A NICKNAME FROM CIA
Declan menyapa semua orang yang ada di ruang wardrobe dengan senyuman ramah. Sesekali dijahilinya para staf yang sedang menyiapkan barang-barang yang akan digunakan untuk pemotretan.
Declan memang tak suka tempat ramai. Tapi dia juga tidak suka dengan suasana canggung yang diciptakan karena interaksi yang tidak baik dari para staf dan dirinya sebagai rekan kerja. Lagi pula, tak ada salahnya saling menyapa. Mengobrol sedikit tentang apa pun, seolah sudah mengenal lama. Toh suatu saat nanti, mungkin saja mereka akan kembali bertemu diprojek lainnya. Bukankah itu akan lebih memudahkan?
Sedang dengusan kecil berkali-kali terhempas dari gadis yang sekarang sedang duduk di depan kaca untuk didandani. Ah, menyebalkan. Cia seperti ini lagi. Seperti beberapa waktu lalu yang memperhatikan Declan dengan begitu lekat. Tak sedikitpun dari gerak pria luput dipandangannya. Declan benar-benar seperti pria yang diidamkan banyak wanita. Dia begitu hangat. Menyapa dengan senyuman dan bercakap seperti sudah mengenal lama orang-orang di sekitarnya. Cia bahkan sempat terkejut dengan interaksinya bersama Qila dan Mbak Remi yang baru bertemu pertama kali saat resepsi pernikahan gila itu. Mereka tampak akrab dan dengan santai saling mengobrol.
“Syukur deh kamu cepet dateng, De,” ujar mbak Remi setelah Declan duduk di dekatnya.
Declan terkekeh. “Takut Ivy gak bisa dipawangi ya, Mbak?” tanyanya yang menciptakan tawa dari menejer Cia itu.
“Cia tuh orangnya gak bisa basa-basi, De. Mbak takutnya dia malah memperburuk keadaan sebelum kalian sempet nyelesaiin kerjaan ini.”
“Tenang aja, Mbak. Ivy masih menjadi gadis manis kok tadi,” ujar pria itu mengusap lengan mbak Remi yang hanya tersenyum.
“Ya manislah, di depan suami. Bang De gak tau aja mbak Ci gimana hari-harinya.” Qila, asisten sekaligus make-up artist pribadi Cia, mencebik tak setuju dengan ucapan Declan.
“Tinggal sama-samanya baru tadi malem, La. Jadi belum keliatan banget belangnya.”
“Tunggu aja sampe besok ya, Bang De. Siap-siap dicakar setiap hari.”
Declan tertawa sekilas. Bolehkah dia jujur mengatakan bahwa sangat menunggu Cia yang bisa meluapkan segala emosi padanya? Terdengar gila, memang. Tapi Declan sangat mengharapkan itu.
“Sangking gak bisanya dia bersosialisasi dengan baik, Cia bahkan selalu minta ruang wardrobe sendiri.” Mbak Remi melanjutkan cerita setelah Qila pergi. “Mbak sempet kerepotan, De. Tapi memang, banyak model yang gak suka sama Cia karena iri. Dan Mbak semampunya membantu, meskipun kamu taukan, gak semudah itu.” Mbak Remi tersenyum.
Ah, Declan baru tau jika Ivy benar-benar buruk dalam berinteraksi dengan orang lain. Bahkan lebih parah daripada dirinya. Declan memang melihatnya tak berbicara dengan siapapun saat fashion show waktu itu. Dan teman modelnya yang lain juga terlihat enggan mendekat.
“Mbak berharap, setelah menikah sama kamu, dia bisa jadi lebih terbuka dengan orang lain. Mbak memang ragu dengan pernikahan kalian, selalu dekat dengan Cia dan Mbak gak tau siapa kamu, itu aneh, De. Tapi Mbak yakin, kamu bakal membawa dampak positif untuk Cia nantinya.”
Baiklah! Sepertinya Declan harus berhati-hati agar keanehan dipernikahan ini tidak terendus orang banyak setelah Mbak Remi. Cia akan marah dan menyangka yang tidak-tidak jika tau Mbak Remi curiga dengan pernikahan mereka. Untung saja Daven datang dan bisa dijadikan pengalihan perhatian di ruang wardrobe itu. Hari ini, Daven menjadi potografer yang akan bekerjasama denganya dan Cia. Dari yang Declan dengar, Daven adalah sahabat baik Cia yang dengan setia bersama gadis itu satu tahun ini setelah berada di Indonesia. Declan bersyukur Cia di kelilingi oleh orang-orang baik seperti Mbak Remi, Qila dan Daven. Dia dijaga dan tidak kesepian.
Kedatangan balita mungil yang tidak lain anak dari mbak Remi membuat senyuman Declan melebar dengan tulus. Sola namanya. Mbak Remi dan suami sangat pandai memilih nama. Lihat balita montok yang cantik itu. Semua orang pasti menyukainya.
Jika nanti aku dan Ivy punya anak, harus kuberi nama apa mereka?
Astaga! Declan menggelengkan kepala kuat sesaat sadar bahwa kemungkinan dia bisa menyentuh Cia sangatlah kecil. Bagaimana mungkin dia bisa memikirkan anak sedang pernikahan ini bahkan berjalan tidak sebagaimana mestinya?
Cia yang bisa melihat dengan jelas interaksi sang suami dengan anak Mbak Remi dari cermin membuatnya terus dengan kurang ajar melirik ke arah pria itu. Ada sesuatu yang tiba-tiba membuat hatinya mendingin. Tak dia sangka bahwa Declan adalah pria yang hangat.
“Kalo punya anak pasti enak banget lo, Mbak Ci. Bang De pinter gitu narik perhatian anak kecil. Anak lo berdua bakal gimana, ya? Bapak emaknya visual semua begini,” bisik Qila di sela membubuhi make-up di wajah Cia.
“Visual-visual. Lo kira boyband Korea?”
Tak menanggapi kekesalan Cia, Qila hanya terkekeh dan menyelesaikan pekerjaannya dengan segera.
***
“Last shoot,” ujar Daven setelah aku dan Declan beberapa kali bergaya.
Keduanya bernapas lega tanpa diketahui satu sama lain. Declan pun Cia benar-benar punya kegugupan yang mereka sendiri simpan. Terlalu gengsi dan tak ingin menunjukkan. Semakin di akhir, gaya yang harus mereka lakukan malah semakin intens.
“Gaya seperti pasangan, ya? Kayak kalian berpelukan atau Cia cium pipi Declan?”
“Setuju banget. Pasti bakal bagus hasilnya!”
Belum sempat Declan ataupun Cia terhenyak karena usulan Daven, Mbak Cahya, penanggung jawab proses pemotretan dan wawancara singkat tadi sudah berseru riang menyetujui. Dilihatnya dengan alis terangkat kesal Daven, Mbak Remi dan Qila yang sudah menahan tawa. Mereka pasti sudah merencanakan ini dengan baik.
Declan juga tidak bisa melakukan apapun selain menghela pasrah. Bagaimanapun sebagai suami yang baik, Declan harus membantu Cia untuk tetap tenang.
“I,” panggilan itu membuat Cia menoleh. “Its okhay. Anggep aja lo lagi pemotretan sama model cowok lain.”
Declan bahkan tidak bisa membayangkan Cia bergaya intim dengan model pria. Dia hanya menenangkan sang istri. Sedangkan Cia sempat sangsi, bagaimana bisa dia malah langsung menunduk luluh setelah mendengar ucapan Declan?
“Oke, siap gayanya?” Daven kembali berteriak di tempat dia yang sudah mengangkat kameranya, menunggu Cia dan Declan memasang gaya.
“Gu- gue harus gimana?” Tergagap karena melihat melihat wajah Declan di jarak yang sedekat ini adalah kebrengsekan seorang Acacia Ivy. Iya, itu aku!
Declan tampak berbeda dengan rambut yang terangkat dan memperlihatkan dahinya membuat pria itu semakin terlihat macho. Eye shadow yang sempat dibubuhkan sedikit membuat mata Declan menjadi lebih tajam. Pria itu terlihat berbeda dengan make-up diwajahnya.
“Just kiss my cheek,” jawab pria itu mendekatkan diri pada sang istri yang masih terpaku. “As natural as you can,” sambungnya dengan sorot menyemangati.
Berbanding terbalik dengan Cia yang tidak terlalu menyukai kedekatan mereka, meski membuatnya berdebar, tapi Declan benar-benar menyukai jarak mereka saat ini. Mata Cia yang tidak memiliki kelopak, terlihat sangat menawan dengan ekor mata yang semakin tajam. Kulit putihnya menonjolkan setiap warna make-up yang Qila bubuhkan di wajahnya. Apa Declan berlebihan? Apa dia sudah sering mengatakannya? Cia selalu bersinar di mata pria itu.
Perlahan, Cia mendekat ke arah Declan yang sepertinya sudah siap dengan gaya apapun yang akan mereka lakukan kali ini.
“Pegang sisi wajah Declan yang lain, Ci. Cium pipinya dari arah samping aja,” ujar Daven mengarahkan gaya.
Baiklah! Cia harusnya sudah terbiasa melakukan pemotretan dengan banyak model pria. Lagi pula, Declan sudah menjadi suaminya. Akan sangat mencurigakan jika dia tidak bisa dengan natural hanya karena akan mencium pipi suaminya sendiri. Dengan segala tekad, Cia melakukan gaya seperti apa yang Daven arahkan.
“Good job, Ivy. Just do it,” ujar pria itu dengan nada menyemangati dan mulai tersenyum untuk bergaya.
Lalu secara spontas bibir Cia terangkat, ikut tersenyum dan mulai mendekatkan wajahnya ke arah sang suami. Entah bagaimana ekspresi wajah Declan, tapi sepertinya hasil foto mereka terlihat sempurna. Lihat bagaimana wajah bahagia dari Daven, Mbak Cahya, Mbak Remi juga Qila di depan sana. Jelas menunjukkan betapa menariknya yang mereka lihat saat ini di monitor laptop.
“You did great,” ucap pria itu menepuk pelan lengan Cia sambil berlalu mendekat ke arah orang-orang yang sekarang menyambutnya dengan begitu heboh.
Cia menghembuskan napas yang tiba-tiba saja tertahan. Declan berkali-kali mengatakan kalimat penyemangat itu sejak mereka sampai di gedung majalah ini. Pria itu terus mengatakan ‘You did great’, ‘Good job’, ‘Its okhay. You did your best’ padanya saat Cia bahkan hanya melakukan hal kecil beberapa jam ini. Declan bahkan juga mengatakan kalimat itu setiap mereka menyelesaikan satu shoot untuk pemotretan. Apa itu kebiasaannya pada semua orang? Cia mungkin harus menanyakan langsung padanya.
Lalu hari ini berjalan dengan baik. Wawancara yang lancar dan Cia bisa menjawab semua pertanyaan Mbak Cahya dengan baik tanpa mencurigakan.
***
“Mbok Yem,” teriak pria itu saat keduanya masuk ke sebuah warung gado-gado yang ada di dekat gedung majalah itu.
Mengejutkan bagi Cia, karena Declan bahkan mengenali dan menyapa dengan ramah si penjual gado-gado yang sekarang sedang memeluknya karena rindu dan sudah lama tidak bertemu. Dengan tanpa canggung, pria itu membalas dengan wajah penuh keramahan. Dia hangat dengan semua orang. Benarkah begitu? Lalu padanya?
“Istri saya, Mbok,” ujarnya memperkenalkan Cia yang sedikit terperanjat karena terlalu lama melamun. Declan nampak tersenyum bangga sambil melihat ke arahnya.
Cia hanya mengikuti langkah Declan yang mengajaknya ke warung gado-gado yang dia bilang sangat enak. Sepertinya, dulu Declan sering bekerja di tempat ini sehingga mengetahui banyak hal di daerah gedung majalah.
“ Owalah, ayu ngene. Mas De pinter nyari istri iki,” balas penjual itu dengan nada khas medoknya.
“Cantik ya, Mbok? Mbok iri dong istriku cantik begini.” Declan bertanya dengan nada jahil.
“Iri banget. Anak Mbok gak bakal dapet ini yang begini,” ujar penjual itu melihat Cia dengan senyuman ramah yang sebisa mungkin dibalas oleh gadis itu. “ Cah ayu, namanya siapa?”
Cia menyambut uluran tangan penjual gado-gado yang sudah cukup berumur itu. “Cia, Mbok. Istrinya Declan.” Oh ya Tuhan. Rasanya benar-benar canggung memperkenalkan dirinya sebagai istri seorang Declan. Perkenalan spontan yang membuat dirinya sendiri bahkan terkejut.
***
“Lo kenal emang sama itu Mbok-Mbok penjual gado-gado?” tanya Cia saat mereka berjalan menuju parkiran.
“Kenal, lah. Dulu gue sering nganterin kakak ipar gue pemotretan di sini. Tapi setahunan ini gak pernah lagi ke sini. Makanya pas ada kesempatan, gue langsung nyapa Mbok Yem.”
Seperti yang sudah Cia duga. Pria itu ternyata benar sering datang ke gedung majalah ini.
“Berapa banyak penjual makanan yang lo kenal, sih?” Cia bisa melihat alis pria itu bergerak tak mengerti. “Bude penjual nasi uduk di samping gedung televisi waktu fashion show itu lo juga kenal.”
“Lo di sana juga?” Declan sengaja bertanya untuk melihat reaksi Cia. Benar saja, gadis itu hanya diam dan berusaha tak mengambil tatap. Declan terkekeh singkat. “Gue juga kenal sama tukang parkiran dibeberapa gedung majalah dan televisi. Bocah pedagang asongan di banyak terminal gue juga kenal. Banyak yang kenal gue mah.”
Dia melirik sang istri dengan wajah geli. Cia akhirnya ikut tertawa karena caranya yang benar-benar percaya diri dan kocak.
“Hah!” Cia menghempaskan napas lega. “The weather, Jooota.” Dipejamkannya mata untuk menikmati hembusan angin sore ini. “This convo, Jooota.” Cia menoleh ke arah Declan yang menatapnya bingung. Sudut bibir gadis itu terangkat. “You are such a jota person with Jota behaviour. Then, can I call you Jota?” Wajah pria itu nampak berkerut belum mengerti. Cia tertawa lepas melihat wajah bingungnya. “Jota dalam bahasa Korea artinya menyenangkan, menyegarkan, baik, dan beberapa hal positif lainnya,” ujar gadis itu berdiri di belakang mobil milik Declan. “Lo cocok sama panggilan itu. Jadi sekarang, gue panggil lo Jota.”
“Kan gue punya nama. Declan Alva Reuven. Mama sama Daddy motong kebo lho waktu syukuran gue sama dua kembaran gue lainnya,” protesnya tak terima.
Lagi-lagi Cia tertawa. “Rada geli manggil nama lo. Well, suka gak suka, gue tetep bakal manggil lo Jota.”
Declan menghembuskan napas sambil terus melihat Cia dengan tatapan tak terima, tapi juga tak bisa melakukan apa-apa. Tanpa Cia tau, Declan sebenarnya sangat menyukai panggilan baru darinya. Menyenangkan? Bukankah itu yang Declan harapkan bisa Cia rasakan saat dekat dengannya?
“Serah deh, anak alay. Kelamaan di Korea lo,” sungut Declan berjalan mendekati pintu mobil dan langsung masuk untuk menutupi bibirnya yang melengkung bahagia. Sedang Cia masih tersenyum dan berpikir jika akrab dengan Declan sepertinya bukan hal yang buruk. “Mau gue tinggal di sini lo?” teriaknya mengeluarkan kepala di jendela mobil yang kacanya terbuka.
“Gue ikut pulang, Jota,” jawab Cia bergegas membuka pintu mobil.
Cia melihat sang suami yang hanya memutar malas matanya. Alih-alih kesal, Cia malah menikmati wajah jutek pria itu. Declan masih memberengut saat dirinya masuk ke dalam mobil. Pria itu masih berusaha menghidupkan mobil yang sebenarnya tidak terlalu sulit.
“Lo beneran bisa bawa mobilkan, Jota?” Cia langsung membiasakan diri dengan panggilan itu.
Dia melirik Cia sekilas. Gadis itu baru ingat bahwa Declan sempat merusak mobil sepupunya saat tiba-tiba saja menghampiri Tobias untuk meminjam mobil pria itu. Dan Tobias juga bercerita bahwa Declan tidak terlalu mahir saat memakai mobil.
“Ngeledek gue lo,” sungutnya setelah bisa mobil berbunyi dan dia berhasil menyalakannya.
“Gue cuma inget omongan bang Tobi kalo lo gak pinter-pinter banget naik mobil. Takutnya sekarang lo juga gi-“
Brak! Belum sempat Cia menyelesaikan kalimat, suara kuat dari belakang mobil yang sepertinya tertabrak terdengar kuat. Manik gadis itu membesar sempurna. Dilihatnya Declan yang sudah menghempaskan napas kuat dengan menunduk kesal.
“Jota!”
“Iya, Ivy. Gue tau gue ngerusakin mobil gue, lagi.”
Cia menyipitkan mata dengan mulut terbuka setelah mendengar kata lagi dari Declan yang jelas bermakna bahwa dia sudah sering merusak mobilnya dengan menabrak tak jelas seperti ini. “Lo bisa dapet licence gara-gara nyogok, ya?”
“Waktu itu gue baik-baik aja, I. Sekarang kemampuan gue ngendarain mobil berkurang karena keseringan disetirin Langit.”
Cia hanya bisa menggeleng dan mengikutinya keluar dari mobil untuk memeriksa bagian mana yang rusak. Bagian belakang mobil penyok karena lagi-lagi menabrak tiang parkir. Dilihatnya sang suami dengan wajah tak percaya. “Biar gue aja yang bawa mobil. Bisa-bisa kita mati berdua kalo lo yang nyetirin.” Cia langsung memutuskan dan berjalan memutar untuk duduk di belakang kemudi.
“Gue gak bisa keluar dan masuk parkiran, I. Kalo nyetir mah bisa.” Declan jelas beralasan.
“Buruan masuk atau lo yang beneran gue tinggalin di sini!” teriak Cia setelah membuka pintu mobil.
Pria itu menghela kalah. Lalu hanya mengikuti sang istri dan duduk di kursi penumpang dengan wajah masih tak terima dengan kejadian yang dia buat sendiri.
***