Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

SEMAKIN MENGENAL DI MEJA MAKAN

“Jota,” teriak Cia sambil berjalan keluar dari kamar. “Jota.” Sekali lagi gadis itu berteriak saat tak ada balasan dari pria yang dipanggilnya.

Sedang Declan langsung menghentikan kegiatan bershampoonya untuk memastikan bahwa sang istri baru saja memanggil. Setelah dirasa tak lagi ada panggilan, Declan melanjutkan mandinya sedikit tergesa.

Cia berjalan ke arah dapur dan tidak menemukan siapa pun di sana. Meski hampir dua minggu pernikahan mereka, sampai saat ini Cia belum mengetahui di mana pria itu tidur. Sepertinya Cia terlalu tidak tau malu karena membiarkan Declan terusir dari kamarnya sendiri. Tapi, bukankah dia sendiri yang menyuruhnya? Jadi, itu jelas bukan salah Cia.

“Jota!” panggil Cia lagi dengan teriakkan lebih kuat dari pada sebelumnya.

“Gue mandi, Ivy. Jangan teriak-teriak mulu,” balas Declan yang terdengar dari ruangan bertirai besar itu.

Dengan rasa kesal yang sedikit muncul karena panggilan sang istri membuat Declan harus menyudahi kegiatan mandinya lebih awal dari biasa. Ah, tunggu dulu! Declan baru ingat kenapa Cia terus berteriak memanggilnya setelah keluar dari kamar mandi dan melihat jam dinding. Cia pasti sudah kelaparan. Declan bangun kesiangan karena kembali tertidur setelah sholat subuh. Dan sekarang sudah hampir jam 8. Dia harus segera keluar untuk membuatkan sarapan sang istri.

***

Cia duduk di bedsofa yang ada di ruang tengah. Dan mulai menghidupkan LCD yang tersedia. Beberapa channel dari luar negeri sudah menjadi list. Seperti yang terlihat, Declan benar-benar menggilai channel masakkan dan olahraga. Terbukti dengan banyaknya channel serupa di tv langganannya.

Sembari menunggu Declan keluar dari ruangan tidurnya, Cia mencari beberapa saluran yang menampilkan acara dari Korea. Pernah berada di negeri gingseng itu selama 15 tahun membuatnya kecanduan dengan drama atau variety yang ada di sana. Cia akui bahwa aku juga pecinta K-pop. Kini gadis itu sudah tertawa saat menonton acara SJ return yang menjadi pilihannya.

Sebenarnya, ini bukan hari Minggu. Tapi Cia dan Declan bahkan berada di rumah meski ini masih hari Rabu. Jadwal mereka hari ini hanya akan menghadiri satu pemotretan majalah Family jam 4 sore nanti. Dan sekarang jam baru menunjukkan pukul 8 pagi. Mereka masih punya banyak waktu untuk bermalas-malasan di rumah.

Satu minggu lalu, mereka bahkan hanya bisa tidur beberapa jam. Jadwal pekerjaan benar-benar padat dan mengambil seluruh waktu istirahat. Cia bahkan muak menjawab semua beberapa pertanyaan yang diajukan perihal pernikahan mereka. Pertanyaan itu juga muncul bahkan saat mereka bekerja secara terpisah. Sepertinya pernikahaan mereka benar-benar membuat penasaran orang. Karena memang terlalu tiba-tiba, tak salah jika banyak yang ingin tau alasan dibalik pernikahaan ini sebenarnya apa.

“Pengen balik ke Korea lo?” suara Declan terdengar. Pria itu langsung mengambil posisi duduk di sofa lain di seberang sang istri.

Cia tersenyum lebar dan membenarkan posisi duduk. “Lo mau masak apa hari ini?” tanyanya langsung tanpa mempedulikan pertanyaan mengejek dari Declan barusan.

Declan tak memberi respon apa pun dan hanya fokus pada benda pipih di tangannya. Baiklah, Cia akan memaklumi kali ini. Karena dia yang membutuhkan Declan untuk memasak, Cia harus sabar menunggu jawaban pria itu.

“Lo mau makan apa?” tanya pria itu setelah hampir sepuluh menit tak mengacuhkan.

Meski kesal, setelah mendengar pertanyaannya, Cia malah kembali tersenyum lebar. Cia memang tidak bisa makan nasi putih terlalu banyak. Tapi jika itu makanan yang sehat, Cia bisa menghabiskannya dengan baik. Declan bahkan mengejeknya dengan panggilan pinky pig karena selera makan yang berlebihan meski begitu pemilih soal makanan. Entah berapa banyak panggilan yang sudah pria itu sematkan padanya diumur pernikahan yang belum genap dua minggu ini.

“Barbekiyu,” seruku riang dengan tangan terangkat tinggi.

Declan melihat dengan tatapan datar. “Gak ada orang yang sarapan barbekiyu di Indonesia, I,” balasnya yang jelas tidak setuju.

Cia berdecak kesal. “Ya gak usah nanya kalo gitu. Gue pengennya itu kok,” sungutnya menghempaskan punggung ke sandaran sofa.

Dilirik Declan yang masih menatapnya. Sama seperti apartemennya, Declan juga lebih suka memakai baju monokrom untuk keseharian. Pria sederhana dari keluarga konglomerat pertama yang pernah Cia temui. Di Korea, Cia juga banyak menemui pria-pria seperti Declan. Tapi untuk ukuran orang Indonesia yang sering memamerkan kekayaan, Cia kira Declan bisa dijadikan pengecualian.

“Belut panggang aja, ya?” tanyanya dengan nada hati-hati. “Sama sayurannya juga deh. Gue buat kayak di restoran Korea-Korea gitu,” sambungnya lebih ceria sekarang. Seperti merasa bersalah karena memberikan jawaban dingin tadi.

Cia hanya mengulum senyum sekilas agar tak membuat Declan besar kepala karena perubahan sikapnya yang terlalu tiba-tiba. “Oke deh kalo lo maksa,” ujarnya berdiri, berlalu ke dapur.

“Lo-nya aja yang doyan, I,” balas Declan dari belakang yang berhasil membuat tawa sang istri meledak.

***

“Lo masakin gue mulu, Jota. Gak sebel apa?” tanya Cia melihat sang suami setelah berpaling dari daging belut tebal yang sekarang tengah Declan bolak-balik di atas panggangan.

“Jadi lo mau masakin?” Declan balik bertanya sambil melirik sekilas.

“Enggak juga, sih.” Cengiran Cia jelas yang menciptakan dengusan geli dari Declan.

“Ya udah, makan aja apa yang gue masak. Gak usah banyak tanya. Kalo gue sibuk juga ogah banget masakin elo,” ujar Declan, datar.

Cia mencebik untuk membalas ucapan pria itu. Matanya kembali terfokus pada daging belut. Desisan daging di atas panggangan membuat Cia berkali-kali menelan air liur. Sepotong belut mendarat di piringnya yang membuat sudut bibir gadis itu langsung terangkat. Dilihat Declan yang hanya berfokus pada panggangan tapi tersenyum tipis untuk mempersilakannya makan. Cia langsung membungkus belut pertamanya dengan selada setelah menambah banyak sayuran di dalamnya. Dengan mulut lebar, gadis itu memasukkan gulungan sayuran dan daging belut ke mulut. Declan tertawa kecil dengan gelengan setelah kembali meletakkan beberapa daging belut di piring sang istri.

Cia dengan semangatnya memasukkan makanan ke mulut. Gadis itu benar-benar terlihat lapar. Segera Declan mengambil alih sendoknya untuk menyantap makanannya untuk menghapus senyuman yang tidak bisa berhenti terulas. Dan gadis yang sejak tadi hanya menjadi penonton saat Declan menyiapkan semua perlatan untuk mereka makan, kini dengan tidak tahu malunya melahap segala apa yang ada di depannya.

“Pelan-pelan,” suruh Declan sambil menyodorkan tissu untuk membersihkan ujung bibir sang istri yang penuh dengan sisa makanan. Cia menerima dengan kekehan yang tertahan karena mulut yang masih penuh.

“Jota,” panggil Cia yang hanya dibalas dengan tatapan dari sang suami. “Gue makin stress akhir-akhir ini.” Sepertinya, Cia memang mulai nyaman saat mengobrol dengan Declan yang cenderung mendengarkan semua yang gadis itu ceritakan. Dilihat Declan yang masih menyantap makanannya tapi memperhatikan dengan penuh. Cia bahkan bisa merasakan bahwa sekarang pria itu ingin menanyakan apa yang terjadi padanya akhir-akhir ini.

“Makin banyak orang yang gosipin gue setelah menikah sama lo.” Alis pria itu terangkat dan kunyahan dimulutnya melambat. “Bukan karena gue gak suka sama pernikahan kita,” Entah kenapa Cia langsung memberi penjelasan. “Tapi gue gak suka sama gosip gak bener yang orang-orang omongin tentang kita.” Tapi Cia rasa, Declan memang harus tahu apa yang terjadi. Masih tak ada jawaban dari pria itu, dia hanya melihat dengan tatapan yang tidak bisa dimaknai.

