Alasan Konyol
"Karena aku tidak mencintai kamu lagi, Nja," jawab Han langsung tanpa memikirkan perasaan Senja sama sekali.
"Tapi kenapa kamu tidak mencintaiku lagi, Mas? Apa salahku? Apa kurangku selama ini?"
Han menggelengkan kepalanya. "Kamu terlalu kekanak-kanakan, Nja. Kamu terlalu manja, dan kamu sangat lempeng. Tidak ada tantangan baru dalam hubungan kita. Membuat aku bosan hidup bersamamu. Seolah tidak menantang dan membuatku bergairah."
Jeder..
Bagai tersambar petir rasanya saat mendengar kalimat yang terlontar dari mulut suaminya. Selama ini suaminya selalu mengagungkan rasa cinta kepadanya. Selalu memuji akan kebaikan dan kelembutannya. Tapi kenapa sekarang sikap lembut dan kebaikannya malah dibalas dengan air tuba?
Kembali, Riki langsung menerjang dan menindih tubuh Han. Serta memukulnya dengan brutal dan bertubi-tubi. Sungguh, ia ingin membunuh Han saat ini juga dengan tangannya sendiri.
Hatinya mendidih mendengar hinaan yang Han lontarkan pada adiknya. Padahal ia tahu betul perjuangan adiknya untuk membahagiakan Han sangat tidak bisa dilupakan begitu saja.
"Brengsek kamu, Han! Bangsat kamu! Jika saja saat itu Senja tidak menangis kepadaku untuk membantu awal usahamu, sudah aku pastikan kamu akan menjadi pria miskin di dunia ini. Kamu seharusnya bersyukur mempunyai wanita yang selalu mendukungmu di saat kamu tidak punya apa-apa, bukan malah menelantarkan adikku dan bertingkah sok kecakepan setelah kamu kaya. Lihat saja, harta yang kamu miliki cepat atau lambat akan habis juga."
Bahkan Riki sampai meludahi Han setelah puas meluapkan segala amarahnya.
Senja berusaha menarik tubuh Riki dari atas tubuh Han. Ia tidak ingin Han mati sia-sia yang bisa menyebabkan sang kakak harus mendekam di penjara dalam waktu yang lama.
Mendengar suara gaduh dari kamar yang berada di sampingnya, tamu sebelah kamar Han memanggil Security untuk melerai keributan yang terjadi.
Tak lama kemudian dua orang security masuk ke dalam kamar Han. Mereka mendapati Han yang masih tersungkur di lantai dengan darah mengalir di bibirnya.
Sedangkan Riki berada di dalam dekapan Senja karena pria itu masih saja berusaha merangsek ingin memukul Han kembali.
"Maaf, ada apa ini? Apa kalian tidak bisa menyelesaikan masalah ini dengan baik-baik? Kalian tahu jika tamu di samping kamar kalian ini merasa terganggu sehingga mereka melapor ke pihak hotel jika di kamar ini terjadi keributan," cecar salah satu security.
"Jika kalian tidak ingin berdamai, mari selesaikan masalah ini di kantor polisi. Karena kami tidak akan segan mengusir kalian jika kalian mengganggu ketentraman tamu kami," ujar security itu lagi dengan nada yang mengancam.
Senja mengangguk mengerti, "Maafkan kami pak atas keributan yang kami ciptakan. Kami memilih berdamai dan berusaha mencari jalan keluar. Maafkan kami sekali lagi."
Setelah mengatakan itu, Senja segera menarik tangan Riki untuk keluar dari kamar tersebut.
"Nja. Kenapa kamu harus menyeretku keluar? Aku belum puas memberi pelajaran pada pria gila itu." protes Riki dengan nada tidak suka. Mungkin saja jika Senja tidak menariknya keluar, ia ingin memberikan satu pukulan lagi pada Han agar dia mengingat pukulan itu seumur hidupnya.
"Sudah, Mas. Jangan lakukan lagi, lebih baik kita pulang sekarang. Bina menunggu kita di rumah.
"Tapi--"
"Sudah, ayo kita pulang!!"
Akhirnya Riki dan Senja memutuskan untuk pulang ke rumah. Karena ia mengingat anaknya yang sudah waktunya pulang sekolah. Ia tak ingin Binara merasa kesepian karena tidak ada dirinya ketika dia sampai di rumah.
