Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Berusaha Tegar Demi Anak

"Apakah bapak sakit?" Pertanyaan Benji menyentak lamunannya.

Langit menoleh dan menatap Benji yang sudah berdiri di sampingnya. Ia membenarkan duduknya seraya menggelengkan kepalanya.

"Tidak. Aku tidak apa-apa."

"Saya lihat, sejak tadi bapak hanya diam saja. Apakah ada yang bapak pikirkan?" Benji, asisten pribadi merangkap sepupu Langit yang sudah bekerja padanya sepuluh tahun terakhir, tentu pria itu tau jika bosnya sedang galau.

Langit mengusap wajahnya kasar. "Entah kenapa aku masih kepikiran wanita tadi di hotel, Ben," jawabnya tidak bisa berbohong.

"Wanita di hotel tadi siang?"

Langit mengangguk.

Benji diam sejenak. "Kata security, mereka sempat membuat keributan dan mengganggu pengunjung lainnya, Pak. Hampir saja para security menyeret mereka keluar dari hotel."

Langit menatap Benji penasaran. "Lalu bagaimana dengan wanita tadi, Ben? Apakah ia baik-baik saja?"

Benji tersenyum tipis melihat raut kekhawatiran yang tergambar jelas di wajah Langit. "Wanita itu pergi dengan saudara laki-lakinya, meninggalkan suaminya bersama selingkuhannya."

"Apakah dia terluka?"

Benji mengangguk. "Kata security yang melerai, pipi wanita itu bengkak dan bibirnya sedikit berdarah. Mungkin habis terkena tamparan."

Tanpa sadar tangan Langit terkepal. Giginya bergemelutuk menahan terjangan amarah yang tiba-tiba datang. Ia tidak terima wanita itu diperlakukan dengan kasar oleh pria yang jelas-jelas telah berbuat kesalahan.

Langit sendiri tidak mengerti kenapa ia merasakan seperti ini. Sebelumnya, ia sama sekali tidak perduli dengan urusan orang lain. Tapi berbeda dengan wanita itu. Kisah hidupnya membuat ia tidak berhenti memikirkan wanita bermata sayu itu.

Langit mengetik jarinya di atas meja. Otaknya memikirkan bagaimana caranya agar ia bisa mencari tau tentang wanita itu.

Senyum tipis terbit di bibirnya seraya menoleh ke arah Benji. "Ben, aku mau kamu mencari tau tentang wanita itu. Semuanya tanpa terkecuali," perintahnya pada Benji.

"Siap laksanakan, Pak."

Sementara Senja mengurung dirinya di kamar mandi. Ia terduduk di bawah guyuran shower yang menerpa tubuhnya.

Meski bibirnya mengatakan rela, tapi hatinya tidak bisa menerima dengan mudah. Beribu pertanyaan masih bercokol menuntut sebuah jawaban.

Selama ini dia berusaha menjadi istri yang baik, berusaha selalu menjadi yang terbaik. Tapi kenapa Han masih saja berselingkuh dengan sahabatnya? Apa kurangnya ia sebagai wanita?

Tiba-tiba bibirnya tersenyum sumbang. Ingatannya melayang saat Han melontarkan kalimat jika ia membosankan. Gairah di atas ranjang monoton tidak menantang. Apakah semua laki-laki mengukur urusan ranjang untuk keharmonisan rumah tangganya?

Sungguh, Senja tidak habis pikir akan pikiran picik Han yang seolah menyudutkannya karena perselingkuhannya.

Tok ... tok ... tok ...

Samar ia mendengar pintu terketuk. Gegas, ia langsung membilas tubuhnya dan keluar dari sana. Ia takut Bina akan melihat kesedihan di wajahnya karena kelakuan papanya.

Setelah memakai pakaian, dengan langkah cepat ia menuju pintu dan membukanya. Terlihat Riki dan Bina sudah berdiri di depan pintu.

"Mama. Mama kenapa lama sekali di kamar mandi?" tanya Bina dengan polos.

Senja tersenyum. "Mama sakit perut, Sayang. Maaf sudah membuat Bina menunggu lama."

Ia melirik Riki sekilas, lalu menatap Bina dengan senyuman yang sama. Dipaksakan.

Bina mengangguk. Lalu menggandeng tangan Senja untuk menuju ke ruang makan. Dimana mbok Atun sudah menyiapkan makan malam untuk mereka.

Di meja makan, Riki sesekali menatap adiknya, guna memastikan semua baik-baik saja sebelum ia pamit pulang. Ia tidak ingin Senja melakukan hal buruk yang dapat mengancam jiwanya.

"Tidak usah menatapku seperti itu, Mas. Aku baik-baik saja."

Riki tersenyum remeh.

"Benarkah? Apa nanti kamu tidak akan bunuh diri karena pria brengsek itu?"

Senja melotot mendengar kalimat Riki "Sst, aku tidak ingin Bina mendengar kalimat buruk tentang papanya, Mas. Jadi aku harap kamu bisa tutup mulut saat di depan Bina," ucap Senja dengan berbisik, agar Bina tidak mendengarnya.