“Mereka bilang, kita nikah karena orang tua kita memang udah ngerencanain untuk urusan bisnis masing-masing. Gue gak suka mereka bawa-bawa keluarga padahal mereka gak tau apa yang terjadi sebenernya,” ujar Cia melanjutkan cerita. “Dulu gue jadi bahan gosip karena gak pernah komunikasi dengan baik sama model yang lain dan dengan sombongnya minta ruang wardrobe pribadi. Gue udah kebal aja sih sama gosip receh kayak gitu. Tapi kalo udah nyangkut keluarga, rasanya nyebelin bangetkan, Jota?”

Dilihatnya Declan dengan tatapan menuntut jawaban. Declan menghabiskan suapan terakhir nasi yang ada di piringnya. Lalu mengangguk kecil setelah meneguk mineral dingin langsung dari botol.

“Gue sebenernya bukan orang yang bisa jaga emosi dengan baik. Emosi gue bisa meluap kapan aja kalo misal gue gak nahan diri. Tapi gue hebat, kan? Tahan begitu sama mereka selama satu tahun di Indonesia. Soalnya gue berusaha buat gak peduli aja sih. Gue bakal malu-maluin kalo sampe berbuat ceroboh,” sambung gadis itu dengan senyuman lebar.

“Good job, Ivy. Lo udah sangat baik memainkan peran menjadi orang yang pura-pura gak tahu apa-apa dengan cara gak peduli.” Cia nampak menyukai pujian yang Declan berikan. Lihat betapa bahagianya gadis itu menggerakkan tangannya yang masih memegang sumpit ditambah dengan senyuman terlalu lebar itu. “Gue juga sempet jadi bahan gosip karena gak lulus kuliah sampe di tahun keenam pendidikan gue.” Declan sadar bahwa sang istri tidak percaya dengan cerita itu. Mata gadis itu membesar tanpa sembunyi. “Lo pasti juga kaget,” sambung Declan dengan kekehan.

Segera Cia menormalkan kembali air wajahnya. Declan menyandarkan punggung di kursi. Kembali meneguk mineral dan melihat sang istri dengan senyuman tipis.

“Karena gue anaknya Alder Reuven, mereka juga jadi menuntut gue untuk sama sempurnanya dengan nama belakang yang gue sandang.” Declan tahu pasti bahwa Cia tidak menyangka jika dirinya juga sempat dijadikan bahan gosip oleh orang-orang di sekitar. “Mas Dan udah jadi ketua Radiologi di rumah sakit keluarga di umur 23 tahun. Bang Delan, di umur yang sama, udah jadi dosen di kampus milik keluarga Prasiarkana. Sedangkan gue? Gue belum jadi apa-apa saat itu, I.”

Declan mencoba melihat perubahan ekspresi dari Cia. Tapi sepertinya, gadis itu tak berniat memutus ceritanya.

“Tapi Daddy selalu bilang ke gue. Semua orang punya sesuatu untuk menentukan bagaimana hidup mereka akan berlanjut ke depannya. Kalo Mama selalu ngomel gue gak lulus-lulus, Daddy dengan santai bilang, take your time to having fun, De. Daddy percaya kamu juga akan sukses dijalan yang kamu pilih sendiri.” Declan terkekeh setelah mencoba mengikuti suara berat sang ayah. Cia ikut tersenyum dan terus menatap Declan untuk meneliti wajah pria yang terlihat sangat santai itu.

Cia rasa, mereka punya kepribadian yang hampir serupa. Cenderung tak peduli dan menikmati hidup tanpa perlu memberi acuh untuk ucapan orang.

“Dari situ gue percaya, semua orang bakal sukses sama apa yang ditekuninya. Bahkan perampok aja dibilang sukses kalo bisa ngebobol bank tanpa ketahuan, kan?” Lagi-lagi mereka terkekeh. Declan akhirnya kembali melihat sang istri setelah lama menatap botol mineral di tangannya saat sunyi sempat mampir seperkian sekon tadi. “Gue terjun langsung jadi komposer, produser dan sutradara. Itu yang ngebuat gue jadi jarang ngampus dan harus ngambil mata kuliah yang sama di semester depan karena gak lulus. Gue kerjaan nyata dan Langit membantu mewujudkannya. Dia sama gue emang selalu jadi partner yang bisa dibilang sejalan untuk urusan pekerjaan. Dan Daddy benar, gue sukses di jalan yang gue pilih sendiri untuk hidup.”

Declan mengangkat tangannya ke arah Cia yang kebingungan dengan maksud darinya melakukan itu. “High five karena kita berdua bisa menjadi gue sama lo yang orang lain pikir kalo kita cuma memalukan nama orang tua dengan alasan kita gak sama hebatnya dengan nama belakang yang kita sandang.”

Cia tertawa dan dengan senang hati menyatukan telapak menjadi sebuah high five yang menciptakan suara kuat. “Waktu kita belum kenal, di acara fashionnya kak Guna, gue sempet liat lo menyendiri duduk di pojokkan. Sesekali aja lo senyum simpul kalo ada yang ngajakin lo becanda.”

“Lo beneran ada di sana juga waktu itu? Gue kok gak ngeliat lo waktu itu ya, I?” Declan jelas ingin menggoda sang istri.

Dan berhasil! Cia mendengus terus terang di depannya. “Tapi lo inget kalo gue ngomong sama Bang Tobi,” sungut Cia mencoba mengingatkan Declan pada kejadian saat mereka pertama kali bertemu.

Declan terkekeh. “Gue sebenernya liat lo waktu itu sekilas doang karena keburu-buru. Dan alasan gue duduk di pojokkan sendirian itu sama kayak lo yang pengen ruang wardrobe sendiri.”

“Lo keliatannya ramah, deh. Masa iya sih lo juga gak bisa ada sekeliling banyak orang?” Cia benar-benar tidak menyangka itu.

“Bukan gak bisa, sih, males aja lebih tepatnya. Gue juga deket kok sama beberapa orang seperti yang lo tahu sendiri. Tapi ketemu mereka kan cuma sesekali dan personal aja. Kalo kayak acara fashion kemarin, gue beneran pusing, I. Terlalu banyak manusia.”

Cia terkekeh karena bisa mengerti dengan apa yang Declan rasakan, sebab dia juga merasakan hal yang sama jika terlalu banyak orang berada di sekitarnya. “I feel you. Kita punya kesamaan di situ.”

“Karena profesional kerja, makanya gue bertahan,” ujar Declan yang langsung dibalas dengan anggukan oleh Cia.

“Gue lebih yang melatih diri sendiri untuk tenang di dekat banyak orang sih, Jota. Berhasil kok, syukurnya.”

Declan tersenyum miring. “Gue harus belajar dari lo kayaknya,” ujar Declan yang disetujui Cia dengan anggukkan. “Tapi, I,” Cia mendongak ke arah Declan yang sekarang juga melihatnya. “Lo sendiri gak suka sama pernikahan ini sebelumnya. So now, you can accept it?”

Lalu hening. Senyuman miring darinya memenuhi penglihatanku sekarang. Napas gadis itu tiba-tiba tertahan setelah mendengar ucapan Declan yang tak salah. Cia harusnya memang bertanya pada diri sendiri, apa sekarang dia sudah menerima pernikahan yang sejak awal ditentangnya begitu keras? Declan yang dari awal menerima dengan baik pernikahan ini, jelas melihat perubahan itu. Lagipula, kenapa Cia harus menceritakan bahwa tidak menyukai orang-orang yang bergosip tentang pernikahan mereka?

Segera Cia meraih daging belut terakhir yang ada di piringnya. “Gue kasih lo bungkusan terakhir daging belut yang paling enak.”

Dimasukkannya sesuap besar ke dalam mulut Declan yang hanya menurut dan mengunyah dengan senang hati. Tapi tiba-tiba saja kunyahannya berhenti. Declan melihat Cia dengan tatapan sebal sambil mendengus berkali-kali. Cia yang benar-benar tidak mengerti, hanya menaikkan alis sambil menunggu sang suami berbicara.

“Ah, lo ngerjain gue?” tanya Declan menyangga kepala di tangan.

“Ngerjain apaan?” Cia tulus bertanya.

“Kenapa lo masukin cabe? Gue gak bisa makan pedes, I,” jawabnya mulai menenggak mineral setelah kunyahan dimulutnya berkurang.

Cia langsung tertawa melihat wajah Declan yang memerah. Mata sipit pria itu berair. Berkali-kali dia memasukkan timun ke dalam mulut yang sudah tidak lagi berisi. Tanpa peduli dengan kesulitan sang suami, tawa Cia masih membahana memenuhi dapur. Astaga! Cia jadi tahu satu hal lagi tentang Declan. Mungkin inilah kelemahannya. Declan tidak suka makanan pedas. Lagipula, siapa yang peduli dengan dia yang sekarang berdiri untuk menghilangkan rasa pedas di mulutnya? Sebab Cia lebih lega karena bisa mengalihkan percakapan aneh tadi. Apa dia bisa menerima pernikahan ini sekarang? Hei! Jangan coba tanyakan lagi. Cia tak ingin bingung mencari jawaban sebab juga tak tahu kebenarannya.

Dan tanpa Cia tahu, Declan bahkan tidak peduli lagi dengan mereka yang tak bisa menjadi suami dan istri yang normal seperti lainnya. Sebab saling bertukar cerita seperti tadi sudah menjadi hal yang melebihi ekspektasi Declan selama ini. Mereka menjadi lebih saling mengenal. Sebagai teman untuk saat ini. Tapi Declan pastikan, Cia akan menganggapnya lebih dari itu. Segera!

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel