Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

PERMAINAN GILA

Sungguh melelahkan sekaligus menyenangkan bisa menyelesaikan segala pekerjaan dengan baik meski harus mengorbankan waktu istirahat.

Setelah pulang dari luar kota waktu itu, Cia kembali disibukkan dengan pekerjaan di Jakarta yang tidak berjeda. Gadis itu bahkan hanya bisa tidur dalam beberapa jam saat malam menjelang. Dan sepertinya, Declan juga punya kesibukan yang sama padatnya. Sering tak didapati pria itu saat dia kembali ke rumah. Setelah mengetahui di mana Declan tidur, Cia jadi selalu melihat ke ruangan bertutup tirai besar itu saat pulang dari kerja untuk memastikan apakah pria itu berada di sana atau tidak.

Gadis itu masuk ke apartemen tepat pukul 11 malam, setelah menyelesaikan pekerjaan hari ini. Dengan langkah gontai, Cia langsung menuju ke tirai besar itu. Jika memang festival yang Declan sebutkan akan berlangsung dua minggu mendatang, harusnya Declan sudah berada di rumah karena dua minggu itu akan berakhir dalam dua hari ke depan.

“Jota,” panggil Cia pada ruangan gelap tanpa penerangan.

Segera gadis itu menyalakan lampu kamar yang ternyata kosong. Dia menghela napas kuat. Pria itu masih belum berada di rumah. Cia juga tidak bisa menghubungi suaminya itu. Beberapa pesannya hanya mendapat centang dua biru tanpa ada balasan dari sang penerima. Sepertinya, Declan memang benar-benar sibuk.

Cia melangkah untuk masuk lebih dalam ke kamar pria itu. Wangi Declan menyebar ke seluruh ruangan. Biasanya, dia akan menghidupkan lilin aromaterapi jika di rumah. Tapi kali ini, hanya baunya yang tertinggal. Perkiraannya, Declan sempat pulang tapi tidak lama dan langsung pergi. Hah! Pria itu sama gila dengannya jika sudah menyangkut dengan pekerjaan. Belum lagi dengan adanya makanan yang selalu tersedia di lemari es. Cia jadi tidak perlu bersusah payah untuk memesan dari ojek online untuk makanannya setiap berada di rumah. Sebab sepertinya, Declan selalu menyempatkan diri untuk membuatkan sesuatu sebelum pergi kerja dan bisa dipanaskan oleh Cia ketika lapar.

Benar-benar suami idaman banyak perempuan Declan itu.

Gadis itu duduk di pinggiran bedsofa yang sepertinya Declan pakai untuk tidur. Beberapa foto yang berada di nakas dekat tempat tidurnya membuat Cia sedikit penasaran. Diraihnya satu bingkai yang menampilkan Declan kecil di sana. Kedua sudut bibirnya terkait sempurna, melihat betapa Declan sangat imut dengan senyuman tanpa gigi di foto itu. Dua bingkai lainnya hanya berisi foto pria itu bersama keluarga. Cia tidak menyangka, Declan akan semanis ini dengan menyimpan foto keluarganya. Tapi, hei! Ada satu bingkai lagi, tapi berada di atas meja kerja pria itu. Terakhir kali Cia ke sini saat membantu Declan melukis dinding kosong di dekat lemarinya, dia tidak menyadari bahwa ada foto di sana. Karena rasa penasaran yang sangat lancang, gadis itu berdiri untuk mendekat ke meja kerja Declan. Matanya tiba-tiba saja berair saat melihat bahwa itu adalah foto mereka saat menikah. Senyuman keduanya terlihat sangat lebar.

Cia bahkan lupa jika sudah tersenyum selebar itu di hari pernikahan mereka. Sedang dia terus berpikir bahwa hari itu adalah hari terburuk di sepanjang sejarah hidupnya. Ah, benar! foto ini diambil setelah mereka melakukan adegan ciuman seperti yang diminta oleh pembawa acara sialan itu.

Lalu ada apa dengan senyuman kamu itu, Ivy? Apa kamu senang dan menikmati lembutnya bibir seorang Declan?

Segera Cia meletakkan kembali bingkai itu ke tempatnya. Dan merebahkan tubuh di atas bedsofa milik Declan. Entah mulai sejak kapan dia menyukai waktu santai dengan percakapan sederhana bersama pria itu. Tapi rasanya aneh karena tak bisa bertemu dengan Declan dalam dua minggu ini. Benar-benar tanpa mengabari satu sama lain. Setelah dua bulan lebih berlalu, orang tak lagi peduli dengan pernikahan keduanya. Mereka sudah disibukkan dengan banyak hal lain yang lebih menarik perhatian. Itu menguntungkan buatnya juga Declan. Mereka jadi bisa melakukan pekerjaan sendiri-sendiri tanpa perlu khawatir orang akan bergosip.

Dengan masih memakai baju untuk kerja, Cia berguling dan menggerakkan tubuhnya di atas tempat yang selama ini dipakai Declan untuk tidur setelah menjadi suaminya. Mungkin karena terlalu lelah, bedsofa ini menjadi sangat nyaman.

***

Waktunya benar-benar tersita dengan pekerjaan yang tiada henti. Declan bahkan tidak bisa ikut saat kak Guna meminta bantuan untuk menjadi salah satu modelnya di ajang lomba yang diadakan di luar kota. Yang paling Declan sesali, dia jadi tidak bisa menemani Cia di sana. Sebab gadis itu juga dipilih oleh kak Guna untuk menjadi model perempuannya. Declan harus menyelesaikan filmnya dengan baik dan bekerja lebih ekstra karena akan diikutsertakan dalam festival film pendek untuk sutradara pemula pun yang sudah jauh lebih berpengalaman. Ini kesempatan besar untuknya. Jadi Declan tidak ingin menyia-nyiakannya meski harus membiarkan Cia pergi ke luar kota sendiri. Pekerjaan pertama gadis itu tanpanya.

Sesekali Declan pulang ke apartemen hanya untuk mandi dan menyempatkan diri membuatkan Cia makanan yang bisa dia panaskan di microwave. Berharap istrinya tidak sembarangan makan atau bahkan tidak makan sama sekali. Karena itulah, Declan memilih untuk meluangkan waktunya sebelum pergi bekerja untuk membuatkan Cia sesuatu.

Hari ini menjadi terakhir syuting dan dia bisa pulang lebih cepat hari ini, meski jam sudah menunjukkan pukul 11 malam. Setelah memberesi alat-alat syuting dan memberi briefing untuk apa yang akan dilakukan besok, Declan akhirnya sampai ke apartemen yang berpenerangan beberapa lampu tidur. Cia mungkin sudah ada di rumah dan pasti sudah tidur. Declan berjalan ke arah ruang tidurnya dengan langkah pelan.

“Astaga!” Declan mengumpat lirih sesaat setelah membuka ruang tidurnya. Cia nampak dengan santai berbaring di bedsofa tempatnya tidur.

“Jotaaaaaaa,” teriak gadis itu dengan senyuman lebar dan tangan yang bergerak di udara untuk menyapa sang suami tanpa berniat mengubah posisi yang masih rebahan. “Long time no see. Rindu gak sih?” tanyanya dengan nada ceria.

“Apaan, Ivy?” sungut Declan sembari masuk untuk menyembunyikan senyumannya yang tertahan sambil meletakkan ransel di ruang pakaiannya. “Buat kaget,” sambungnya setelah keluar dan melihat Cia dengan wajah yang dibuat datar. Cia meluruhkan senyuman dengan tatapan kesal pada Declan yang sekarang sudah membuka sepatu. “Ngapain lo di sini?” tanyanya, melirik sang istri.

Cia kembali berbaring dengan nyaman. “Tadinya mau ngeliatin lo udah pulang apa belum. Waktu liat kamar ini kosong, gue jadi males gerak lagi. Rebahan deh di sini,” jawab gadis itu tanpa melihat Declan.

“Kerjaan lo udah selesai?”

Cia tersenyum dengan mata terpejam saat mendengar pertanyaan-pertanyaan itu dari Declan. Sepertinya dia dan pria itu akan kembali melakukan percakapan-percakapan sederhana seperti biasanya. “Udah. Jadi minggu depan gue banyak luang. Ke pemotretan reguler aja. Lo gimana?”

“Udah juga. Besok monitoring akhir. Malem Senin festivalnya mulai. Malem Kamis, pengumuman pemenang,” jawab Declan dengan terus melakukan sesuatu di sana. “Lo ada waktu gak malem Kamis?”

Cia kembali tersenyum. “Ada. Tenang aja. Lagian gak mungkin kita gak pergi berdua, kan? Gosip yang udah mereda bakal muncul lebih ganas lagi pasti,” balas Cia yang hanya dibalas dengan gumaman oleh Declan. “Jota.”

“Hm,” gumam pria itu lagi. Cia selalu suka dengan kekesalan yang Declan berikan.

Gadis itu mendongakan kepala. Melihat Declan yang sekarang hanya menggunakan celana pendek dan kaos hitam tipis. Pun dia melakukan hal yang sama, tatapannya begitu sabar menunggu ucapan sang istri selanjutnya.

“Gue pengen mie instan, deh,” ujar gadis itu dengan cengiran.

Alis Declan bertaut. “Lo gak diet?” Dilihatnya jam dinding. “Udah setengah 12 malem lho,” ujarnya menunjuk jam.

Cia berdecak tak setuju. “Malem ini cheating time buat gue. Lo juga harus sekali-sekali cheating time begitu. Buatin mie-nya, ya?” pinta Cia yang sudah beralih dari posisi rebahannya.

Declan melihat dengan helaan malas. “Gak sehat ngajak-ngajak lo.” Cia terkekeh mendengar protesan suaminyaa. “Lagian kita gak punya mie instan, I.”

“Gue udah beli kok. Ada tuh di dapur,” ujar Cia cepat sambil menunjuk ke arah luar.

Terlihat Declan yang menggeleng pelan dengan dengusan. “Terniat banget kalo maunya sendiri.” Cia lagi-lagi hanya terkekeh mendengar kekesalan sang suami. “Mandi dulu sana. Bersihin muka lo tuh. Make-up semua,” suruh Declan mulai mengambil satu persatu pakaian yang tadi dia tanggalkan.

“Siap!” seru sang istri yang langsung melompat dan berlari menuju kamarnya sendiri untuk membersihkan diri.

***

Dengan semangat, Cia langsung menyambar sumpit yang Declan berikan dan langsung menyantap mie yang sudah tersedia. Declan hanya menggeleng melihat kelakuan istrinya itu.

“Pelan-pelan, Ivy,” ingatnya dan hanya dibalas dengan cengiran oleh Cia.

Beberapa saat waktu berjalan dalam hening dan hanya sesapan kuah mie yang terdengar. Declan juga sudah lama sekali tidak menikmati mie instan seperti ini. Semenjak berusaha untuk hidup sehat, dia sudah mengurangi makanan instan seperti mie dan memilih memasak sendiri. Tapi demi sang istri, Declan jelas akan dengan senang hati menemani ceating time yang istrinya inginkan.

“Jota, ternyata lo nyimpen foto pernikahan kita waktu itu.” Cia melihat ke arah Declan yang mengunyah mienya.

Meski hampir tersedak setelah mendengar ucapan sang istri, tapi Declan berusaha untuk menelan makanannya dengan baik. Sepertinya, Cia sudah terlalu banyak melihat segala apa yang ada di ruang tidurnya.

“Iya, buat kenang-kenangan,” jawab Declan dengan senyuman tipis. “Kita gak tahu gimana akhirnya nanti, kan? Apalagi gue yakin, niat lo buat bercerai masih sangat kuat.”

Perubahan di wajah Cia tak tertangkap oleh Declan yang kembali menyesap kuah mienya dengan suara yang menggugah selera. Cia mengenyahkan senyuman di wajahnya. Mendadak rasa tak suka memenuhi hatinya setelah mendengar kalimat Declan barusan. Karena jika boleh dia jujur, keinginan bercerai memang terpikirkan, tapi jelas tidak semenggebu saat itu. Ah, sial! Cia tidak bisa menyalahkan Declan karena itu memang rencananya sejak awal.

“Jota, mau ikutan main sama gue? Sambil nurunin mie biar tercerna dengan baik,” tanya Cia setelah menghabiskan mienya, melihat ke arah Declan dengan alis naik turun.

Pria itu mendengus dengan senyuman miring. “Hm,” gumamnya membenarkan posisi duduk.

“Nama game-nya, interview.” Cia tersenyum melihat wajah bingung Declan. Lihat betapa lucunya saat mata Declan mencoba terbuka lebar meski tentu saja tidak berhasil. “You can ask me everything you wanna know. And sure, it’s vice versa,” jelas Cia.

Declan menggerakkan pelan kepalanya. “Everything?” Cia mengangguk sebagai jawaban. “Oke.” Declan akhirnya menyetujui.

Baiklah. Declan sepertinya mengerti akan bagaimana permainan ini berjalan. Mungkin ini adalah permainan turunan dari truth or dare. Dia punya firasat buruk tentang permainan ini. Tapi, mari kita coba. Dilipat kedua tangannya di atas meja, menunggu sang istri memulai permainan karena menang saat bersutet. Jujur saja, Declan sedikit cemas akan bagaimana pertanyaan dari permainan ini. Tapi dia juga tidak bisa menghentikan diri karena ini adalah kesempatan untuknya bisa mengetahui lebih banyak tentang Cia.

“Lo beneran udah lulus kuliah?”

“Udah. Satu tahun yang lalu,” jawab Declan dengan mudah. “Indonesia atau Korea?” Tanpa menjeda, Declan langsung memberikan pertanyaannya pada Cia.

“Saat ini, gue mulai menyukai Indonesia.” Cia jujur dengan jawabannya itu. “Kenapa lo lebih item dari pada dua kembaran lo yang lain?” Cia jelas menahan senyuman di sudut bibir, karena memang bermaksud ingin menjahili Declan.

Pria itu melihat ke arah tangannya. Lalu kembali menatap Cia datar. “Karena gue kerja di lapangan. Mas Dan sama Abang kerjanya kantoran banget,” jawabnya dengan cebikan di akhir. “Apartemen atau rumah?” Ah, Declan sangat ingin menanyakan hal ini sejak lama pada Cia. Meski terlihat sudah terbiasa, Cia mungkin tidak terlalu senang tinggal di apartemen seperti ini.

“Rumah.”

Langit salah jika merasa Declan melakukan hal yang sia-sia karena melihat-lihat rumah dan berniat membelinya. Sebab benar seperti dugaannya, jelas Cia lebih menyukai rumah. Dan Cia tentu saja menjawab yang dia inginkan. Tapi bersama Declan di apartemen juga bukan hal yang buruk.

“Gue atau kerjaan lo?” Entah kenapa pertanyaan itu begitu saja keluar dari mulut gadis yang ikut terperangah setelah melontarkannya. Karena sudah terlanjur, mari dengarkan jawaban Declan yang sekarang masih diam itu.

Sebab Cia bahkan tidak menyadari, bahwa pertanyaannya sudah membuat Declan sempat tertegun. “Ivy,” jawab Declan menggunakan nama gadis yang tiba-tiba saja bernapas dengan tercekat. “Menerima atau masih menolak?” Dan pertanyaan Declan semakin membuat helaan Cia terasa berat.

“Enggak menerima. Tapi terlalu buruk jika menolak.” Apa mereka mulai terlalu serius bertanya sekarang? “Kenapa menerima?”

Tanpa sadar, pertanyaan yang mereka lontarkan pada satu sama lain membuat keduanya merasa tertekan dengan alasan yang berbeda. Declan yang harus menahan diri untuk tidak mengakui perasaannya pada sang istri. Sementara Cia sedang berperang batin tentang apakah dirinya yang sudah mulai menerima pernikahan ini atau hanya merasa nyaman dengan segala perhatian yang selama ini Declan berikan?

“Karena gak ada alasan untuk menolak.” Declan sedang benar-benar lekat menatap sang istri. Lagipula, ayolah! Bagaimana bisa dia menolak gadis yang sejak pertama berjumpa pun sudah membuat matanya terpatri tak bisa berpaling? Juga masih mengguncang jantung Declan dipertemuan yang berikutnya. Bahkan sampai sekarang. “Bahagia atau menderita?”

Sial! Cia terjebak dengan permainan yang dibuatnya sendiri. Tapi dia juga tak ingin berhenti untuk menanyakan hal lain pada pria ini. “Bahagia,” jawab Cia tanpa bisa membubuhi alasan setelahnya. “Mendampingi atau pergi?” Kenapa matanya mulai berkaca saat ini? Declan bahkan tidak menyakitinya sama sekali.

“Tergantung.” Pria itu mengendikkan bahunya sekilas. “Mau gue mendampingi, tapi kalo disuruh pergi dengan jaminan lo lebih bahagia. Gue bakal terima.” Napas Cia benar-benar sudah sesak sekarang. “Jota atau Declan?”

Cia mungkin mengira bahwa Jota ataupun Declan adalah orang yang sama. Tapi bagi Declan jelas berbeda. Jota adalah seorang pria yang Cia lihat begitu menyenangkan dari sosoknya. Tapi Declan, adalah dia yang benar-benar menjadi suaminya. Jika Cia sudah nyaman bersama Declan, itu berarti gadis itu juga bisa memilikinya sebagai Jota.

Cia menelan saliva yang terproduksi terlalu banyak dengan susah payah. Apa yang harus dijawab saat ini pada pria itu? “Aku nyaman dengan Jota,” Cia menatap lekat sang suami. Sialan! Kenapa aku memanggil diriku dengan aku? “Tapi aku takut untuk nyaman dengan Declan,” sambung gadis itu dengan suara bergetar. “Ivy atau Cia?” Baiklah! Cia mulai mengikuti bagaimana Declan bertanya.

“Ivy. Karena aku mengenalnya dengan nama Ivy sejak awal,” jawab Declan seringan kapas. Ah, jangan lupakan Declan yang juga menyebut dirinya dengan aku. “Ada apa sama Declan?”

Cia membiarkan airmatanya luruh tepat saat Declan menanyakan hal itu. Dia juga tidak tahu kenapa harus menangis seperti ini. Sepertinya bukan hanya Cia yang punya banyak pertanyaan setelah dua bulan lebih ini menjadi suami dan istri. Harusnya dia sadar, bahwa pasti, Declan juga punya banyak hal yang ada dipikirannya. Dan itu tidaklah salah.

“Karna akan menyulitkan kalo aku terlalu nyaman dan menghancurkan rencana untuk mengakhiri pernikahan ini.”

Kepala Declan pening setelah mendengar jawaban itu dari Cia. Ada berton-ton besi yang sekarang menekan dadanya. Menyesakkan! Jadi Cia masih memikirkan tentang perpisahan setelah segala yang mereka lewati dengan baik beberapa bulan ini? Cia menyadari air wajah Declan yang berubah. Malam yang menua di apartemen yang jauh dari pohon dan kebun, membuat suasana menjadi semakin hening. Sunyi. Cia bahkan harus menahan isakkan agar tak terdengar.

“Ciuman pertama atau yang kesekian kalinya?” Cia benar-benar ingin mengetahui hal itu. Bukankah ini kesempatan? “Kamu yang pertama,” sambung Cia ingin melihat reaksinya.

Tapi Declan hanya mendorong kursi untuknya berdiri. Cia menatap Declan yang sekarang berjalan. Dia kira, pria itu akan langsung melewatinya begitu saja. Tapi Declan malah mendekat ke arahnya. Dia terlihat biasa saja. Pun jawaban tak diberikannya. Kepala gadis itu mendongak untuk mencapai manik pria yang sekarang menunduk. Usapan terasa di pipinya yang basah karena bulir hangat yang jatuh dari mata.

“Done. Permainan ini selesai. Selamat malam, Ivy,” ucapnya sambil berlalu.

Napas gadis itu terhembus sempurna saat Declan sudah pergi dan meninggalkannya di dapur dengan segala pikiran yang semakin menumpuk di kepala. Usapannya! Usapan Declan benar-benar menenangkan.

***

Declan duduk di atas tempat tidurnya. Helaan berat keluar dari pernapasan. Sangat pelan, Declan menekan kuat wajahnya dengan akhir mengusap kasar. Akan sampai kapan dia mengikuti segala permainan gila yang Cia buat meski sudah tahu akan bagaimana akhirnya? Harusnya dia langsung bisa menolak. Tapi keegoisan selalu membuat Declan lagi-lagi terbawa arus suasana yang tak menyenangkan atas ide sang istri.

Ditolehnya bingkai sedang yang menampilkan fotonya dan Cia saat acara resepsi waktu itu. Declan sengaja meletakkannya di sana agar terus mengingat bahwa Cia pernah tersenyum selebar itu sambil menggandeng tangannya. Hatinya terasa penuh saat memandang raut bahagia dalam potret itu. Anggap saja Declan berlebihan, tapi potret itulah yang membuatnya terus bersemangat mendapatkan hati Cia. Meski entah mereka akan berakhir bahagia, atau hanya sekedar kenang yang tersusun rapi dalam kotak masa lalu milik keduanya yang tenang.

Declan kira, langkahnya tinggal sekali menapak. Sebab Cia nampak sudah sangat nyaman dan bersikap layaknya membutuhkan dia sebagai suami. Tapi nyatanya, Declan masih punya beribu langkah untuk sampai pada tujuannya. Hal terburuk, kemungkinan kakinya terhenti di tengah jalan dan harus menyerah sangatlah besar.

“Kamu yang pertama.” Astaga!

Disugarnya rambut halus yang sekarang terlihat berantakan. Ada rasa syukur yang sekarang memenuhi hati pria itu, karena dialah yang pertama mencium sang istri. Lebih tepatnya, mereka menjadi yang pertama untuk satu sama lain. Declan pernah berpacara, tapi berakhir dengan putus karena sang mantan merasa bahwa Declan lebih mementingkan pekerjaannya. Pria itu tidak mempermasalahkan. Sebab itulah dia langsung menyetujui ingin mantannya itu.

Hah! Kepala Declan penuh dengan wajah Cia sebelum dia memilih untuk pergi dan tidak menjawab tanya gadis itu. Jika tidak dihentikan, maka mereka mungkin akan lebih menyakiti satu sama lain.

Untuk airmata yang Cia luruhkan malam ini, Declan harap, itu bukanlah karena hal buruk. Tak ada yang bisa dilakukannya selain berharap gadis itu baik-baik saja.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel