Part 11. Bercerai Lebih Baik
Hati ku terusik untuk melihat ke halaman rumah.
Aku lihat di layar CCTV tidak menemukan mobil Paul yang biasa terparkir di sana.
Kok bisa Paul pergi? Membiarkan aku yang tengah tertidur sendiri serta meninggalkan masalah di antara kita yang belum terurai.
Melangkah yakin, aku keluar dari kamar.
Bibirku berusaha ter senyum dan berusaha menyembunyikan luka serapat yang aku bisa dihadapan Mayangsari dan Mahardika.
Berdiri di depan pintu yang telah terbuka lebar,
Lelah berfikir, aku menghempaskan tubuh di sofa panjang sembari menekan dada kiri yang kian terasa sakit.
Memejamkan mata, aku berusaha menarik nafas dan meraup udara sebanyak mungkin. Mengisi kekosongan paru-paru yang kian terasa sesak.
"Tuhan, kuatkan hamba!" gumamku lirih.
Handphone ku terus bergetar,panggilan masuk dari Paul.
Aku enggan berbicara saat ini dengan Paul. Akupun mengabaikan panggilan tersebut.
"Bunda, siapa yang telepon? Kenapa nggak diangkat?"
Mayangsari yang datang tiba-tiba, mengagetkan ku. Menyembunyikan pipi yang berurai air mata, aku segera memalingkan wajah dan menyusut sudut matanya yang basah.
"Bunda sakit? Kenapa nangis?" Kali ini Mahardika memeluk ku.
Lengan yang mulai terasa kokoh itu melingkar di bahu ku.
Membawa ku ke dalam pelukan hangat Mahardika.
Sesaat, aku menikmati perhatian dan kasih sayang yang diberikan si sulung.
"Bunda nggak nangis," bantah ku sembari menggigit bibir dan menelan sedu sedannya. Sebisa mungkin ia mencoba terlihat kuat di hadapan Mahardika dan Mayangsari.
"Aa udah sholat?" tanya ku mengalihkan perhatian Mahardika
Mahardika mengangguk. Lalu, melingkari pinggang ku dan mengencangkan pelukannya.
"Adek Madew udah bangun?"
Kepala dengan dagu yang bertengger di bahu ku itu, menggeleng lemah.
"Aa?"
Hanya kedikkan bahu Mahardika yang menjawab pertanyaan ku
"Udah siang. Kenapa belum siap-siap? Emangnya nggak sekolah?"
"Bolos aja ya, Bun."
Kening ku mengernyit kasar. Sambil menatap putraku.
Tidak biasanya Mahardika seperti ini. Ketika sakit, ia tetap memaksakan diri untuk berangkat. Kenapa sekarang malas-malasan?
"Aa sakit?"
Mahardika yang hanya tinggal menunggu hitungan bulan untuk menyelesaikan pendidikan menengah pertama itu, membisu.
"Kalau nggak sakit, kenapa bolos?"
Terdengar desahan panjang Mahardika Mengelak pertanyaan sang bunda, Mahardika melepas pelukan dan menarik mundur tubuhnya. Lalu, bersandar di bagian belakang sofa. Wajahnya pun terlihat tegang dengan rahang yang kian mengeras.
" Aa kenapa?" Rasa hati ku tak tenang melihat gelagat putranya. Ia pun mendekat, menyentuh lembut bahu yang mulai terbentuk.
"Apa yang bisa Aa lakukan untuk menolong Bunda? Aa nggak rela ya, melihat Bunda terus menangis karena disakiti ayah dan aunty Fensya"
Mendengar pertanyaan dan pernyataan Mahardika serasa kepalan tinju menyentak jantungku.
Darah ku berdesir, tubuh yang terasa gemetar.
"Jika Bunda ingin lepas dari ayah, lakukanlah! Selamatkan kehidupan Bunda. Kita lebih bahagia tanpa ayah.o bukanya kita bisa menganggap ayah sodara setelah bunda bercerai .."
Mata ku membola lebar. Apa maksud Mahardika? Bagaimana bisa Mahardika dan Mayangsari punya pikiran seperti ini
"Lakukan apa yang terbaik menurut Bunda. Aa dan teteh, siap mendampingi Bunda. Kita bisa hidup tanpa ayah."
Aku tahu, di hadapan kedua anakku ini aku selalu berusaha terlihat tegar. Akan tetapi, dari mata yang mengembun dan suara yang terdengar serak, jelas sekali anak itu menyimpan tangis.
"Karena itu, jangan jadikan kami alasan untuk Bunda memilih bertahan."
Mendengar ucapan Mayangsari hati ku semakin luluh. Ini salahnya. Akibat ia yang tidak bisa berdamai dengan keadaan dan menyembunyikan luka.
Akan tetapi, aku bukanlah malaikat. Ia hanyalah manusia biasa yang tentu saja punya kekurangan.
"Jangan fikirkan kami Bundaaaa...! Raih kebahagiaan Bunda! Jangan berpura-pura kuat, jika bunda mau menyerah, menyerahlah! Insha Allah, kami kuat dengan hidup Tanpa Ayah Paul. Kalau bunda takut kehilangan madewa, madewa suatu hari akan mencari Bunda.'
Dada ku sesak menahan tangis. Akankah anak-anak mengalami nasib sepertinya? Tumbuh dan berkembang tanpa sosok lelaki dewasa yang mereka panggil ayah.
Sanggupkah aku kembali menjanda?
Sore ini, untuk mengembalikan semangat dan keceriaan anak-anak, aku memutuskan mengajak mereka makan di luar dan nonton Zombie yang sedang tayang di teather.
***
Setelah dibujuk, Mahardika yang tadinya enggan sekolah, tetap berangkat bersama Mayangsari. Meski raut remaja itu terlihat malas-malasan, aku berpura-pura tidak melihat dan memilih menutup mata. Seperti hari-hari biasa, ia tetap menyediakan bekal dan mengantar anak-anak ke depan pintu.
"Cini Aa...."Madewa yang melambaikan tangan, tak sabar menunggu kedatangan Mahardika dan Mayangsari. Wajahnya pun terlihat kesal dan merengut. Semua ekspresi itu terlihat lucu di mata ku..
Wajah polos mereka selalu berhasil membuat hatiku hangat .
"Bunda ...," panggil Mahardika dan Mayangsari dan segera merangkul ku bersamaan.
Kedua tangan ku mengembang dan menyambut kedatangan anak-anakku.
"Bunda aku," seru Mahardika memanas-manasi Madewa yang sudah hampir menangis.
"Bunda aku." Mayangsari pun tak mau kalah. Mengencangkan pelukan, remaja dua belas tahun itu mendorong pelan si kecil dengan bokongnya.
"Bunda atu ...." Madewa mulai merengek.
" teh ....?" Aku menoleh dan melihat Nathan berjalan menghampiri ku.
Aku pun duduk di taman dengan Nathan.
" Teteh yakin akan menggugat cerai Paul...?" Tanya Nathan.
Aku mengangguk yakin.
" Tadi Paul nemuin aku, katanya dia mungkin akan tinggal sendiri dulu sampai suasana tenang." Ujar Nathan.
" Itu yang aku ga suka dari dia, selalu pergi dan ngilang saat ada masalah. Teteh tuh ga keberatan lho kalau sampai semua uangnya habis untuk ibunya dan Fensya. Tapi jangan nanti saat pusing ngerepotin orang. Ya sudahlah Nathan,tolong urus gugatan cerai teteh?" Nathan menatap wajahku.
" Bagaimana kalau Paul meminta Madewa..?" Tanya Nathan.
" Mades masih dibawah umur masih ikut ibunya. Lagi pula siapa yang mau ngurus madewa kalau madewa ikut Paul..? Ibunya..? Atau Fensya...?" Aku udah mulai emosi.
" Teteh coba kasih waktu dulu satu bulan...!" Ujar Nathan.
Aku menggelengkan kepalaku.
" Mau sebulan atau seumur hidup,dia itu ga akan berubah Enaaaaat."
" Ya sudah, nanti aku bicarakan dengan Paul. Lusa ibunya Paul akan datang. Teteh jangan kepancing emosi. Untungnya kita ga ngasih saat mereka minta ikut share." Ujar Nathan .
" Itu si Fensya ga ada otaknya kali ya. Kemaren dia telpon aku. Kalau bukan perempuan udah aku beriiiii." Ujar Nathan dengan kesal.
" Iya katanya ke A Dheki juga dia nelpon nyuruh nasehatin aku jangan sok kaya. Kenapa sih dia itu selalu nganggap kita ini pemburu harta Hutier..? Lagi pula bukan mau aku nikah sama Paul.." Nathan menyentuh tanganku.
" Sabar Teh, anak anak udah besar. Tadi malam Mayangsari curhat sama istri ku. Anak anak sudah besar sekarang teh."
" Nat, kenapa hidupku sepertinya plek ketiplek hidupnya Bunda ya ..?"