Ringkasan
Perceraian dan perselingkuhan mantan suaminya, membuat Senja trauma dan menutup hatinya untuk pria serta memilih menjadi janda selamanya. Tapi, seorang pria tiba-tiba hadir dalam hidupnya dan berusaha memiliki hati sang janda muda. Dia-lah Langit Edgar Pratama, seorang pemimpin ditempat Senja bekerja. Mampukah Langit menaklukkan sang janda muda dengan cintanya? Atau, malah membuat sang janda semakin menjauh?
Bab 1. Curiga
"Iya, sayang. Aku juga merindukanmu. Kamu sabar, ya. Sebentar lagi kita akan bertemu."
Deg ...
Langkahnya terhenti karena mendengar kalimat suaminya yang seketika membuat darahnya berhenti mengalir.
"Sa-sayang?!" Senja masih tak percaya dengan apa yang dia dengar.
Ia baru menyadari jika ada yang tidak beres dengan suaminya saat ini. Karena selama ini suaminya selalu mengangkat telepon meskipun berada di sampingnya.
Dengan lancang dia menguping kembali pembicaraan sang suami karena rasa penasaran menyergapnya. Apalagi panggilan sayang masih membekas di ingatannya.
"Dengan siapa Mas Han berbicara?" batin Senja yang masih menguping di sana. Dia bersembunyi dibalik korden yang biasanya menutup pintu balkon.
"Iya, Sayang," ucap Han di sela tawanya.
Mata Senja membulat sempurna ketika mendengar Han kembali memanggil sayang dengan lawan bicaranya.
Senja meremas dadanya yang tiba-tiba sesak. Air matanya luruh begitu saja saat mendengar percakapannya suaminya yang entah dengan siapa. Apalagi panggilan sayang yang Han lontarkan telah mengusik hatinya.
Ya, Han Sanjaya adalah pria yang sudah menemaninya selama delapan tahun terakhir. Pria yang dengan gagahnya memintanya pada ibunya untuk meminangnya sebagai istrinya.
Tapi setelah delapan tahun bersama, dia tidak menyangka jika dia harus mendengar bibir suaminya memanggil sayang pada lain wanita.
Curiga? Sangat. Karena sebagai seorang istri Senja tidak pernah mengecewakan suaminya. Ia selalu patuh dan melayani suaminya setulus hati. Lalu apa kesalahannya sampai suaminya berbuat seperti itu?
Tapi dia harus memastikannya terlebih dahulu sebelum mengambil langkah selanjutnya. Bisa saja dia hanya salah sangka pada suaminya. Walau bukti nyata sudah di depan mata.
Senja mengusap air matanya dan berniat keluar dari persembunyiannya. Ia menarik bibirnya mengulas senyuman agar suaminya tidak curiga kepadanya.
"Mas.."
Han gelagapan sekaligus kaget karena dengan tiba-tiba Senja muncul di belakangnya.
"Senja, sayang. Sejak kapan kamu di situ?" Seketika Han menjadi gugup bukan main, karena takut sang istri mendengar apa yang dibicarakan ketika di balkon tadi.
Segera Han langsung menyimpan ponselnya ke dalam saku celananya.
Gegas ia mendekati Senja yang tengah berdiri di depan pintu balkon kamarnya.
"Barusan saja, Mas. Memangnya kenapa? Kenapa kamu kaget seperti itu?" tanya Senja dengan senyum menggoda, memasang wajah yang biasa saja. Seolah tidak terjadi apa-apa dan tidak mendengar apa-apa.
Han mengecup kening Senja berkali-kali. "Tidak. Aku hanya kaget saja saat kamu tiba-tiba muncul dari belakang."
"Benarkah?"
Menangkap sinyal kurang baik dari Senja, Han segera mengalihkan rasa curiga istrinya. "Sudahlah. Ayo kita sarapan. Aku sudah lapar."
Han pun menggandeng tangan Senja untuk keluar dari kamar. Jangan sampai istrinya itu menanyakan sesuatu tentang siapa yang menelponnya tadi. Bisa gawat urusannya, pikir Han gusar.
Saat di depan pintu, suara cempreng menyambutnya dengan tawa lebarnya.
"Mama!!"
"Sayang." Senja berjongkok dan memeluk Bina.
