ADA-ADA SAJA YANG TERJADI
Declan tidak tahu harus bagaimana menenangkan dirinya sendiri sekarang.
Pemotretan outdoor yang menjadi pekerjaannya bersama Cia sekarang benar-benar di luar perkiraan. Dan kenapa lokasinya harus terletak jauh dari perkotaan? Ini bukan seperti Declan yang biasa sangat menyukai suasana pedesaan yang asri dan sangat sejuk. Karena sekarang pria itu sedang tidak terlalu bisa fokus dengan yang ada di sekelilingnya.
Keringat dingin menggumpal menjadi titik-titik sebesar jagung di pelipis dan dahi. Berkali-kali diusapnya, tapi malah menjalar di bagian hidung dan atas bibir. Belum lagi dengan bulu kuduk yang terlalu sering berdiri tanpa bisa dicegah.
Pria itu melihat ke sekeliling. Cia belum juga keluar dari rumah kecil yang menjadi tempat istirahat untuk semua kru. Dia pasti belum selesai didandani. Declan juga belum melihat mbak Remi di manapun. Declan berdiri dan mencoba mencari siapa pun yang bisa diajak bicara agar sesaat dia bisa pergi dari lokasi pemotretan ini. Semua orang terlihat sibuk sekarang.
Kursi bertulis nama Cia sedikit mencuri perhatiannya. Declan mengedar pandangan melihat langit yang begitu terang. Matahari bersinar sangat terik meski sudah sore.
“Ada apa, Mas De?” Salah satu kru menghampirinya, mungkin karena melihat pria itu berdiri.
“Ah, saya permisi sebentar ke belakang ya, Kang. Perut saya rada gak baik ini,” jawab Declan mengelus perut sekilas.
“Oh iya, Mas De. Gak papa. Pemotretannya masih sepuluh menit lagi kok.”
Syukurlah. Declan berterima kasih sebelum kru yang dipanggilnya Kang itu pergi. Segera Declan berlari ke belakang setelah lebih dulu melepas jaket yang dipakai untuk menutupi kursi yang akan Cia duduki agar tidak kepanasan.
***
“Jota.”
Declan melihat Ivy yang memasang wajah... bisakah dia mengatakan bahwa itu ekspresi khawatir? Dahinya berkerut dengan mata yang sedikit mengecil. Dia bahkan langsung berdiri saat Qila memberi isyarat pria itu berjalan ke arahnya.
“Dari mana aja, sih? Kenapa handphone-nya gak bisa dihubungi?”
Declan seperti ingin melonjak kegirangan saat disambut dengan pertanyaan penuh nada kecemasan dari Cia. Pria itu tersenyum dengan hati penuh, diusap ujung kepala Cia pelan-pelan karena tidak ingin rambut rapi gadisitu menjadi berantakan.
“Ke belakang sebentaran doang. Segitu banget rindu sama suami, I.”
Cia tersungut tak setuju. Declan hanya bisa terkekeh melihat sang istri yang hendak memukulnya. Declan yakin, Cia pasti akan mengoceh panjang jika tidak ada orang banyak sekarang. Hubungan mereka memang tidak mengalami peningkatan apapun. Declan masih menjadi pria dengan banyak otot tapi sangat pengecut hanya untuk mengakui perasaan yang sebenarnya pada Cia.
Sedang Cia, gadis itu sepertinya sudah sangat nyaman untuk berbicara dengan Declan. Tak ada kecanggungan selama mereka bercakap dan seringnya malah banyak canda yang terlontar. Tadi pagi, gadis itu bahkan menceritakan banyak hal pada Declan. Persis seperti sepasang suami dan istri yang sesungguhnya. Lagi pula, tak ada alasan untuk mereka saling membenci. Bukan salah Cia sepenuhnya jika gadis itu berpura-pura memiliki calon suami di pesta pernikahan sang mantan. Declan tidak tahu seberapa sang istri terluka dan menahan rasa amarah saat itu. Pun sebenarnya, bukan kebenaran jika Declan menyetujui ide gila Cia. Tapi Declan pun melakukannya atas keegoisan ingin memiliki gadis cantik yang sekarang tengah membenahi mahkota kecil yang ada di rambutnya.
Declan bahkan tidak memikirkan akan bagaimana perjalanan pernikahan ini saat mengucapkan ijab kabul di depan Papi Cia. Yang pasti menjadi janjinya, akan bertekad terus menjaga Cia dan tidak akan mengakhiri pernikahan ini dengan cara yang menyedihkan. Declan akan membuat Cia menjadi istrinya yang membangunkan dengan ciuman dan mengantar tidur dengan ciuman lainnya.
DECLAN MEMANG SUDAH MEMBUCIN SEJAK SAAT KEMBALI BERTEMU CIA ACARA FASHION KAK GUNA. Oh, baiklah! huruf kapital itu hanya untuk penegasan tentang seberapa bucin seorang Declan pada sang istri untuk siapa saja yang penasaran.
“Ini jaket lo?” tanya Cia memperlihatkan jaket yang Declan letakkan di atas kursinya.
Declan meraih jaket itu sambil mengangguk. “Tadi tempat kursi lo kepanasan. Takutnya pas lo dateng malah gak bisa di duduki karena kursinya nyerap panas.”
Napas Cia tertahan tanpa bisa dicegah. Kalimat impulsif yang Declan ucapkan mampu membuat gadis itu terpaku dan tidak menyangka. Benar! Cia sedang berusaha untuk tidak memberikan acuh pada jantungnya yang kini berdenyut kuat. Pria itu, pria yang sekarang menjadi suaminya, benar-benar pria yang punya perhatian di luar perkiraannya.
“Lo gak papa kan, Jota?” Ah, benar. Cia harus menanyakan itu pada Declan yang sepertinya sedang menahan rasa sakit. Cia menyadari itu sejak tadi. Pria itu melihatnya yang mendekat untuk bisa berbisik agar tak terdengar orang lain. “Muka lo pucet banget.”
Sejak sebelum dalam perjalanan menuju lokasi pemotretan, Declan sudah tidak dalam kondisi yang baik. Setelah menghabiskan entah seberapa banyak cabai dibungkusan belut yang Cia berikan tadi pagi, dia langsung mengalami diare. Dan itu benar-benar menyiksa. Declan merasakan lemas di seluruh tubuhnya. Saat sang istri mengajak makan siang, dia berasalan bahwa sedang tidak ingin makan karena kelelahan dan ingin istirahat sebelum berangkat kerja. Untung saja Cia langsung percaya dan memilih menghabiskan sendiri salad yang sudah Declan sediakan beberapa kotak di dalam lemari es. Dan bersyukurnya lagi, mereka dijemput oleh Qila dan Mbak Remi untuk ke lokasi bersama, sehingga Declan tidak perlu meminta Cia yang membawa mobil menuju lokasi pemotretan. Itu membantu membuat gadis itu tidak mengetahui keadaannya.
Ayolah, Declan. Malu dengan segala otot yang lo bentuk selama ini dong! Timbang cabe doang sampe mencret kagak ada habisnya.
“Gue baik, kok. Pengen cepet pulang aja. Tiba-tiba capek banget, I.” Declan tersenyum sewajar mungkin.
Alis gadis itu menyatu sekilas. “Kalo orang tiba-tiba capek itu biasanya kenapa-kenapa, Jota. Lo yakin oke?”
Declan suka dengan kekhawatiran yang tidak disembunyikan Cia saat ini. Menggemaskan! Senyuman miring dirasakan terangkat di salah satu sudut bibirnya. Declan mendekati sang istri yang tak mencoba menjauh. Jadi, Cia juga mulai tak takut berdekatan dengannya sekarang?
“Sekhawatir itu sama gue, I? Gimana kalo lo akui aja, udah mulai suka sama gue?”
Manik indah Cia membesar sekilas. Gadis itu mendelik ke arah Declan dengan menggigit bibir bawahnya untuk menahan amarah. Dan Declan hanya menikmati wajah kesal itu.
“Sinting!” balas Cia tanpa suara.
***
Ini sungguh menyiksa. Declan tidak lagi bisa menahan diri untuk tidak berkali-kali menghempaskan napas kuat. Perutnya semakin melilit ditambah dengan pusing dan tubuh lemas serta keringat dingin yang semakin menjadi. Jadi kapan sesi pemotretan ini berakhir?
Biasanya Declan paling bersemangat untuk bekerja bersama Cia. Declan jadi bisa memeluk, mendapat ciuman cuma-cuma, menghirup aroma tubuh Cia tanpa harus mengendus karena gadis itu sudah ada di dekatnya. Dan Declan juga bisa melihat wajah serius sang istri saat bekerja dengan sangat jelas. Tapi diare ini malah menghambat sarananya untuk membucin kepada sang istri. Semua menjadi kacau hanya karena sakit perut yang terus-terusan menyerang.
Meski sudah beberapa kali mengeluarkan, tapi rasanya malah semakin menjadi. Kenapa para kru tidak mencari lokasi yang punya keadaan wc lebih baik dari saat ini? Baiklah. Itu bukan salah mereka sepenuhnya. Jelas mereka tidak tahu dengan keadaannya sekarang.
Declan sudah tidak bisa menahan diri. Ocehan Cia bahkan sudah tidak lagi bisa terdengar dengan baik. Pria itu merasakan pusing yang hebat. Lalu semuanya menjadi gelap.
***
Declan merasakan kepalanya berdetum sesaat mencoba membuka mata. Lalu dia memilih untuk kembali memejam sekilas setelah mendapatkan silauan cahaya. Ah, Declan tahu benar ruangan kecil dengan warna putih dan bau menyengat ini. Jika tidak di rumah sakit, dia mungkin berada di puskesmas terdekat yang ada di sekitaran lokasi pemotretan sekarang. Jadi dia benar-benar berakhir dengan selang infus menjengkelkan ini? Helaan napas panjang keluar sempurna dari pernapasan pria itu. Declan tidak suka berada di rumah sakit atau semacamnya ini, sama sekali bukan tipenya.
Suara handle pintu yang bergerak membuatnya menoleh. Seseorang masuk dengan pakaian biasa. Semerbak wangi bunga menyeruak dan Declan mengenali siapa pemilik bau ini. Sang istri datang dengan wajah yang sudah polos tanpa riasan apa pun.
“I,” panggil Declan parau. Pria itu berdeham untuk lebih menjernihkan suaranya nanti.
Cia menoleh dengan sedikit terkejut. Wajah berbinarnya terlihat kemudian. “Jota!” teriaknya sambil berjalan mendekat. “Akhirnya lo siuman.” Gadis itu memberi sentuhan ringan di sepanjang lengan Declan. “Alhamdulillah.” Cia bernapas lega dengan senyuman lebar.
Aku mengulas senyuman. “Sorry, pasti berat bawa gue ke sini, ya?” Declan masih berusaha untuk melucu meski tubuhnya belum terlalu pulih.
Cia berdecak sambil menarik kursi dan duduk sangat dekat di brangkar. Declan bisa merasakan sentuhan kedua tangan Cia di lengannya yang tidak terinfus. “Pihak majalah emang harusnya bertanggung jawab sama keadaan tamu mereka. Jadi mau lo berat apa enggak, mereka tetep harus bawa lo ke klinik ini karena lo tiba-tiba pingsan.” Gadis itu mulai mengomel.
Lalu Declan bersyukur bisa segera siuman dan bisa mendengar setiap sungutan sang istri itu. “Malu banget gue sama badan segede begini. Otot gue pasti pengen sembunyi karena pemiliknya lemah begini.” Declan tak mendengar kekehan atau sanggahan dari Cia. Declan menoleh dan mendapati Cia yang ternyata hanya menunduk sambil memainkan jemari di atas lengannya. “Kenapa, I? Ada yang terjadi sebelum gue dibawa ke sini?” Gadis itu hanya menggeleng tanpa mendongak. “Apa ada yang ngapa-ngapain lo waktu gue di sini?” Cia masih menggeleng. “Terus kenapa, Ivy?” Declan mulai tak sabaran.
“Maafin gue, Jota.” Declan mengerutkan dahinya sekilas mendengar permintaan maaf itu dari Cia. “Gue salah.” Cia mendongak, melihat Declan dengan mata yang memerah. Apa gadis itu menangis? “Gue buat lo makan cabe sebanyak itu. Dan gak peka sama lo yang terus-terusan ke toilet selama kerja tadi. Maafin gue udah buat lo berakhir dengan diare dan gak bisa kerja dengan baik, Jota.” Cia kembali menunduk karena sudah menitikkan setetes airmatanya.
Airmata pertama dari Cia yang tidak disangka penyebabnya adalah Declan sendiri. Dan itu bukan pertanda baik untuk Declan. Seharusnya pria itu tidak membuat Cia sekhawatir ini. Tak ada yang bisa menahan tangan Declan untuk terjulur ke arah pipi sang istri yang basah. Cia terpaksa mendongak dengan wajah yang jelas terkejut.
“Gak papa. Biasanya juga gak sampe segini. Badan gue lagi manja aja kayaknya,” ujar Declan menenangkannya dengan senyuman.
Declan tahu dia sedang menahan isakkan. Hidungnya sama merah dengan manik pekatnya saat ini. Hampir saja Declan tertawa karena Cia terlalu menggemaskan. Tapi Declan tak akan melakukan agar Cia tidak merasa malu sudah menangis di depannya.
“Sakit mah kapan aja bisa dateng, Jota. Apalagi ada penyebabnya,” rengek Cia, manja. “Pokoknya maafin gue!” tukasnya mengusap airmata dengan telapak tangan. Cia melihat sang suami masih dengan wajah cemberut.
Declan tersenyum sambil sekilas mencubit pipinya. “Gue udah bilang gak papa. Kalo infusnya udah habis kita pulang, ya. Tapi tolongin lagi, lo yang bawa mobil.”
Cia mengangguk semangat. Wajah sedihnya terganti dengan senyuman polos. “Mbak Remi sama Qila masih di depan kok. Biar mereka aja yang nyetirin.” Cia menunjukkan gigi ratanya tanpa ragu. Declan menghela sambil mengangkat kedua alis tak percaya. Istriku selalu punya cara untuk tidak merepotkan dirinya sendiri. “Biar gue bisa jagain lo di jok belakang kalo seandainya lo butuh sesuatu.”
Deg! Declan butuh beberapa hal lain yang bisa membuat sakitnya menjadi sedikit lebih parah dari sekarang. Tak apa. Dia mengikhlaskan serela-relanya. Demi Cia yang menjaganya. Demi Cia yang akan duduk di sampingnya sambil terus mengawasi dengan penuh perhatian.
Khayalan sialan!
***
Satu minggu berlalu setelah insiden Declan yang terkena diare saat pemotretan berlangsung. Kini mereka menikmati akhir pekan tanpa gangguan apapun. Tak ada pekerjaan pun kegiatan lain di luar jadwal kerja. Declan dan Cia benar-benar akan menghabiskan waktu hanya di rumah.
Declan merebahkan tubuhnya di atas bedsofa yang selama ini dipakai untuknya tidur. Belum waktunya sarapan dan belum ada tanda-tanda sang istri sudah bangun. Pagi tenang tanpa kegiatan. Setelah jam setengah enam pagi berolahraga, kini Declan memutuskan untuk mengistirahatkan tubuhnya barang sejenak.
“AAAAAAKKHH!!!”
Sepertinya, Declan terlalu cepat mengambil kesimpulan di pagi yang bahkan belum membuat matahari beranjak dari tidurnya. Terlalu dini, tapi Declan malah sudah terlalu jauh memutuskan harinya yang, dia pikir, akan tenang. Buktinya, suara teriakkan dari Cia sukses membuat pria itu bangun dari tempatnya berbaring tanpa menunggu lagi.
“Kenapa, I?” Declan masih berdiri di depan pintu kamar yang istrinya tempati. Dia sengaja tak langsung masuk karena takut dengan pakaian yang Cia kenakan. Mengingat gadis itu suka sekali dengan pakaian minim dan ketat. Setelah malam pertama mereka tinggal bersama, Declan tak pernah seberani itu masuk ke kamar utama jika Cia berada di sana.
“Ada cicak, Jota. Gue takut!” Cia masih berteriak dari dalam dengan suara yang mulai bergetar.
Declan mencoba menggerakan handle pintu. Tapi gagal! Istrinya mengunci pintu dari arah dalam. “Bukain pintunya, I.”
“Gue takut mau gerak, Jota. Cicaknya berdua. Dia ngeroyok gue. Mereka gak mau gerak dan lagi ngeliatin gue sekarang.” Cia sudah tidak bisa menahan suara tangisannya.
“Jangan nangis, I.” Declan benar-benar tidak ingin melihat istrinya menangis lagi. “Gue cari duplikatnya dulu.”
Tak lagi menunggu, Declan bergegas mencari kunci duplikat kamar utama untuk menyelamakan sang istri yang menangis dengan suara kuat itu. Tergesa Declan membuka pintu sesaat sudah menemukan kunci. Dilihatnya Cia yang duduk meringkuk di sudut kamar dengan airmata berlinang di pipi.
“Jota, tolongin gue.” Tangisan gadis itu menjadi setelah melihat sang suami yang berdiri di ambang pintu.
Declan berjalan mendekati tempat yang Cia tunjuk, di mana dua makhluk bernama cicak sedang menatap Cia tanpa bergerak. Pria itu sedikit menyibak selimut yang menghalangi pandangannya. Diraihnya apapun yang bisa dijadikan alat untuk membunuh hewan itu. Sekali Declan memukul, tak ada perlawanan. Cicak itu bahkan berubah posisi menjadi telentang. Kepala Declan memiring kecil. Didorongnya beberapa kali kedua cicak itu. Tapi lagi-lagi tak ada gerakan yang berarti.
Tawa Declan meledak sesaat menyadari sesuatu. Cia yang melihat kini menyipit penuh tanda tanya. Apa Declan masih sempat menjahilinya di saat yang menurutnya sangat genting ini?
***
Cia bisa melihat bahwa sekarang Declan sedang mencoba menahan tawanya sekuat tenaga. Meski mata pria itu berfokus dengan gadget di tangan, tapi Cia tahu bahwa sang suami menahan diri untuk kembali mengejeknya.
“Sana lo! Ini sofa biasanya gue yang make,” usir Cia mendorong bokong Declan yang langsung berguling ke sofa lainnya dengan suara kekehan yang terdengar samar.
Dengan dengusan, Cia menjatuhkan diri di sofa. Menyantap salad yang dibawanya untuk menghilangkan rasa kesal pada Declan yang sekarang duduk menghadap sandaran sofa dengan bahu berguncang.
“Lo beneran mau ngajakin berantem gue ya, Jota?” Cia sudah tidak bisa menahan rasa kesalnya.
Tawa Declan pecah. Pria itu kini telentang dengan memegangi perutnya yang sepertinya akan kram karena gelakkan. “Cicak mati aja sampe buat heboh pagi-pagi bolong, Ivy. Ternyata lo sepenakut itu.”
“Ya tapi gue takut, Jota. Mau gimana juga tetep aja takut.” Cia sudah merasakan panas di matanya. Sepertinya dia akan menangis lagi.
Dirasakan Declan mendekat dan duduk di sampingnya. “Iya-iya. Gak papa kok. Kan gue lagi ada juga. Bisa bantu lo. Lain kali kalo ada apa-apa jangan sungkan ngomong ke gue, ya?” Declan bersungguh dengan ucapannya. Melihat istrinya kembali akan menangis, Declan jadi merasa bersalah karena candaannya seperti sudah berlebihan.
Cia menoleh ke arah Declan yang tersenyum dengan alis terangkat. Airmatanya sudah luruh. Meski terlihat jahil dan terus mengusilinya, tapi Declan juga tak segan mengambil tanggungjawab untuk menenangkannya pula. Cia selalu merasa diperhatikan lebih oleh pria itu.
“Lo gak boleh kunci ruangan tidur lo gimanapun caranya. Dan gue juga gak akan kunci pintu kamar gue. Lo harus ketuk pintu kamar gue dulu sebelum masuk. Tapi jangan harap gue ngelakuin hal yang sama kalo mau masuk ke ruang tidur lo. Pokoknya, lo harus kasih gue kebebasan masuk ke tempat tidur lo itu.” Sambil terisak, Cia memprotes panjang.
Declan hanya tersenyum hangat. Diusapnya pipi sang istri yang basah karena airmata. “Meski kedengerannya gak adil banget buat gue, tapi gak papa. Gue setuju, Ivy. Lo boleh masuk dengan bebas ke ruangan tidur gue. Dan kalo takut, lo boleh teriak sekuat-kuatnya manggil gue sampe denger.”
Senyuman langsung menghiasi wajah sembab Cia. “ Gomawo, Jota. Lo emang selalu bisa gue andalin.”
Andai kalimat itu terucap dengan keadaan mereka sebagai suami dan istri yang sebenarnya, Declan mungkin sudah menciumi sang istri karena gemas. Tapi nyatanya, Declan hanya bisa tersenyum dengan anggukan kecil sambil menatap wajah Cia yang kini kembali ceria.
“Gomawo kembali, I,” balas Declan mencoba memperbaiki suasana hatinya sendiri.
Dahi Cia berkerut saat kembali menoleh ke arah Declan dengan mulut penuh. “Kenapa deh lo manggil gue Ivy, Jota? Jadinya waktu lo nyingkat nama jadinya I. Kedengarannya kayak lo manggil sok romantis, Ai gitu.”
“Ya biar romantis tadi, sih.” Cia mendorong Declan yang terkekeh. “Karena gue suka. Jadi gue gak harus sama dengan orang lain buat manggil nama lo, di Indonesia terkhususnya. Seandainya lo di sekitar orang ramai pun, dengan sekali aja gue manggil, lo jadi tahu kalo itu gue. Asyik gak, sih? Kayak kode cuma buat berdua doang.” Wajah Declan terlihat cerah selama mengucapkan kalimat itu.
Yang tidak Declan tahu bahwa sekarang gadis di sampingnya sedang berusaha menenangkan diri. Jantungnya tiba-tiba berdenyut menyesakkan. Kepala Cia mendingin dengan telapak tangan yang mencengkram mangkuk salad semakin erat. Cia tidak pernah peduli dengan bagaimana cara Declan memanggilnya. Tapi kini dia menyesali, harusnya dia sudah menanyakan sejak dulu untuk mendengar jawaban menyenangkan ini dari pria itu. Ah, apa ini? Cia menyukai kalimat dari Declan? Dia pasti benar-benar sudah gila.
Bahkan Cia sendiripun terkejut dengan gerakkan kepalanya yang mengangguk setuju. “Seenggaknya, gue punya orang yang gue kenal di tengah kerumunan manusia yang paling gak gue suka.”
Apa yang sedang mereka lakukan sekarang? Memberikan kalimat untuk menyenangkan satu sama lain? Seolah tanpa kesepakatan, keduanya memutuskan untuk saling membutuhkan lebih daripada orang lain. Kini mereka saling tatap cukup lama. Semilir hening terasa begitu menyenangkan untuk jarak yang menyela keduanya.
***