Akan ada saatnya ia memberitahu Bina jika papa dan mamanya tidak bisa lagi hidup bersama.
Ya, Senja sudah bertekad mengajukan gugatan cerai secepatnya ke pengadilan agama. Karena ia tidak bisa lagi hidup bersama Han karena kesalahan fatalnya. Karena ia sangat benci dengan yang namanya penghianatan.
"Mama!!!" Suara melengking nan menggemaskan menyambutnya ketika ia baru saja sampai di rumah. Gadis berpipi gembul dengan kuncir dua itu berlari menghampirinya seraya merentangkan tangannya. Membuat ia sejenak melupakan kesakitannya.
"Mama dari mana? Kenapa Bina ditinggal bersama mbok Atun di rumah?" rengek Bina.
Bibirnya mengerucut sangat lucu.
"Maaf, Sayang. Mama ada urusan sebentar, sehingga harus meninggalkanmu dulu sama mbok Atun."
"Memangnya masalah apa sampai tidak bisa menunggu Bina pulang sekolah?"
Senja tertawa dibuatnya karena pertanyaan polos dari Bina. Belum juga ia menjawab, Riki sudah menghampiri keponakannya itu dengan makanan satu kresek besar di tangannya. Belum lagi Riki juga membelikan boneka beruang besar untuk keponakannya itu.
Bina langsung berhambur ke pelukan Riki. Rasa rindu membelenggu. Bahagia tak terkira mendapatkan hadiah dari om nya.
"Terima kasih om untuk bonekanya. Bina suka banget."
Tentu saja Bina sangat senang menerima boneka itu. Ia langsung memeluknya dan mengecup boneka itu berkali-kali. Karena boneka itu adalah boneka yang ia minta jauh-jauh hari sebelum omnya datang kemari.
Dan sekarang boneka itu sudah berada di tangannya.
Bina memberikan kecupan di pipi Riki sebagai tanda terima kasih. Setelah itu Bina berlari ke ruang tengah dengan tawa cerianya. Meninggalkan Riki dan Senja yang masih berada di teras rumahnya.
"Jangan sampai kamu menitikkan air mata di depan Bina, Nja. Belum saatnya dia tau kelakuan bejat papanya." Riki mewanti-wanti.
"Iya. Aku tau, Mas. Aku tidak akan membuatnya bersedih. Karena sekarang yang ia miliki hanya aku."
"Jangan lupakan ada aku yang selalu ada untukmu dan Bina."
Senja tersenyum. Ia bersyukur masih dikelilingi oleh orang-orang baik. Belum lagi ibunya yang berada di kampung halamannya.
Mengingat sang ibu, matanya kembali memanas. Ia ingin memeluk ibunya untuk meluapkan segala kesedihannya saat ini.
Sebuah tepukan membuatnya tersadar. "Sudah. Pria seperti itu tidak pantas kamu tangisi."
Senja mengangguk. "Jangan katakan pada ibu apa yang terjadi dengan rumah tanggaku, Mas. Biar aku sendiri yang mengatakannya pada beliau."
"Iya. Baiklah."
Mereka masuk kedalam rumah. Senja berusaha tersenyum di depan anaknya walau jika mengingat penghianatan suaminya air mata itu tiba-tiba mengenang begitu saja.
Sudah beberapa kali Riki memergoki Senja yang tiba-tiba menangis begitu saja. Ia harus berusaha kuat demi anaknya.
Sungguh, sangat berat menjalaninya saat ini. Ingin sekali dia berteriak dan memaki Han di depan anaknya, agar Bina tau betapa kejamnya sang papa yang dengan tega menukar kebahagiaan keluarganya demi wanita yang baru di kenalnya.
Jika dia mau, dia bisa saja merebut Han kembali dengan alasan kebahagiaan anaknya. Tapi Senja tidak bisa membohongi hatinya jika dia sudah tidak bisa lagi hidup bersama.
Lebih baik anaknya hidup tanpa kasih sayang seorang ayah, daripada anaknya malu mempunyai papa tukang selingkuh. Karena ia yakin bisa menjadi sosok papa bagi anaknya.
Ia hanya berharap bisa tersenyum kembali menyongsong hari esok dengan harapan yang lebih baik lagi. Biarlah hari ini dia terpuruk se-terpuruknya agar dia mempunyai alasan untuk bangkit kembali. Demi kebahagian Bina tentunya.