan teman-temannya di luar rumah.
Ada saja kegiatan nya sehari hari.
"Fen....! mungkin Paul ada benernya. Kakak kamu itu sekarang juga kerja dan Nayla juga kerja di Bank. Pasti dia udah biasa riset bisnis semacam ini. Daripada rugi uang modal nggak balik, wajar kalau Paul dan Nayla hati-hati." Ucap Ranti sambil menatap Fensya yang tampak kecewa.
"Tapi kalo buat Nayla kok nggak kayak gitu ya Ma? Coba liat tempat usaha Nayla sekarang. Gede kan restoran nya...?Pegawainya lebih banyak. Itu pasti modal dari Kak Paul Lah ..!" Rasanya aku ingin menghampiri mereka, namun aku tahan. Aku memilih mendengar kan obrolan ibu mertua ku dan Fensya.
Mereka pikir pasti aku sudah pergi ke rumah A Dheki.
"Setahu Mama, usaha Nayla sebelumnya juga udah lumayan. Nayla udah punya pasar di Eropa dan Korea belum bundanya itu linknya kuat. Cuma memang, setelah ada bantuan modal dari Edward jadi lebih pesat lagi. Berarti kompetensi bisnisnya ada. Makanya Paul nggak ragu gelontorin modal buat Nayla." Aku mendengar ibu mertuaku menjelaskan pada Fensya.
" Setahu aku, malah Kak Nayla itu ga ngutak ngatik uangnya Bang Edward lho." Arsy ikut bicara.
"Ya intinya berarti bisnis itu gede bukan karena Nayla kan? Kalo jalan sendiri belum tentu segede sekarang. Itu, si Nathan juga nggak bantu modal apa-apa tuh? Enak dong Nayla sama keluarganya, dapat warisan dari Bang Edward secara cuma-cuma. Kenapa sih, Mama dulu setuju besanan sama keluarga benalu kayak mereka?" Dengan jelas aku mendengar ucapan Fensya.
Aku lihat ibu mertuaku menghembuskan asap rokoknya menghela napas panjang. Lagi-lagi fensya mengungkit masalah ini.
"Fensyaaaaa, jangan memandang buruk keluarga kak Nayla. Mereka emang nggak sekaya keluarga kita, tapi mereka bukan benalu hanya karena kak Paul nikah sama Nayla. Wajar kalau Edward meninggal kan banyak warisan pada Nayla, lagipula Nayla itu wanita baik." Aku lihat Arsy berdiri dan menghampiri Fensya.
" Lagian selama ini kamu juga nggak kekurangan. Mama masih dapet uang tiap bulan dari Paul, Kakak kamu Paul masih loyal sama kita. Hanya karena dia nggak setuju sama keinginan kamu kali ini, jangan kamu hantam Nayla sama kebencian kamu. Menurut Mama, Nayla jauh lebih baik daripada dua Sandra.."
"Lebih baik dari mana?" Senyuman remeh Fensya tergelincir begitu saja.
"Nayla bener-bener sayang sama Paul. Mama yakin kok kalau Nayla malah ga tahu kalau kamu minta modal.."
"Ya iyalah si Nayla yang miskin itu pasti mau banget nikah sama Paul setelah Bang Edward meninggal,lumayan bisa bergantung hidup. Kalo cewek sukses kayak Sandra ya ambisi." Fensya dengan enteng melontarkan kebencian padaku dari bibirnya.
"Kalo Paul nggak kaya, si Nayla juga nggak bakal mau. Aku Yakin."
"Fensya, kamu kok makin benci sama Nayla sih?" Aku dengar Ibu mertuaku menegur Fensya
"Dia yang pegang seluruh keuangan Paul sekarang. Kita disuruh ngemis sama dia. Mama sadar ga sih ! Yang dikasih mereka buat kita , itu nggak seberapa sama yang didapet Nayla. Selama ini Mama besarin Kak Paul cuma buat dia bahagiain cewek macem Nayla? Mama sama Kak Paul itu udah dibego-begoin sama si Nayla Jangan ketipu tampang polosnya. Tampang kampung banyak tingkah!"
"Fensya!" Aku mendengar suara Paul membentak Fensya.
"Biarin! Malah masih cakepan cewek-cewek fukoaka yang cuma dibayar ratusan rebu yen. Itu Mama kasih apaan sih ke kehidupan mereka? Aku doain kalian cerai... "
"Astaga Fensya ! Kamu kenapa sih?" Teriak Paul
Fensya hanya mengumbar senyum sarat kebencian.
" Aku memang berharap Kak Paul dan Nayla bercerai. Tidak ada jalan lain. Nayla itu akan selalu menjadi pengganjal dalam hidupku."
Aku sudah tak kuat lagi.
Aku pun masuk ke ruang keluarga setelah memastikan Mayangsari diantar ke mobil oleh Teh Nina.
Langkah ku kembali tertahan,
"Kamu liat Paul sekarang. Sehat, wajahnya fresh, tambah sukses. Semua itu nggak lepas dari peran Kak Nayla. Paul juga selama ini rumah tangganya baik-baik aja. Berarti Kak Nayla bisa merawat dan menjaga Paul dengan baik." Ujar Arsy.
"Aku pokoknya mau Kak Paul modalin aku sepuluh milyar! Kalo nggak ada aku doain tiap hari biar mereka cerai! Biar Nayla dibuang sama Kak Paul!"
"Fensya...? Jaga ya ucapan kamu.. ! Yang ada aku yang dibuang oleh Nayla. Tanpa aku hidup Nayla itu lebih baik..!" Aku menatap Paul dari ambang pintu.
Fensya menoleh padaku.
"Aku benci kamu Nayla! Kak Paul udah nggak sayang aku! Aku Kesel! Semenjak sama kamu, Kak Paul jadi pelit. Kalian tunggu aja suatu saat Nayla buang Mama dari hidup Kak Paul, Yakin deh! Bahkan rumah ini kalo bisa dikuasai sama dia. Kalian bakal Ketipu semua!" Tunjuk Fensya padaku sambil bangkit.
Aku lihat Paul menghela napas panjang.
Fensya selalu membuat kepalanya pusing seperti ini.
" fensya maaf ya...! Aku tidak pernah menguasai keuangan Paul. Silahkan kamu tanya sendiri pada Paul...! Maaf lho, sebenernya kamu apanya Paul...? Hanya sepupu kan ..? Bukan adik kandung ..? Aku juga bisa tidak sopan sama kamu. Aku memang miskin, tapi semiskin nya aku, aku tidak punya hutang seperti kamu. Selama ini aku diam, aku tahu Paul membayarkan tagihan kartu kredit kamu. Kalau menurut kamu aku akan susah Tanpa Paul,..? Ha ha ha... Ga tuh..! Aku tidak keberatan kalau dibuang." Paul meraih tanganku.
" tunggu Paul...! Aku selama ini diam melihat dan mendengar ocehan dan sindiran. Kenapa kamu tidak bisa tegas menjelaskan kalau selama ini aku tidak pernah memakai uang Edward. Dan bisnis aku murni yang Keluarga aku. Bahkan beberapa bulan ini, aku tidak mempermasalahkan uang yang kamu berikan padaku." Paul menatapku dengan mata yang tidak bisa aku artikan.
Aku memilih berjalan menghampiri ibu mertuaku.
" Mama, aku pamit,aku tinggal di A Dheki dimana Mayangsari dan Mahardika lebih dihargai daripada disini " aku tidak perlu mendengar jawaban aku langsung keluar dan langsung naik kedalam mobil.
" Yuk pak jalan....!" Aku tak peduli Paul yang mengejar ku.