Ciuman hangat mendarat di pipi Senja dari Bina. Di susul oleh Han yang juga ingin di cium oleh sang putri.
Senja berusaha keras mengontrol emosi di depan buah hatinya. Jangan sampai sang putri melihatnya bertengkar dengan suaminya karena masalah yang belum jelas keberadaannya.
Rasa penasaran memenuhi otaknya untuk segera mencari tahu secepatnya agar tidak menjadi penyakit hati.
Setelah sarapan bersama, Bina dan Han berpamitan untuk pergi ketujuan masing-masing. Tak lupa mereka mengecup pipi Senja bergantian.
"Aku berangkat ya, Sayang. Hati-hati di rumah. Mungkin aku tiga sampai empat hari di sana. Karena ini klien penting dari luar kota," terang Han sesaat akan masuk ke dalam mobilnya.
Walau penuh rasa curiga, Senja memaksakan senyumnya dan mengangguk.
Setelah ini, ia akan mencari tau apa yang selama ini di sembunyikan oleh suaminya.
Melihat mobil suaminya yang perlahan meninggalkan halaman, Senja bergerak cepat untuk mengambil tas dan kunci mobilnya. Kali ini jangan sampai ia kehilangan jejak suaminya.
Saat ia hendak masuk ke dalam mobil, sebuah mobil berwarna putih memasuki pintu gerbang. Membuatnya bertanya-tanya siapa yang bertamu kali ini.
Saat Senja tau siapa orang itu, dengan berjalan cepat ia menghampirinya.
"Bagus mas kamu cepat kemari. Ayo ikut aku sekarang juga."
Riki yang hendak keluar dari mobil pun bingung sendiri saat melihat Senja yang malah masuk ke dalam mobilnya.
"Hey, kamu mau ngapain? Aku ingin bertemu Bina makanya aku kemari," protes Riki saat Senja memakai sabuk pengaman seolah bersiap untuk pergi.
"Sudah, Ayo pergi!! Nanti aku kasih tau mau kemana."
"Tapi_"
"Mau jalan sekarang, atau kamu bukan abangku lagi," ancamnya tidak main-main dengan sorot mata yang tajam.
Riki akhirnya menurut. Dia memutar kemudinya untuk kembali lagi keluar dari gerbang rumah Senja.
Selama perjalanan hatinya tidak tenang. Pikirannya melayang saat mengingat pembicaraan suaminya saat di balkon kamarnya tadi. Apalagi samar-samar ia mendengar nama sebuah hotel di luar kota di sebut. Semakin kalut pikiran Senja saat ini.
Bukan Ia tidak percaya dengan kesetiaan suaminya, tapi panggilan sayang itu yang membuat Senja waspada.
"Mau kemana ini, Nja?" tanya Riki dengan fokus pada kemudinya. Karena sedari tadi Senja hanya diam dan sibuk menatap setiap mobil yang berada di depannya. Seperti sedang mengintai sesuatu.
"Sudah. Jalan saja, Mas. Nanti aku kasih tau. Ayo cepat!!" ujar Senja yang masih fokus karena takut kehilangan jejak sang suaminya.
Riki hanya mengangguk patuh. Ia menekan pedal gas semakin dalam untuk menuruti perintah adiknya.
Matanya tiba-tiba menyipit ketika melihat sebuah mobil yang tak asing baginya. Ia juga memastikan nomer plat mobil itu, dan ternyata benar. Tidak di ragukan lagi jika itu adalah mobil suaminya.
"Nah, itu mobil mas Han!! Ikuti, Mas. Cepat!!" tunjuk Senja pada sebuah mobil dengan plat nomor yang di hafalnya. Berhenti paling depan di sebuah lampu merah.
Mata Riki pun memindai ke mana arah pandangan Senja.
"Lalu?!" Riki masih belum mengerti kenapa Senja mengikuti mobil suaminya. Karena selama ini Senja tidak pernah bertindak seperti ini.
"Ck!! Sudahlah, Mas. Kamu ikutin aja mobilnya mau ke mana. Nanti juga tahu tujuannya sebenarnya. Karena jujur aku pun tak tahu tujuan suamiku, karena pamitnya sama aku kerja ke luar kota," sentak Senja yang mulai terpancing emosi dengan pertanyaan sang abang.
"Kan udah tahu ke luar kota, tapi kenapa kamu masih ngikutin dia? Apa kamu tidak percaya dengan suamimu, Nja?" tanya Riki lagi yang merasa heran karena tidak seperti biasanya adiknya itu menaruh curiga pada suaminya.
Karena biasanya Senja akan selalu percaya apapun yang dilakukan suaminya di luaran sana. Percaya jika Han tidak akan pernah membuatnya kecewa.
Lalu kenapa Senja bertindak seperti ini sekarang? Apakah ada sesuatu yang disembunyikan oleh Han pada Senja? Benak Riki ikut bertanya-tanya. Menerka apa yang sedang terjadi pada rumah tangga adiknya.
Selama perjalanan Senja tampak gusar. Dia seolah tak tenang menanti ke mana arah tujuan suaminya tersebut. Dia juga mengultimatum Riki agar tidak sampai kehilangan jejak suaminya kali ini. Karena ia penasaran apa yang dilakukan Han sebenarnya.
"Kamu kenapa sih tidak percaya begitu sama suamimu? Kalian bertengkar?"
"Apakah Senja harus menjawabnya, Mas?"
" Bukan karena aku mau ikut campur atas rumah tangga kamu, tapi apapun yang terjadi, kamu adalah adik aku yang harus aku jaga dan lindungi, Senja. Jadi aku mohon jangan ada yang kamu tutupi dariku."
Senja menghela nafas berat. "Apakah aku salah jika mengikuti suamiku karena aku mendengar dia memanggil seseorang ditelepon dengan sebutan sayang."
Refleks Riki langsung menoleh ke arah Senja yang berada di sampingnya. Masih tak percaya dengan apa yang dikatakan barusan.
"Kamu jangan ngaco ya, Nja? Mana mungkin Han seperti itu?" Riki terkekeh tak percaya.
Senja tersenyum hambar. "Berarti apa yang dipikiran mas Riki sekarang juga sama dengan yang ada di pikiran aku. Aku pun tidak percaya ketika mas Han memanggil sayang pada lawan bicaranya di telepon pagi tadi. Tapi aku tidak bisa menyangkal kebenaran itu. Aku sudah berusaha membuang jauh pikiran buruk itu, tapi semakin aku membuangnya, semakin pula menyiksaku, Mas."
Mata Senja sudah berkaca-kaca. Hingga akhirnya air mata itu pun tumpah juga. Senja tergugu dalam tangisnya, meratapi nasib rumah tangga yang entah akan kemana membawanya bermuara.
Tangan Riki mencengkram kemudi dengan kuat. Dadanya bergemuruh menahan emosi, tidak terima jika adiknya dipermainkan seperti itu. Tapi dia juga tidak boleh gegabah dalam mengambil kesimpulan. Karena dia juga belum tahu seperti apa kejadian yang sebenarnya.
"Sudah. Lebih baik kamu jangan berpikiran aneh-aneh. Semoga tidak terjadi dengan apa yang kamu pikirkan saat ini. Jika sampai itu terjadi, aku sendiri yang akan memberi pelajaran pada suamimu itu."
Senja bungkam. Ia pun berharap demikian. Pikirannya melayang, namun matanya menatap fokus pada mobil suaminya yang masih setia berjalan di depannya.
Suasana mobil menjadi hening. Riki masih fokus pada mobil Han. Sedangkan Senja tak hentinya mengusap air matanya, karena pikiran buruknya mendominasi otaknya saat ini.
Ia tak ingin dikhianati, karena perasaannya sangat dalam untuk suaminya. Apalagi memikirkan nasib Bina yang entah bagaimana jika kehilangan sosok papa yang selalu diidolakannya.
Hingga akhirnya mereka sampai di sebuah pelataran hotel di luar kota. Senja dan Riki masih menunggu pergerakan dari Han yang masih berada di dalam mobil. Entah apa yang dia lalukan hingga tak kunjung keluar dari mobilnya.
Ketika mata Senja melihat sekitaran hotel, mata sayunya tak sengaja melihat sosok wanita yang dia kenal baru turun dari taksi online dan langsung menghampiri suaminya.
"I_itu?"