Pustaka
Bahasa Indonesia

Jangan Menangis Bunda Sesion 2

68.0K · Tamat
Love Angel
61
Bab
205
View
9.0
Rating

Ringkasan

Diangkat dari kisah nyata perjalan Annisa membesarkan dua orang anaknya di usia yang tidak muda lagi. Perjalanan Annisa dari kecik jatuh bangun,jual diri sampai masuk penjara dan akhirnya bangkit menjadi seorang pengusaha diantar hinaan keluarga bahkan anaknya kandungnya sendiri. semoga cerita ini bisa di ambil hikmah dan pelajaran nya untuk para pembaca.

RomansaIstriMenantuAnak KecilPerselingkuhanPengkhianatanPernikahanMenyedihkan

Part 1. Suamiku Menyembunyikan sesuatu

"Anak anak sudah tidur?" tanya Paul begitu dirinya sudah duduk di atas ranjang.

Wajah Paul terlihat letih setelah mengemudi mobil tanpa sopir dari Seoul ke Busan pulang pergi untuk urusan pekerjaan.

"Iya, mereka sudah tidur. Kamu pasti capek banget,lagian kenapa ga bawa sopir sih? akupiji tin ya!" tawarku sembari ikut duduk di atas ranjang.

Paul mengangguk setuju. Aku pun mulai memijat tengkuk dengan mengulaskan minyak zaitun dicampur minyak kayu putih.

Aku mulai memijat dengan pelan, sesekali bertanya tentang pekerjaannya di Seoul, aku yakin ada masalah yang Paul sembunyikan dariku.

"Gimana pekerjaannya di Seoul?" tanyaku di sela-sela memi jit tengkuk dan punggungnya.

"Yaaaaa, so far soooo gooood.." jawab Paul sangat terlihat kalau ada masalah.

Matanya tak bisa berbohong.

Nampaknya pekerjaannya kali ini begitu banyak menguras tenaga dan pikirannya .

"Kamu sendiri gimana dikantor? Rumah makan sudah sampai dimana progres nya..? Kamu jangan terlalu cape..!" Paul balik bertanya perihal rumah makan yang ku kelola dan pekerjaan ku di Hana Bank.

"Alhamdulillah lancar juga,. Bahkan setiap hari pengunjung bertambah ramai. Tadi katanya Sampai Ayam penyet sold out," jawabku antusias.

"Syukurlah kalau begitu," balas Paul. Lalu, setelahnya Paul terdengar bersendawa. Sepertinya ia masuk angin.

"Kamu , masuk angin?" tanyaku khawatir.

"Bisa jadi, tadi panas banget jadi aku nyalakan AC terus, yang jelas rasanya badan ku pegal-pegal semua," jawab Paul.

"Pasti pegal lah, kamu nyopir bolak balik Busan Seoul - Seoul Busan, Ya udah, kamu istirahat saja dulu, aku buatin air jahe dulu ya! Biar badan kamu sedikit angetan," ujarku sembari bangkit dari ujung ranjang .

Paul hanya mengangguk. Lalu, perlahan merebahkan diri.

Aku pun lekas mengayunkan langkah menuju dapur untuk membuatkan Paul air jahe. Kalau sedang tidak enak badan, bunda biasa membuatkan aku air jahe dengan gula merah, dan Paul memang suka minta dibuatkan air jahe.

Suasana rumah sudah nampak sepi, pasalnya ini sudah pukul sebelas malam, ajuma dan anak-anak sudah tertidur.

Aku pun dengan segera membuatkan air jahenya, lalu membawanya ke kamar.

Saat tiba di kamar kulihat, Paul sudah tertidur dengan dengkuran halus.

Melihat itu aku jadi tidak tega membangunkannya. wajahnya begitu kentara rasa lelah. Bahkan sepatunya pun belum sempat ia lepaskan.

Usai sholat subuh aku gegas keluar kamar memeriksa Mayangsari dan Mahardika karena mereka sekolah pagi dan ikut bus sekolah pukul 7 sudah harus ada di shelter bus yang kalau jalan kaki dari rumah sekitar lima menit.

Paul yang baru bangun langsung berjalan ke kamar mandi.

Aku lalu menyiapkan kemeja dan semua perlengkapan nya diatas meja.

Saat aku hendak keluar kamar terdengar ponsel Paul berdering.

Paul yang hendak masuk ke kamar mandi pun urung,menghentikan langkahnya dan melihat ke arah pon sel yang tergeletak di atas nakas.

"Telpon dari siapa jam enam pagi gini?" tanyaku penasaran, karena melihat Paul yang seperti tengah ragu untuk menerima telponnya.

"Em ... Te-man kantor, aku angkat telpon dulu ya!" ucap Paul sembari melangkah, menjauh ke arah balkon dan menggeser pintu balkon lalu kembali menutupnya.

Aku hanya mengangguk, meski dalam hati juga penasaran siapa sebenarnya yang menelpon kenapa Paul tidak menjawab di depan ku seperti biasanya.

Aku perhatikan raut muka Paul yang begitu serius saat menjawab telpon.

" Bundaaaa...?"

" Iyaaaaa...!' Aku gegas menghampiri Mayangsari yang hampir setiap pagi selama di Korea selalu panik dengan rambutnya.

" Bunda, rambut aku tolong dikepang saja...!" Pintanya.

Aku pun segera menyisir rambut ikalnya dan mengepang seperti daun dimulai dari atas kening sampai kebawah baru di Cepol.

" Bunda, nanti bunda ke sekolah kan?" Tanya Mayangsari.

Aku mengangguk, aku pun baru ingat kalau hari ini ada pertemuan POMG di sekolah Mayangsari.

" Teteh cepat ihk, sarapan dulu. ..! Teteh kan jalan nya seperti siput..!" Tegur Mahardika yang sudah duduk di karpet diatas bantal menghadap ke mangkuk nasinya.

Mayangsari lalu berjalan dan duduk disamping Mahardika.

" Ayah ga sarapan...?" Tanya Mayangsari.

" Sebentar Ayah keluar tadi ada telpon dari kawannya." Jawabku.

"Nay, mungkin hari ini, aku akan menginap di Fukuoka ya, Sabtu pagi aku baru pulang . !" ujar Paul saat kami tengah sarapan bersama.

"Kok nginap nya lama betul Ayah? Protes Mayangsari, Emang, ayah gak kangen sama aku ?" protes Mayangsari sambil menatap Paul.

"Kangen laaaah..! Doain urusan pekerjaan Ayah lancar ya..!." Aku semakin merasa ada sesuatu yang disembunyikan Paul.

Tidak biasanya Paul minta didoakan anak anak masalah kerjaannya.

Ini baru pertama kalinya aku mendengar Paul berkata seperti ini.

" Ayah, aku berangkat sekolah dulu...!" Pamit Mayangsari lalu mencium tangan Paul dan memeluknya, Paul mencium puncak kepala Mayangsari.

" I love you .." ucap Paul

" Love you too Ayah.." jawab Mayangsari lalu mencium tanganku dan memeluk ku jug mencium pipiku seperti biasanya. Begitu juga Mahardika.

Setelah anak anak pergi, aku berusaha memancing Paul untuk setidaknya bercerita padaku.

" Kamu beneran ga akan pulang dan akan menginap di Fukuoka..? Ga macem macem kan..?" Pancingku.

" Aku ada urusan,kalau harus bolak balik, sayang ongkos dan waktu. Lagian kan ini buat kita, aku ga kan macem macem lah.." aku tertegun mendengar jawab Paul, sejak kapan suamiku itu perhitungan, dan ini hanya ongkos Ferry lho.

"Iya deh, aku percaya kamu ga macem-macem kok. Kalau kamu itu sedang berjuang buat kita, bukan buat orang lain," sindir ku lalu tersenyum.

Paul yang tengah makan tiba-tiba tersedak mendengar ucapanku.

"Kamu , kenapa? Pelan-pelan makannya, kayak ada yang nungguin aja," selorohku sembari menyerahkan segelas air minum.

Paul masih terbatuk-batuk sampai-sampai wajahnya memerah. Lalu, segera minum air dari gelas pemberianku.

" Kamu gak apa-apa, 'kan?" tanyaku lagi setelah batuknya mereda.

"Gak apa-apa, kayaknya tadi aku cuma terlalu bersemangat aja makannya," jawab Paul semakin terdengar tak masuk akal.

"Ya udah kalau gitu, aku berangkat dulu ya, aku nyebrang setelah makan siang, aku mau kantor haddan dulu!" pamitnya seraya bangkit dari tempat duduk.

Paul membuka kantor di Haddan dekat dari rumah kami. Kalau jalan kaki sekitar sepuluh menit.

Aku pun ikut berdiri dan menyambut tangannya. Lalu, menciumnya dengan takzim.

Paul mencium kening dan kedua pipiku dan berakhir kecupan di bibir seperti ritual kami biasanya.

"Aku berangkat ya!" Paul pun kembali pamit, sebelum ia benar-benar pergi dengan membawa tas kerjanya dan rangsel berisi beberapa helai pakaian.

Aku mengangguk. "Hati-hati sayang jangan lupa jaga hati, jaga mata!" ucapku sembari melempar senyum bercanda.

Namun, ternyata sukses membuat Paul nampak salah tingkah.

"Kamu kaya aku itu lagi puber aja, mesti diingatin jaga hati jaga mata segala," kilah Paul dengan tersenyum kikuk.

Aku tertawa. "Siapa tau berguna,. Saat lagi lihat yang bling bling ," ucapku masih dengan nada candaan.

Paul nampak tersenyum, meski sebenarnya ia tidak bisa menutupi rasa salah tingkah saat mendengar ucapanku tersebut.

***