Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

AFTER ALL THIS TIME... A FRIEND?

Pukul 04.00 subuh. Declan terbangun setelah tidur hanya beberapa jam karena terlalu bersemangat kerja.

Langit: Gue jemput lo jam lima entar subuh. Siap-siap sejam sebelumnya. Awas telat lo.

Japri dari Langit bahkan baru sempat dibaca. Jam lima subuh katanya? Heh! Mari lihat akan sampai jam berapa sipemilik jam paling molor itu. Segera Declan mandi dan berganti pakaian setelah mendengar azan subuh berkumandang. Declan memang selalu menyempatkan diri untuk lima waktuku. Bagaimana dengan Cia, ngomong-ngomong? Sebagai suami, Declan harusnya mengajarkan Cia tentang pentingnya sebuah kewajiban solat. Tapi dia belum punya banyak waktu untuk bercakap panjang dengan gadis itu.

Declan berjalan pelan menuju dapur. Kamar utama masih terlihat damai. Sepertinya masih terpulas di sana. Pelan, dimulai kegiatannya membuatkan sesuatu untuk sarapan Cia nanti. Sekarang sudah jam lima lewat tiga menit. Dan Langit belum mengabarinya sama sekali. Declan sudah tidak kaget. Langit memang selalu begitu. Dia yang memburu-buru, tapi dia juga yang terlambat.

Diputuskannya untuk membuat sandwich dan salad. Saat diperjalanan pulang setelah pemotretan bersama di majalah Couple, Declan jadi tau bagaimana pola makan Cia yang sebenarnya. Declan sudah menyangka bahwa gadis itu penyuka makanan sehat, tapi bagaimana bisa gadis itu akan menjaga apa saja yang harus dimakannya dengan begitu detail.

“Gue jarang makan nasi, Jota. Sehari paling cuma satu mangkuk, atau malah gak sama sekali. Gue lebih seneng makan salad atau buah-buahan aja sih,” ceritanya kala itu.

Declan memicing tak setuju. “Itu karena lo diet?”

“Awalnya emang cuma buat diet. Tapi lama-lama jadi kebiasaan sampe sekarang.”

“Lo bisa jadi lidi kalo cuma makan begituan doang, I. Makan nasilah, dikit aja gak papa biar kebutuhan karbohidrat lo terpenuhi,” protes Declan dengan jelas.

“Gue ganti ke makanan lain kali. Makanya gue suka daging. Terus kentang rebus atau enggak ubi tuh. Kenyang juga lho. Nasi yang bisa masuk ke badan gue itu cuma nasi uduk.”

“Sesuka itu lo sama nasi uduk?”

Gadis itu mengangguk bersemangat. “Biarpun lemaknya lebih banyak, tapikan gue jarang-jarang makannya.” Tapi Declan menggeleng tak percaya. “Makanya lo masakin gue, Jota. Biar gue bisa makan banyak,” pinta Cia dengan senyuman jahil.

“Tapi gue makan nasi. Tiap hari masakin lo makanan sehat, terus gue sendiri gimana? Ogah banget ngikutin gaya makan lo yang super aneh begitu.”

Cia mendorong sang suami dengan sedikit kuat. Declan melirik Cia yang tersungut sekilas. “Pelit!”

Declan tersenyum sesaat mengingat percakapan mereka waktu itu. Wajah cemberut Cia benar-benar menggemaskan. Sebenarnya, Declan hanya menggoda kala itu. Tidak mungkin Declan tega membiarkan sang istri kelaparan karena kesulitan mendapatkan makanan yang diinginkan. Declan bahkan dengan senang hati membuatkan sesuatu yang Cia suka, dan bisa membuatnya kenyang jika memang gadis itu benar-benar tidak makan nasi.

Cia sebenarnya bukan tipe gadis yang pemilih dalam makanan. Tapi seperti yang dia katakan, itu hanya kebiasaan yang sekarang menjadi keseharian yang dia lakukan. Beruntung Declan pandai membuat sesuatu sehingga dia jadi tidak khawatir dengan apa yang akan Cia makan karena bisa sendiri membuat makanan itu.

Langit: Gue di bawah. Buruan turun! Udah lewat lima belas menit ini kita.

Aku tidak bisa menahan dengusan geli saat mendapatkan japri dari Langit, Declan akhirnya pergi dengan ransel yang sudah dia sediakan di ruang tengah setelah menuliskan sesuatu di atas makanan yang selesai dia buat untuk Cia.

***

Alis gadis itu terangkat sempurna saat melihat sesuatu yang sudah berada di meja makan dapur. Sepiring sandwich dengan semangkuk kecil salad menyambutnya yang baru saja bangun tidur dan mencoba mencari sesuatu di dapur untuk sarapan.

‘Gue sibuk hari ini. Makan tuh sisaan sandwich sama salad gue sarapan tadi.’

Cih. Decihan lolos sempurna dari Cia setelah membaca memo itu. Dengan senyuman kecil, Cia duduk dan mulai menyantap sandwich, yang Declan bilang hanyalah sisa. Seperti yang sudah diduga, sandwich buatan Declan terasa sangat enak. Cia bahkan sudah menghabiskan tiga potong sandwich yang pria itu sisakan untukku.

Sebagai model, Cia harus menjaga bentuk tubuhnya agar tetap baik. Dan diet seperti yang dia ceritakan pada Declan itu sudah dilakukan sejak berada di Korea. Sepuluh tahun dengan pola makan tanpa nasi membuatnya tidak masalah jika hanya ada buah-buahan di rumah. Tapi, jika itu bersangkutan dengan nasi uduk, Cia jelas tidak bisa menolak. Sebanyak apa pun lemak yang akan menumpuk dari nasi itu, gadis itu tidak peduli dan hanya ingin makan sepuasnya. Lagipula, dia kan bisa langsung olahraga setelahnya.

Cia tersenyum setelah melihat piring dan mangkuk yang kosong. Semua isinya sudah berpindah di perutna yang kenyang. Menjadi istri Declan sepertinya akan menguntungkan. Dia tidak perlu bersusah payah mencari makanan setiap hari hanya untuk menjadi sehat. Declan sepertinya juga pria yang menyukai hidup sehat. Lihat saja bagaimana tubuhnya terbentuk dengan baik.

Declan suka memasak. Satu minggu menjadi istrinya, Cia bahkan tidak melakukan apa pun dengan masakan. Pria itu mengerti dengan selera makanan yang Cia inginkan setelah mendengar cerita tentang pola makannya. Meski mengomel, tapi Declan langsung mengganti pakaiannya untuk membuat sesuatu untuk sang istri yang merengek kelaparan. Bukankah panggilan Jota sangat pas untuknya? Ah, Cia bahkan kembali tersenyum hanya karena mengingat wajah kesal Declan saat dipanggil Jota.

Tunggu dulu! Apa aku sekarang mulai menyukai kehidupan bersama Declan? Aku pasti gila.

***

“Mau sampe jam berapa semua kru harus nunggu satu orang untuk nyelesaiin beberapa scenes untuk episode kali ini, ha?! Bukannya udah diinformasiin tempat dan waktu kita mulai syuting?”

Oh, astaga. Suasana hati Declan benar-benar menjadi buruk karena keterlambatan pemeran utama yang bekerja sama dengan proyek drama pendek yang Langit produseri dan dia sutradarai. Semua scenes pendukung sudah selesai dilakukan. Tapi tentu saja syuting tidak bisa dihentikan sedang harusnya, segala adegan sudah selesai untuk penayangan nanti malam di akun youtube resmi milik televisi keluarga Prasiarkana.

Keterlambatan yang paling bisa Declan tolerir hanyalah jika Langit pelakunya. Melihat betapa lelahnya para kru dan beberapa pemain yang masih harus keluar disebagian adegan yang terbengkalai, membuat pria itu semakin naik darah. Dia tidak suka melihat timnya kelelahan tanpa berkegiatan yang produktif.

“Mana Iyan?” Declan kembali berteriak untuk mencari salah satu kru yang bertugas mencari pemeran utama untuk drama series ini.

Segera seseorang dengan tubuh sedikit gemuk mendekat sambil menunduk. Langit bahkan tidak bisa berkata apa-apa jika Declan sudah tidak bisa mengontrol nada suara seperti ini.

“Gue udah bilang buat ganti pemeran utamanya, kan? Itu cewek sok ngartis. Nyepelein buat projek yang cuma buat youtube kata dia. Dipikir karna cuma buat youtube kita bisa serampangan buat adegan? Sekarang dia malah enak-enakan terlambat saat semua orang udah ada di sini dan nyelesaiin adegan mereka? Lo kenapa gak pernah dengerin gue sih, Yan?”

“Maaf, Mas. Gue kira dia bisa jaga komitmen karena waktu itu dia udah tanda tangan perjanjian buat jadi pemeran utama buat kita.”

“Ini kesekian kalinya dia terlambat. Baru tiga episode dan kita harus ngulur waktu tayang di youtube selalu karena scene dia belum kelar di edit. Dan itu karna dia terus-terusan terlambat kayak gini.”

Cia pasti tidak akan suka dengannya yang terlalu tempramen jika sudah berada di tempat kerja. Tapi beginilah dia dengan pekerjaannya. Semua waktu dan tenaga para kru adalah tanggung jawabnya. Kesalahan kecil itu memang salahnya dan Declan harus segera mencari solusi.

“Jadi kita gimana, Mas?” Iyan terlihat tak berday. Harusnya Declan tidak melampiaskan kekesalan pada Iyan. Krunya pasti juga sudah berusaha untuk menghubungi gadis yang menjadi pemeran utama itu.

“Tunggu dia dateng,” suara Declan menurun. “Setelahnya biar gue yang ngurusin. Lo siapin pemeran pengganti buat artis satu ini.”

Dilihat Iyan yang sepertinya tidak setuju dengan usulan itu karena mengkhawatirkan banyak hal. Surat perjanjian itu salah satunya.

“Kita bakal kena pinalti kalo ngeluarin dia begitu aja, Mas.” Iyan pasti juga tidak ingin Declan mengambil resiko sebesar itu.

“Gak usah lo pikirin soal pinalti. Gue bakal nanggung semuanya.” Dan keputusan pria itu sudah bulat. Dilihatnya Langit yang hanya mengendikkan bahu. Declan tau Langit menyerahkan seluruh keputusan padanya.

***

“Jemput gue.”

Baiklah. Haruskah Cia menambah kekacauan ini dengan kalimatnya itu? Declan menghela napas lelah sambil memijit pangkal hidung. “Gue sibuk, I. Pulang bareng sama Mbak Remi aja, lah.”

Dan Declan terpaksa menolak karena harus bertemu dengan pemeran utama itu. Jika boleh jujur, dia akan dengan senang hati menjemput Cia di tempatnya kerja. Tapi tidak dengan keadaan seperti ini. Declan tidak boleh melepas tanggung jawabnya begitu saja.

“Ih, pokoknya jemput. Gue gak mau tau, lo ha-,”

Declan lebih dulu memutuskan sambungan telepon sebelum sempat mendengar apa yang Cia katakan selanjutnya. Sebab pintu ruangan terbuka dan menampilkan gadis yang dipilih Iyan untuk menjadi pemeran utama di drama series ini. Declan harus segera menyelesaikan permasalahan dengan artis pendatang baru super sombong di depanku saat ini.