Riki mengusap tengkuknya yang tidak gatal. Ia lupa jika sedang bersama ponakan tersayangnya. Emosi di dadanya langsung tersulut jika menyebut nama Han, si penghianat.

"Maaf. Aku tidak akan melakukannya lagi."

Setelah kepulangan Riki, rumah kembali sepi. Malam kian larut dan Bina masih saja enggan beranjak tidur karena menunggu kepulangan papanya.

Bina tiduran di sofa dengan bantalan paha sang mama.

"Mama, kenapa papa belum pulang?" tanya Bina yang sebelumnya menguap beberapa kali. Matanya memerah menahan rasa kantuk yang mulai menyerang.

"Papa lembur, Sayang? Mending sekarang kita tidur duluan agar kamu besok tidak kesiangan pergi ke sekolah."

"Tapi Bina mau menunggu papa pulang, Ma," kekeh Bina sedikit keras kepala.

"Tapi kalau besok Bina telat bagaimana? Bina mau datang ke sekolah kalau telat bangun?"

Bina diam sejenak, lalu menggelengkan kepalanya.

"Anak pintar. Ayo, kita tidur sekarang. Mama temani Bina sampai terlelap."

Bina langsung beranjak duduk. "Benarkah?" tanya Bina dengan tatapan tak percaya. Karena selama ini mamanya hanya mengucapkan selamat malam tanpa menemaninya lagi seperti dulu. Masa-masa yang sangat dirindukan oleh Bina.

Senja mengangguk.

Mereka melangkah menuju kamar Bina dengan tawa bahagia. Menutupi luka hati yang menganga penuh darah. Biarlah ia bersandiwara dengan menjaga perasaan putrinya meski hatinya hancur lebur tak bersisa.

Di dalam kamar, Senja memeluk Bina seraya berbaring di samping putrinya. Air mata tiba-tiba mengalir begitu saja saat memikirkan nasib Bina untuk kedepannya. Bagaimana reaksinya jika mengetahui sang papa yang ia idolakan malah menjadi sosok yang kejam? Yang rela meninggalkannya demi wanita lain yang belum tentu baik.

Harus bagaimana ia memberikan jawabannya nanti?

Memikirkan itu, hatinya kembali sesak. Ia hanya berharap semoga putrinya bisa menerima keputusan akhir keduanya dengan lapang dada.

Setelah memastikan jika Bina benar-benar terlelap dalam tidurnya, Senja melangkah keluar dan menuju ke dapur.

Masakan ia panaskan terlebih dahulu. Siapa tau jika Han akan pulang walau itu tidaklah pasti. Tapi sebagai istri, ia masih mempunyai kewajiban melayani suaminya sebelum ketukan palu pengadilan memisahkan mereka.

Ia juga menyiapkan kopi hitam favorit suaminya dengan sedikit gula. Lagi-lagi hatinya seperti diremas-remas mengingat penghianatan Han.

Jika boleh, ia ingin menambah sianida ke dalam minuman kopi itu untuk membuat suaminya tenang di alam tidurnya.

"Astaghfirullah, Senja. Apa yang kamu pikirkan saat ini? Lupakan semua. Kamu harus bangkit demi Bina. Masih ada Bina yang menjadi tanggung jawabmu. Lepaskan Han jika di rasa menyakitkan. Menyerah itu lebih baik daripada harus terus merasakan sakit." Senja berbicara sendiri untuk membuka pikirannya agar bisa berpikir jernih.

Sakit yang dia rasakan sangat dalam. Sampai ia punya pikiran untuk melenyapkan Han. Tapi, semua itu akan ada Karma yang menanti Han dan Sherly. Senja hanya menunggu waktu hukuman Tuhan itu akan datang.

Setelah menyelesaikan tugasnya di dapur, Senja melangkah menuju ke ruang televisi. Ia menonton drama kesukaannya seraya menunggu kepulangan suaminya.

Di liriknya jam yang bertengger di dinding yang sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Tapi tanda-tanda kepulangan Han masih belum ia dapatkan.

Lama menunggu, sampai akhirnya mata terasa berat untuk di buka. Dia memaksa untuk tetap terjaga, tapi dia juga sudah tidak mampu melakukannya. Perlahan namun pasti ia tidak melawan saat buaian mimpi memintanya untuk perlahan menutup mata.

Tapi saat menjelang ke alam mimpi, ia dikejutkan dengan suara pintu terbuka. Gegas dia beranjak bangun berniat untuk menghampiri. Tapi langkahnya seketika terhenti saat melihat bayangan suaminya tengah menggandeng mesra seorang wanita dengan pakaian yang cukup terbuka.

Wanita itu tersenyum merekah seraya melambaikan tangannya bahagia.

"Hai, Senja. Selamat malam," sapa wanita itu tanpa merasa berdosa.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel