AKHIR PEKAN LAINNYA
Genap satu bulan Declan dan Cia menjadi suami istri. Tak ada perubahan berarti. Mereka masih sibuk dengan pekerjaan yang membuat intensitas bertemu menjadi sering.
Cia sudah berleha di bedsofa dengan menonton Law of the Jungle, salah satu variety Korea yang juga disukai. Berkali-kali gadis itu tertawa dengan mulut penuh karena camilan yang dipeluk saat ini. Sedang Declan yang baru saja keluar dari ruang tidurnya, nampak tersenyum karena merasa paginya sempurna dengan suara tawa dari sang istri.
Cia melirik sang suami yang sekarang tengah asik bersama benda pipih yang sudah berposisi horizontal dengan kaki terangkat di atas sofa. Cia yakin Declan sedang melanjutkan game-nya.
“Jota, lo gak punya rencana apaaa gitu?” tanya Cia sambil membenarkan posisi duduknya.
Seperti biasa, Declan tak langsung menjawab. Matanya masih fokus dengan ponsel. Dan tangannya masih sibuk menyelesaikan war yang ada di game. Cia mendengus kesal dan kembali berbaring sambil menunggu jawaban dari pria itu. Lagipula, Cia tidak tahu jika bukan tanpa alasan Declan sering sekali tak langsung menjawab tanyanya. Karena apa? Karena Declan ingin mendengar Cia mengomel dan mengganggunya lebih dari hanya sekadar bertanya. Awalnya memang begitu. Tapi lama-lama Cia menjadi terbiasa dan hanya tersungut tanpa suara sambil menunggu Declan menjawab tanyanya.
Sepertinya, Declan harus mengganti cara agar Cia lebih sering mengganggunya.
“Lo gak ada kerjaan sampe malem?” Suara pria itu akhirnya terdengar setelah hampir sepuluh menit hanya diam.
“Gak ada. Ajakin gue ke mana kek gitu,” balas Cia kembali bersemangat.
“Gue ada mau nge-judo sih nanti.”
“Lo bisa judo?” Manik Cia berbinar saat mendengar olahraga itu.
“Bisa. Gue rutin latihan aja,” jawab Declan seadanya.
Cia mencebik dengan anggukan pelan. Pantas saja tubuh pria itu terlihat sangat sehat. Maksudnya, Declan memang menjaga otot dalam tubuhnya. “Gue ikut, ya?” pinta Cia dengan wajah penuh semangat.
“Entar, jam limaan. Sekarang lo bantuin gue aja,” ujar pria itu berdiri dari tempat duduk. Dengan sigap Cia langsung ikut berdiri dan mengekori Declan yang membuka tirai besar yang selama ini membuat gadis itu penasaran dengan isi dalamnya.
Mata gadis itu membola saat melihat betapa rapinya isi dalam ruangan yang hanya tertutup tirai itu. Wangi lembut dari lilin aromaterapi langsung tercium saat dia masuk ke dalam ruangan itu. Jika dilihat dari besarnya, ruangan ini hanya separuh dari besar kamar utama yang dia tempati. Kaca besar yang terbuka dan membuat tirai besar lainnya bertumpuk di ujung samping kamar, menjadi penerangan sempurna untuk ruangan ini. Rak yang terisi banyak buku mengelilingi ruangan yang memiliki satu bedsofa yang lebih besar dari pada ruang tengah. Di balik rak buku di sisi kanan, terlihat baju Declan yang tergantung dengan sangat rapi. Pintu kecil di dekat tirai masuk, sepertinya kamar mandi. Sebab Cia tidak pernah melihat Declan berkeliaran jika sudah berada di apartemen dan tidur di tempat yang baru saja dia tahu bentuknya. Di sudut dekat kaca besar itu, terdapat meja kerja kecil yang menampung laptop dan sebotol mug juga sebuah-
“I, sini,” suara pria itu menginterupsi kegiatan Cia yang berusaha melihat sedalam mungkin isi ruangan kecil ini. Cia beranjak menuju sumber suara Declan terdengar dari sisi rak buku di mana baju-bajunya tergantung dengan baik.
Kembali Cia terkesima dengan bagaimana Declan menata ruang kecil untuk dijadikan wardrobe barang-barang pribadinya ini. Sepatu tersusun rapi bersama beberapa topi di samping baju yang tergantung secara tingkat.
“Ivy!” Suara Declan terdengar cukup kuat. Cia langsung menatap ke arah Declan yang menghela malas. “Keseringan bengong, deh. Cepet pikun lo entar,” kesalnya mengambil sesuatu dari bawah lemari.
“Gue amazed aja sama kamar lo yang sebegini rapi, Jota. Gue yang cewek aja gak serapi ini,” ujar Cia kembali memperhatikan keseluruhan ruangan itu.
“Gue tahu kok lo berantakan. Kamar utama jadi beneran kayak kapal pecah dengan tambahan berkeping-keping setelah lo yang nempatin,” balasnya dengan wajah datar.
Ah, benar. Cia memang gadis yang berantakan. Dia suka makan camilan di atas sofa dan tempat tidur. Meletakkan sembarangan baju yang baru dipakainya. Tidak merapikan sprey dan selimut saat sudah bangun tidur. Declan melihat semua itu saat ingin mandi dengan air hangat yang hanya ada di kamar utama. Waktu itu Cia tidak ada. Dan Declan begitu terkejut melihat penampakan kamar itu setelah bukan dia yang meninggali. Tapi Declan bisa apa? Pria itu hanya bisa menggeleng sambil tertawa kuat karena tak percaya dengan keanehan sang istri tanpa bisa marah padanya.
Cia mendengus dan memukul lengan sang suami yang hanya terkekeh pelan. “Jadi kita mau ngapain?” tanya gadis itu mengalihkan kekesalan.
“Gue punya space kosong di sini,” ujar Declan menunjuk dinding putih yang ada di dekat cermin besar seukuran tubuh. “Bantu gue ngegambarin sesuatu deh di sini. Mumpung gak ada kerjaan kita,” sambungnya melihat sang istri.
Dengan wajah yang sudah kembali cerah, Cia mulai menunduk untuk mengambil kuas kecil yang Declan siapkan. “Dengan senang hati,” ujar gadis itu langsung menuju dinding yang hendak dilukis.
“Bener-bener ngelukisnya ya, I. Jangan malah ngerusak lo.”
Cia berdecak sebal setelah mendengar nada tak percaya dari Declan yang sekarang ikut menunduk untuk bergabung untuk menggambar.
“Wooo, you did great, Ivy. Good job,” pujinya setelah beberapa saat mereka mulai menggambar dinding putih itu.
Cia tersenyum saat mendengar kalimat pujian itu kembali Declan hadiahkan untuknya yang hanya melakukan hal kecil seperti ini. Cia yakin, pasti bahwa gambarnya tidak sebagus itu. Tapi kalimat pujian seperti itu sudah Declan layangkan beberapa kali padanya.
“You know, Jota. You have a unique speaking habit,” ujar Cia melirik ke arah Declan yang hanya memasang wajah bingung tanpa melihatnya. “You always said, good job, you did great, well done and something like that,” sambungnya kembali melukis.
“Am I?” tanya Declan dengan nada penasaran tapi tidak menghentikan kegiatannya.
Cia mengangguk meski sadar bahwa Declan tidak melihat. “You just did it,” jawab Cia. “Do you say that to other people as often?”
“No. I don’t compliment that much,” jawab Declan dengan nada santai yang tanpa Cia sadari adalah sebuah kejujuran dari sang suami.
“Sama gue sering banget lo bilang gitu,” sanggah Cia tak percaya.
Cia bisa merasakan bahwa sekarang pria itu sedang melihatnya. Segera Cia menoleh dan membalas tatapannya. Lama, Declan tak berpaling dari manik sang istri yang juga tidak berniat untuk mengakhiri tatap mata ini.
“Cause you’re my friend. I mean, my housemate,” ujar Declan dengan senyuman lebar. “Selain gak bakal biarin satu sama lain kesusahan, temen juga akan saling mendukung dengan sama-sama memuji,” sambungnya ceria. Declan bersyukur karena mengingat dengan cepat soal Cia yang menganggapnya sebagai teman. Declan tidak ingin salah berbicara dan malah membuat suasana baik ini menjadi canggung. Beruntung dia punya jawaban yang menurutnya sudah tepat.
Tapi entah kenapa, Cia malah menghela napas kecewa setelah mendengar balasan pria itu. Bukankah dia yang lebih dulu memproklamirkan bahwa mereka adalah teman? Tapi mendengar kata itu keluar dari mulut Declan, membuat hatinya tercubit kecil namun sangat menyakitkan.
***
Setelah satu bulan bersama, Declan dan Cia menyadari bahwa mereka punya banyak kesamaan selain makanan dan sifat yang tidak bisa berada di tengah orang ramai. Menyukai kegiatan outdoor misalnya. Gadis itu bahkan sudah dengan riang memasuki ruang judo yang Declan siapkan untuk mereka.
“Ganti baju dulu,” suruh Declan menyodorkan sepasang pakaian judo pada Cia.
Declan tersenyum melihat Cia yang berlari kecil menuju ruang ganti. Gadis itu benar-benar bersemangat hanya untuk hal-hal kecil seperti ini. Membahas soal judo, Declan memang rutin melakukan olahraga ini. Sejak sekolah, pria itu sudah berlatih dan memenangkan beberapa pertandingan yang diadakan sekolah pun luar sekolah. Hanya saja, setelah saat itu, karena punya cidera di kaki sebelah kirinya, Declan jadi tidak bisa mengikuti pertandingan judo secara rutin. Bahkan tidak lagi pernah sekarang. Jadi Declan memutuskan untuk hanya berlatih untuk menjadi olahraga rutin agar dia tidak lupa bagaimana judo sempat mengisi masa remajanya dulu.
“Jota, gue gak bisa masang sabuknya,” ujar gadis itu setelah kembali dari ruang ganti.
Declan yang juga sudah mengganti pakaiannya dan sedang melakukan pemanasan, kini berdiri dan mendekat ke arah sang istri. Bagi Declan, apapun yang Cia lakukan terlihat menyenangkan untuk dipandang. Bahkan sekarang, sudut bibirnya berkedut menahan senyuman saat melihat Cia menggunakan pakaian judo yang cenderung kebesaran itu. Istrinya terlihat sangat imut.
Tapi Declan memilih untuk diam. Declan memutari lengannya di sepanjang pinggang Cia. Ingin sekali Declan memeluk sang istri saat ini. Ah, pikiran gila yang sepertinya menyenangkan jika diwujudkan. Dan hal mengejutkan untuk gadis yang sedang tak bersuara itu, karena sekarang dia sedang menahan napas saat Declan berdiri tepat di depannya. Jarak yang cukup dekat untuk Cia bisa mencium aroma wangi rambut pria itu. Declan dengan telaten mengikat sabuknya dan merapikan baju Cia seperti bagaimana seharusnya.
Declan mundur selangkah setelah selesai memasang sabuk judo Cia. Dilihatnya sang istri yang masih tak bergeming. Jentikkan dari jari pria itu membuat Cia sadar dan tergagap.
“Bengong lagi, neng cantik,” ketusnya melihat Cia malas. Cia tersentak saat merasakan tangan Declan terulur dan menarik rambutnya ke belakang. “Iket dulu rambutnya, baru pemanasan,” suruhnya memberi jarak mereka berdiri.
Bagaimana Cia menyebut weekend ini bersama Declan? Ah, mungkin menyenangkan atau membuat ceria, juga gadis itu lebih banyak tertawa. Declan mengajarinya banyak hal. Rolling depan, lalu menunjukkan beberapa gerakkan dalam judo, cara menghindar dari orang yang akan berbuat jahat, juga cara menjatuhkan lawan dengan gerakkan judo yang tepat. Beberapa kali Declan bahkan membuat Cia terbaring di lantai saat mencoba mengajari untuk menjatuhkan lawan. Tidak menyakitkan dan membuat Cia makin bersemangat untuk mengalahkan pria itu. Declan bahkan melakukannya dengan sangat hati-hati. Dan seperti yang sudah-sudah. Declan terus mengucapkan good job, you did well, nice work and so on saat melihat sang istri bisa melakukan gerakkan yang dia ajarkan. Cia bahkan sempat merinding karena tidak sengaja menyentuh dada sang suami yang berotot itu saat mempratikkan gerakkan menjatuhkan lawan ke lantai. Tak pernah Cia sangka bahwa otot Declan benar-benar seliat itu.
“Ajakin gue lagi kalo lo latihan judo, ya,” pinta Cia saat sudah berada di dalam mobil.
Pria itu mendengus geli dan tersenyum kemudian. “ Joa?” tanya Declan melirik sang istri dengan kerlingan jahil.
Cia tertawa mendengar sang suami mengucapkan satu kata dalam bahasa Korea. “Ho, Joa. Today is jota with Jota,” jawabnya dengan sisa tawa.
Declan terkekeh sambil memutar kemudi mobil yang mulai bergerak pelan. “Just call me if you boring. Gue bakal tunjukkin banyak hal biar lo gak ngerasa bosen lagi. Atau lo bisa ngubungin gue kalo mau ngelakuin hal-hal gila yang sebenernya udah ada di dalam kepala lo itu.”
Cia langsung memicing ke arah Declan yang tersenyum lebar tanpa melihatnya. Sepertinya dia belum mengatakan apa pun pada pria itu tentang dirinya yang merencanakan banyak hal. Tapi Declan bahkan sudah mengetahuinya lebih dulu. “Sejelas itu isi pikiran yang tergambar di muka gue, Jota? Akurat banget sih lo!” sungut Cia, tak menyangka.
Declan mengangguk dengan kekehan. “Lo, bener-bener sangat kebaca, I.”
Cia menghempaskan punggung di sandaran kursi mobil. Membiarkan Declan tertawa atas tebakkannya yang benar. Baiklah! Akan Cia biarkan Declan kali ini, karena sudah menyelamatkan akhir pekannya menjadi tidak membosankan.
“Nyetir aja baik-baik sana,” suruh Cia sudah tak ingin berdebat lagi.
***