Sebenarnya, sejak Iyan mengenalkannya sebagai pemeran utama, Declan sudah tidak setuju. Tapi seperti yang sudah Iyan jelaskan, dia terlanjur menandatangani surat perjanjian. Declan tau posisi Iyan. Awalnya pria itu menerima. Tapi seperti yang sudah dia kira, artis pendatang baru itu benar-benar sombong dan menganggap remeh projek kecil seperti ini. Declan sudah mendengarnya dari teman-teman sutradara lainnya. Meski cantik, pria itu tidak bisa bekerja dengan manusia yang tidak punya semangat berkomitmen dengan pekerjaannya dengan baik. Dia sudah termasuk ke dalam black list-nya.

Baiklah! Mari putuskan kerjasama ini dengan segera.

***

“Yakin mau tetep di sini, Ci?” Mbak Remi melihat dengan wajah berkerut memastikan.

“Iya, Mbak. Mbak sama Qila pulang aja. Gak papa kok.” Cia sudah mendorong Mbak Remi untuk kesekian kalinya.

“Tapi ini udah malem lho, Ci. Dan ini jauh. Suami kamu udah bisa dihubungin belum?” Dan jiwa ke-ibuan Mbak Remi masih membuatnya bertahan karena mengkhawatirkan Cia.

“Masih belum bisa sih, mbak. Tapi yakin deh dia bakal jemput aku di sini,” ujar Cia dengan senyuman menenangkan Mbak Remi dan Qila yang masih belum memberikan tasnya yang dipegang Qila.

Mbak Remi menarik napas dalam dan sepertinya mulai menyerah untuk membujuk Cia pulang bersamanya. “Kasihin deh tasnya, La,” suruh Mbak Remi pada Qila yang langsung menurut.

“Hati-hati ya, Mbak. Villa ini cuma ada penjaganya doang. Mana yang jaga udah nenek sama kakek. Mereka gak bakal bolehin lo masuk kalo gak kasih reason yang jelas. Mereka juga udah pikun. Mana lo udah gak pake make-up lagi. Dan ini udah malem, mata mereka pasti udah rabun. Gak bakal kenal sama lo pasti.”

Cia mendengus setelah mendengar omelan panjang dari Qila yang sekarang sedang menarik napasnya satu-satu. “Makasih atas pemberitahuannya, Qila. Gue gak papa nunggu di depan sini aja. Sekarang, Mbak Remi sama Qila pulang aja,” suruh Cia kembali mendorong mereka.

“Ya, udah. Mbak sama Qila pulang dulu. Semua kru juga udah pada pulang ya, Ci. Handphone jangan sampe mati biar enak kalo mau ngubungin Mbak atau Qila.” Kali ini Mbak Remi yang memberikan nasihat.

Jika Daven juga ikut dipemotretan kali ini, omelannya pasti akan lebih panjang dari pada dua wanita di hadapannya sekarang. Sahabatnya itu mungkin akan memaksa untuk tinggal dan menunggu sampai Declan datang. Cia mengangguk untuk menjawab nasihat Mbak Remi dengan wajah yang Cia yakin sangat membuat kesal. Lihat saja wajah berkerut Mbak Remi dan Qila.

“Daaaahh.” Cia melambaikan tangan saat mobil yang ditumpangi mbak Remi, Qila dan beberapa kru lainnya melintas di depannya untuk kembali pulang.

Suasana sepi langsung menusuk saat Cia benar-benar sendirian di depan villa yang tadi pakainya bersama model lain untuk pemotretan. Cia baru tau bahwa di Jakarta ada tempat yang masih asri dan bisa dibilang pedesaan sejuk seperti ini. Meski memang, jarak tempuhnya cukup jauh. Dan alasan dia masih di sini adalah untuk menunggu suaminya yang dia yakini akan menjemput di tempat kerjanya ini.

Setelah satu minggu ini menjadi sepasang suami istri, keduanya menjadi lebih sering melakukan pekerjaan bersama-sama. Banyak majalah dan media online yang meminta mereka untuk wawancara dan pemotretan. Seperti yang Mbak Remi sudah ramalkan. Karena sama-sama sibuk, keduanya sering pergi dan pulang dengan mobil sendiri-sendiri. Yang membuat jengkel adalah tersebarnya gosip yang mengatakan bahwa pernikahan mereka hanyalah permainan dari keluarga. Karena tidak ingin harta kekayaan berpindah ke tangan orang lain, dua keluarga konglomerat sengaja menikahkan anak mereka dengan jaminan keuntungan besar untuk masing-masing bisnis keluarga.

Itulah yang mereka gosipkan hanya karena keduanya tidak pernah satu mobil saat datang ataupun pergi bekerja. Dan Cia benci itu. Meski memang pernikahan ini bukanlah murni keinganan mereka berdua yang benar-benar saling mencintai, tapi keluarga mereka bukanlah keluarga konglomerat seperti apa yang berita itu sebutkan. Akan Cia buktikan bahwa pernikahan ini bukanlah rencana picik dari keluarga. Cia yakin, meski terlihat sepi, di sekitarnya saat ini pasti sedang ada beberapa paparazzi yang menunggu bukti asumsi mereka benar soal pernikahan mereka.

Cia tidak akan membiarkan itu terjadi. Selain keluarganya, keluarga Reuven juga tidak boleh tercoreng. Mereka adalah keluarga yang sangat baik, bahkan menerimanya dengan tangan terbuka yang secara tiba-tiba menjadi keluarga baru mereka.

Dan sudah dua jam Cia menunggu sang suami yang belum juga datang. Cia mendengus saat melihat ponselnya yang ternyata sudah tidak menyala karena kehabisan daya. Mungkin karena terlalu sering dia gunakan untuk menelpon Declan yang tidak mengangkat. Sepertinya ucapan seorang ibu memang akan selalu menjadi kenyataan. Buktinya, Mbak Remi mungkin belum sampai ke rumah. Tapi ponselnya benar-benar sudah mati. Dan sial, Cia tidak membawa power bank untuk berjaga-jaga. Sempurna sekali, Cia.

Cia berjongkok dengan wajah kelelahan. Berkali-kali menarik napas dalam dan menghempaskan panjang. Declan harusnya sudah menjemput sekarang. Dia harusnya datang meski tak ingin atau benar-benar sibuk. Apa sekarang Cia harus mulai berpikir untuk mencari alasan agar penjaga villa memperbolehkannya masuk dan menginap? Sepertinya, mungkin memang harus.

***

Declan meraih ponselnya yang sejak tadi bergetar. Pria itu sedikit terkejut saat melihat nama Mbak Remi tertera di sana.

“Declan kamu di mana?” Suara mbak Remi terdengar khawatir.

“Di lokasi syuting, Mbak. Kenapa?” jawab Declan dengan pertanyaan lain.

“Cia udah ngubungin kamu gak? Dia gak mau diajak pulang tadi, katanya mau nungguin kamu jemput. Tapi mbak gak bisa ngubungin dia sampe sekarang. Cia sama kamu, kan?”

Astaga, benarkah yang dikatakan mbak Remi? Dilihatnya jam tangan dan sudah berlalu dua jam sejak Cia menelpon tadi. Cia serius dengan ucapannya.

“Kirimi alamat lokasi Ivy sekarang, Mbak.” Declan tidak bisa memikirkan apa pun selain Cia. Segera dicarinya Langit setelah memutuskan telepon mbak Remi.

“Mau ke mana, De?” tanya Langit kebingungan dengan ekspresi wajah Declan yang terlihat panik saat meminta kunci mobil.

“Jemput istri gue. Tolong pantau pengeditan ya, Lang. Gue udah biarin istri gue sendirian.”

Tanpa lagi menunggu balasan dari Langit, Declan segera berlari dan melajukan mobil tanpa mempedulikan seberapa kencang dia menekan gas. Pria itu bahkan tak lagi acuh dengan kemampuan menyetirnya. Kekhawatiran pada Ivy benar-benar berada di puncaknya sekarang. Berkali-kali Declan mencoba menelepon sang istri, tapi tidak ada balasan. Selang beberapa detik, nomornya malah tidak aktif. Declan tidak bisa memaafkan dirinya sendiri jika terjadi sesuatu pada Cia. Sejak saat ini, Declan berjanji akan selalu mendengarkan apa yang Cia katakan. Dia tidak ingin menyesali sesuatu yang tidak bisa dia lakukan. Terlebih itu keinginan dari Cia.

***

Sebuah pendaran cahaya dari lampu mobil dihelaan napas yang kesekian kali, membuat Cia langsung menoleh. Wajahnya tak bisa menyembunyikan keceriaan karena mengetahui siapa pemilik mobil itu. Segera aku berdiri dengan senyuman. Dan seseorang yang turun dari mobil dengan tergesa, membuat Cia bersorak di dalam hati. Senyumannya pasti menjadi lebih lebar saat ini. Dengan napas tersengal, pria itu melihatnya bersama sorot kelegaan.

Yang tanpa Cia sadari, pria itupun kini menghembus lega saat senyuman dari wajah cantik sang istri menjadi yang pertama menyambutnya. Ivyku tidak apa-apa. Syukurlah dia baik-baik saja.

“Jota, lama banget jemputnya. Gue udah dua jam nunggu lo di sini,” ujar gadis itu pura-pura kesal.

Declan hanya diam dan membuka jaket yang dipakainya sambil berjalan mendekat. Tanpa membalas ucapan sang istri, Declan langsung memasangkan jaketnya pada Cia. “Lo sinting? Dua jam di tempat dingin dengan baju pendek kayak gini. Lo pikir, lo sekebal apa sama penyakit, ha? Gak lucu, I.” Declan benar-benar tidak menyukai kebiasaan Cia yang senang memakai pakaian yang menempel dengan ketat di tubuh gadis itu.

Cia tersenyum, melihat Declan yang mengancingkan jaket saat sudah terpasang di tubuhnya. “Gue gak bakal sakit karena yakin lo pasti jemput gue,” ujar Cia dengan nada ceria.

Pria itu meliriknya sekilas. “Lo pikir gue supir lo?” tanyanya, pelan.

Cia tergelak tak bisa ditahan. Membuat hati Declan mencelos karena begitu menyukai tawa gadis yang sekarang mendekat ke arahnya. “Lo kan temen gue. Temen gak bakal biarin satu sama lain kesusahan,” bisik Cia, tersenyum kemudian.

Dilihatnya sang suami yang sekarang menatap penuh ke arahnya. Sebuah senyuman miring tercipta dari pria yang punya tulang pipi terangkat itu. Cia terkekeh melihat Declan yang kini menunduk. Satu lagi yang Cia tau tentang Declan, selain ramah pada banyak orang, dia juga pria yang tidak bisa marah.

“Ayo, pulang,” ajak Declan yang langsung dikabulkan.

Dan sudah Cia putuskan, dia akan menjadi teman Declan untuk seterusnya. Tanpa menyadari, kalimatnya barusan sudah berhasil meruntuhkan segala harapan-harapan yang sempat terangkai sempurna di benak pria yang kini berusaha untuk berdiri tegak meski sudah lemas kehilangan seimbang.

Memang apa yang Declan harapkan? Berharap Cia mengakui sebagai suami? Haha, khayalanmu terlampau tinggi saudara, Declan. Dia kecewa dan dia tau jika lelaki harusnya tidak boleh merasa seperti ini. Tapi sesakan yang menciptakan rasa sakit tak nyaman sedang benar-benar memenuhinya sekarang.

Oh, ayolah! Aku tau ini benar-benar menyakitkan. Tapi haruskah kuperlihatkan wajah kecewaku di depan Ivy yang sekarang sedang tersenyum sangat manis? But, after all this time, we are only a friend?

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel