Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

FESTIVAL FILM

“Apalagi sih, I? Satu jam lagi acaranya di mulai. Lo enak-enakan aja masih duduk manis begini.”

Declan masuk ke kamar sang istri dengan raut sebal. Sudah hampir satu jam dia menunggu Cia yang katanya masih bersiap tapi tak kunjung keluar dari kamarnya. Berkali-kali pria itu berteriak dari luar dan tak ada balasan dari istrinya.

“Gue udah siap dari tadi, Jota. Tapi, gue gak punya sepatu buat dipake.” Cia merengek melihat lemari sepatunya.

Pria itu ikut melihat arah manik Cia menatap. Dilihatnya Declan yang berjalan mendekat ke arah lemari sepatu itu. Dengan wajah berkerut tak percaya, pria itu kembali menatapnya. Declan membuka mulut tak percaya. Istrinya benar-benar tidak mengecewakan. “Perempuan banget sih lo, Ivy. Sepatu sebegitu banyak masih bilang gak ada yang bisa dipake?” gerutu Declan sebal. “Astaga. Tunggu di sini!”

Cia hanya melihat Declan yang berlalu setelah menyuruh untuk menunggu. Meski tak paham, Cia yang memang tak berniat beranjak hanya menggerakkan kaki sambil menunggu Declan kembali. Tak lama, pria itu datang dengan sebuah kotak berukuran sedang di tangan. Declan berdiri di salah satu lututnya.

“Jota!” Cia sedikit terkejut karena kakinya yang ditarik oleh pria itu. Declan membiarkan matanya menjadi wakil kepalanya mendongak yang langsung membuat Cia terdiam.

Tanpa lagi bisa memprotes, Declan sudah mengeluarkan sepasang sepatu sneakers dari kotak itu. “Acaranya agak ribet dan bakal ada outdoor event kayak ngelepasin lampion gitu. Kaki lo bakal kram kalo maksa pake high heels,” ujar pria itu dengan tangan terus memasangkan sepatu di kaki sang istri.

“Emang gak papa? Acaranya kan formal?” tanya Cia sedikit tidak enak.

“Sedikit formal. Gak sepenuhnya perlu berpakaian terlalu formal,” jawab Declan dengan nada sedikit kesal, tanpa memandang Cia.

Gadis itu diam. Melihat Declan yang masih dengan teliti mengikat tali sepatu di sana. Mata pria itu terlihat seperti memejam saat dia menunduk seperti ini. Ada garis di bawah tulang pipinya yang tidak terangkat karena Declan sedang sangat serius. Sepatu putih dengan pita besar di depannya sudah terpasang di kaki Cia. Dilihatnya Declan yang masih berlutut dan membalas tatap.

“Dapet sepatu dari mana?” tanya Cia dengan wajah yang pasti sangat menyebalkan di mata Declan. Dengusan dari pria itu jelas sudah menjadi bukti. Cia mengulum senyuman.

Nyatanya, pertanyaan Cia berhasil membuat kepala Declan berdenyut memikirkan jawaban. Declan sebenarnya sengaja membelikan sepatu itu untuk permintaan maaf karena tidak bisa menemani sang istri bekerja di luar kota waktu itu. Tapi dia masih kebingungan mencari alasan untuk memberikan kepada Cia hal-hal seperti ini. Rasanya masih canggung memberikan hadiah untuk gadis itu. Pria itu takut Cia akan merasa tidak nyaman karena hadiah darinya. Bukankah gadis itu berpikir bahwa mereka bukanlah pasangan yang sewajarnya? Karena itulah, Declan masih menyimpan sepatu itu sampai kesempatan ini datang.

“Beli, Ivy. Sepatu bagus begitu mana mungkin gue ambil dari tong sampah.” Pria itu berdiri. Jawaban konyol macam apa itu? Declan mengumpati dirinya sendiri dalam hati.

“Dih, ngomel.” Cia ikut berdiri. “Gue kan cuma nanya. Lagian pas banget di kaki gue,” ujarnya menggerakkan kaki sambil melihat sepatu itu.

Tentu saja pas! Declan sudah mencocokkan ukuran sepatu gadis itu sebelum membeli. “Sepupu gue ada punya bisnis sepatu. Dia ngasih sepatu itu buat lo. Gue lupa mau ngasih ke elo.” Astaga! Kenapa tubuhnya bergerak tanpa arah begini? Declan harus mengendalikan dirinya yang tidak bisa berbohong ini. Pandangannya bahkan tidak bisa fokus menatap Cia.

Alis gadis itu berkerut curiga. “Sepupu lo siapa?”

“Rescha.” Declan berjanji, nanti, dia akan meminta maaf pada Rescha karena sudah menjual nama sepupunya itu tanpa permisi.

“Kirain lo sengaja ngebeliin gue,” ledek gadis itu dengan senyuman yang tertahan.

Ah! Bukankah seharusnya Declan jujur saja? “Kepedean anda, kisanak.” Dan ternyata, balasan Declan malah berbanding terbalik. “Ayo buruan. Kita telat ini,” sambungnya meninggalkan Cia yang langsung mengekor.

***

Cia sudah mengatakan berkali-kali bahwa Declan adalah pria yang tidak suka tempat ramai tapi begitu ramah dengan orang di sekitarnya. Lihat saja bagaimana berkali-kali pria itu menundukkan kepala dan menjabat atau melambaikan tangan dengan senyuman saat beberapa orang menyapa. Dan sebagai istri Declan, Cia memutuskan untuk melakukan hal yang sama.

Declan memberikan dampak baik pada Cia yang kesulitan untuk bersosialisasi. Semenjak menjadi istri pria itu, Cia menjadi lebih mengenal banyak orang, meski pada awalnya dia terpaksa untuk berkomunikasi pada orang asing. Declan selalu memperkenalkannya sebagai istri dengan sangat manis. Pria itu bahkan menyadari jika Cia mulai tidak nyaman dengan keadaan di sekitar. Dengan pandangan yang tidak sepenuhnya memperhatikan, Declan malah terus memberikan usapan lembut ditelapak tangan sang istri. Dan seperti sebuah magic, usapannya benar-benar memperbaiki perasaan Cia yang tidak baik. Juga semakin Cia sadari betapa lembut cara Declan mengusapnya.

Seperti malam saat mereka melakukan interview game. Saat pria itu dengan minim ekspresi tapi mampu membuat tubuhnya bergetar hebat karena ketenangan yang jelas terasa diusapannya. Setelah malam itu, Declan kembali menyebut dirinya dengan sebutan gue dan lo. Dia bersikap sebagaimana biasanya, seolah memang tidak pernah terjadi apa pun. Cia sempat khawatir Declan akan tersinggung dan marah padanya. Tapi pria itu tetap menjadi dirinya seperti biasa. Saat pagi Cia sudah bersiap untuk berangkat kerja dan keluar dari kamar, pria itu berteriak memanggil dari arah dapur. Meminta Cia mencicipi masakan barunya. Sedikit aneh karena masakan itu jelas sekali sesuai dengan selera gadis itu. Makanan sehat! Cia jadi curiga Declan sengaja memasak makanan itu untuk sarapannya. Jika Cia bertanya, Declan pasti akan langsung memicing sambil mendengus. “Kepedean lo jadi manusia.” Begitulah kira-kira yang akan dia ucapkan.

Setelah menjadi istri Declan, Cia bahkan tidak pernah melewatkan sarapan saat pergi bekerja. Mereka juga sering sarapan bersama setelah Declan menyiapkan. Dan jika memang Declan akan berangkat kerja lebih dulu, setumpuk makanan untuk sarapan dan bento sudah terletak di meja makan. Tidak ada memo seperti waktu pertama Declan menyisakan makanan untuknya. Tapi Cia yakin Declan memang menyiapkan makanan itu.

Sedang pria yang sekarang tengah berbincang dengan beberapa koleganya, merasa lebih percaya diri karena sang istri yang melingkarkan lengan padanya. Seperti sudah terbiasa atau hanya menyadari situasi yang ada, Cia tak lagi perlu diberitahu untuk berlagak mesra di depan banyak orang seperti ini. Dia sudah bisa memahami. Dan Declan berusaha untuk tidak terbawa suasana karena perlakuan Cia ini. Lebih baik Declan menikmati apa yang membuat hatinya bahagia dan bersikap seprofesional mungkin untuk menjadi suami yang baik pula.

Seperti yang Declan sendiri katakan, tidak mencintai bukan berarti harus membenci. Meski mereka menikah dengan cara yang sangat aneh, tapi bukankah lebih baik jika keduanya saling menjadi teman? Toh, mereka terlihat cocok menjadi teman bercerita.

Ngomong-ngomong Declan benar dengan ucapannya tadi, fesival film ini akan mengadakan outdoor event pelepasan lampion. Dan taman lebar ini sudah di penuhi banyak manusia untuk mengikuti event tersebut.

“Rame banget orangnya, Jota,” ujar Cia merapatkan diri ke arah Declan yang sudah menoleh.

“Lo gak nyaman?” tanya pria itu dengan suara sangat lembut. Diliriknya Declan yang menatap dengan minim makna. “Just do something to make you better, Ivy,” ujarnya tersenyum kecil.

Tanpa menunggu, Cia langsung menggenggam telapak Declan yang ternyata sangat hangat. Perasaannya langsung menjadi sedikit lebih baik. Belum lagi, Declan bahkan membalas genggaman itu. Hanya menggenggam tangan Declan yang terpikirkan saat Cia membutuhkan kenyamanan di tengah banyaknya manusia di taman ini. Jika benar-benar berhasil seperti ini, mungkin itu hanyalah bonus. Sedang Delan sedang menenangkan jantungnya yang berdegup tak berirama dan bisa dia rasakan darahnya mengalir lebih kencang ke seluruh tubuh sehingga membuat badannya menghangat. Declan bisa merasakan seberapa lembut telapak sang istri.

“De.” Panggilan seseorang membuat mereka menoleh kompak. Seseorang muncul dengan senyuman ramah dan lebar. Cia pernah melihat pria muda ini di acara resepsi waktu itu.

“Langit.” Ah, benar! Dia jelas adik dari Tobias.

Kedua pria itu saling memeluk seolah lama tak berjumpa. Tapi Declan bahkan tidak melepaskan genggamannya pada sang istri. Pria itu bahkan tidak membiarkan jemari Cia kedinginan sehingga membuat kepanikannya kembali mendominasi. Lihat, betapa manisnya pria ini, bukan? Tunggu dulu, apa aku baru saja memujinya?

“Doain film pendek gue sama Declan jadi pemenang ya, Mbak Ci,” ujar Langit setelah selesai bersapa dengan Declan. Kelihatannya, Langit adalah pria yang punya kepribadian hampir mirip dengan Declan. Sangat ramah sehingga terus memanggilnya Mbak Ci dengan nada akrab. “Gila sih laki lo, Mbak Ci. Ternyata bisa seserius itu kalo lagi kerja. Projek ini kali pertama gue ngeliat dia jadi sutradara. Biasanya dia selalu komplain kalo gue galak pas nyutradarain klip-klip gitu. Eh ternyata, dia lebih galak daripada gue. Artis-artis cewek yang tadinya mau ngedeketin dia jadi mundur sendiri sangking galaknya ini manusia.”

Langit menggelengkan kepalanya sambil menunjuk Declan dengan begitu dramatis. Sedang pria itu hanya tersenyum miring saat sang sepupu menjelaskan bagaimana dia saat berada di tempat kerja.

“Mereka tahu kali kalo Declan udah punya istri, Lang,” jawab Cia mencoba memberi respon pada ocehan Langit dan juga untuk memuaskan rasa penasarannya.

“Dih, Mbak Cia. Cewek jaman sekarang mah mana peduli kali sama pria yang beristri apa enggak. Kalo mereka suka, ya embat aja semau mereka.” Benarkah begitu? Apa cewek-cewek jaman sekarang benar-benar tidak peduli dengan status pria yang mereka sukai? Langit mungkin mengada-ada. Tapi kemungkinan Declan disukai banyak wanita itu jelas bisa saja terjadi. “Tapi Mbak Ci tenang aja, dia gak bakal selingkuh meskipun kerja jauh dari Mbak Ci berbulan-bulan. Gimana cewek mau deketin, selain galak, Declan juga to the point banget jadi laki. Kalo sadar itu cewek mulai deketin dia, dengan bangganya itu dia langsung nunjukkin cincin kawin kalian. Juga ya, Mbak Ci, wallpaper handphone Declan itu foto kalian berdua lho. Gue-“ Ucapan Langit langsung terpotong saat Declan tanpa permisi membekap mulut pria yang sekarang mengumpat pelan ke arah Declan.

“To much information, Langit. Jangan comel kebangetan deh itu mulut,” sungut Declan menggeratkan giginya. Jika Langit terus dibiarkan berbicara, bisa-bisa semua rahasianya akan terbongkar di depan Cia. Ah, soal wallpaper handphone, Declan memang memasang foto mereka berdua saat pemotretan bersama Daven waktu itu. Tak ada alasan khusus. Declan hanya suka fotonya bersama sang istri.

“Ya, kenapa sih? Langitkan ceritanya sama gue. Kok lo yang sewot?” tanya Cia berniat mewakili Langit yang sekarang mengangguk setuju. Tapi Cia langsung terdiam saat Declan membesarkan matanya. Diliriknya Langit yang kini mengerutkan alisn. Oh-uh! Langit merasakan ada yang salah dipercakapan ini.

“Cool!” Terdengar teriakkan dari Langit yang membuat genggaman keduanya mengerat. “Kalian masih manggil pake lo dan gue setelah menikah?” Wajah Langit berubah cerah. “That’s cool! Gue pengen banget suatu saat nanti menikah dan masih bisa manggil bini gue dengan panggilan santai kayak temen begitu,” ujar sepupu Declan itu dengan wajah berbinar.

Harus Cia akui bahwa sudah menghempaskan napas lega saat mendengar ucapan Langit yang tidak mempermasalahkan panggilan mereka. Anak itu justru menganggap bahwa hal itu adalah sesuatu yang menakjubkan.

“Jangan mikir mau kawin lo. Cari pacar dulu sono,” ujar Declan sambil mendorong bahu Langit yang tersungut.

“Entar Mbak Ci kenalin Langit ke salah satu temen model Mbak Ci, ya.” Apa Cia bersikap sok akrab sekarang?

“Siap, Mbak Ci. Janji, ya?”

Langit mengulurkan jari kelingking ke arah Cia. Tapi, belum sempat Cia menyatukan jari kelingkingnya pada Langit sebagai tanda perjanjian, Declan lebih dulu memukul tangan Langit dengan wajah datar.

“Gak usah cari kesempatan megang-megang istri gue lo, Lang,” ujar Declan menatap Langit tajam.

“Tuh, kan,” tunjuk Langit. “Galak banget emang ini manusia, Mbak Ci. Gue sodaranya aja gak boleh megang-megang Mbak Ci coba,” ujarnya dengan gelengan tak percaya.

Declan hanya tersenyum tipis. Cia menatap pria itu dengan perasaan penuh. Gadis itu bahkan tidak menyangka akan semenyenangkan ini dilindungi oleh seseorang. Declan selalu mengucapkan kata istri dengan nada begitu bangga. Atau itu hanya perasaannya saja?

***

“Gue padahal pengen satu lampion buat gue sendiri, Jota,” bisik Cia menyembulkan kepala dari balik lampion yang sekarang sedang mereka pegang.

“Satu orang cuma dikasih satu, I. Ya udah, sih,” balas Declan membiarkan sang istri mendengus.

“Tapikan kita berdua.” Dan Cia masih keukeuh menginginkan lampion lain untuk dirinya sendiri.

“Gak ada pasangan yang jadinya aku sama kamu. Pasangan selalu menjadi kita yang berarti satu. Itu kenapa, gue sama lo cuma di kasih satu lampion,” Declan jelas menekan kata gue dan lo dikalimatnya. “Karena mereka pikir,” Dia menunjuk para panitia dengan dagunya. “Pernikahan ini udah ngebuat gue sama lo menjadi kita.” Tak mudah bagi Declan mengatakan itu. Tapi kenyataan haruslah diperjelas.

Tapi tanpa Declan tahu, bahwa ada nyeri yang Cia rasakan saat mendengar ucapan itu dari Declan. Apa mereka belum benar-benar menjadi kita selama beberapa bulan ini menikah? Kenapa dadanya menjadi sesak dan wajah Cia terasa panas? Lagipula, bukankah dari awal dia sendiri yang menginginkan pertemanan dipernikahan ini? Lalu kenapa Cia sendiri jugalah yang merasakan tidak adil mendengar Declan mengatakan bahwa mereka belum menjadi kita?

“Lagian kenapa sih lo mau dua banget?” Suara Declan menarik gadis itu kembali kekenyataan.

Dilihat Declan yang ternyata juga sudah menyembulkan kepalanya di seberang sana. Cia membalas tatapan lekat yang Declan berikan. “Gue mau nulis harapan gue sendiri,” jawabnya tanpa tersenyum.

Declan mengangguk paham. “Oke, gue kasih harapan gue untuk lo dilampion ini,” balas pria itu mulai menulis sesuatu di sisi lampion yang ada di depannya.

Cia juga sudah melihat sisi kosong dilampion yang ada dihadapannya. Sebenarnya, apa yang Cia harapkan dengan tulisan di lampion ini? Harapan yang seperti apa yang ingin dia tulis di sini?

“Oke, dalam hitungan mundur dari 10, kita akan sama-sama melepas lampion dengan harapan yang sudah tertulis ke udara.” Suara pembawa acara membuat gadis itu tersentak dan langsung menulis begitu saja. “Mari sama-sama berhitung. Sepuluh, sembilan, delapan...”

Cia akhirnya menyelesaikan tulisannya. “Jota,” panggilnya sedikit keras. Pria itu kembali memperlihatkan wajahnya dengan tatapan bertanya. “Lo buat harapan apa?”

“...satu!” teriakkan itu membuat keduanya langsung melepaskan lampion yang sekarang sudah terbang bersama banyak lampion lainnya di atas sana.

Langit malam yang gelap, terhiasi dengan cahaya dari lampion dan harapan-harapan di dalam sana. Gadis itu mendongak. Mencoba menjadi lampion yang mereka terbangkan bersama.

“Semoga, harapan kamu menjadi nyata, Ivy.” Declan benar-benar tidak tahu dengan harapan apa yang Cia tuliskan. Tapi apapun itu, Declan akan tetap memberi dukungan.

Cia menoleh dan menemukan senyuman manis dari Declan. Cia merasakan matanya yang tiba-tiba saja terasa panas. Pasti sudah ada genangan airmata dipinggirannya. Cia tahu, Declan adalah pria yang baik. Bahkan, sangat baik. Bahkan caranya menatap Cia pun nampak begitu tulus. Mereka hanya saling tatap. Seolah mencari makna dari sorot yang saat ini mereka bagikan.

Saat Cia berharap Declan tak melihat apa yang dia tulis di balik lampion itu, Declan malah membiarkan hatinya penuh karena nyatanya tulisan sang istri sempat dilihatnya dengan jelas.

“Bisakah aku dan kamu benar-benar menjadi kita, Jota?”

Bukankah itu harusnya menjadi harapan Declan?

***

Cia menatap wajah Declan yang menekuk lusuh. Kedua tangannya bahkan saling bersentuhan tak nyaman. Berkali-kali dia mendengar helaan berat dari sang suami. Dua kancing teratas kemeja Declan juga sudah terbuka. Mereka masih berada di acara festival film. Beberapa hiburan sedang berlangsung di atas panggung di depan sana. Tapi perhatian Cia sepenuhnya habis untuk pria di sampingnya. Pria itu terlihat tidak lagi bersemangat sesaat setelah pengumuman pemenang film pendek di festival. Melihat bagaimana kecewanya wajah dia saat ini, jelas bahwa film Declan bukanlah pemenangnya. Film pendek yang digarapnya bersama Langit hanya masuk ke dalam sepuluh besar pemenang.

Cia tidak pernah mengira bahwa Declan adalah pria yang cukup perfeksionis untuk segala sesuatu yang dia kerjakan. Terbukti dengan semangatnya yang sedikit luntur karena tidak memenangkan festival ini.

“Gue malu sama semua tim yang udah rela ngeluangin waktu untuk film pendek ini, I.” Benar. Declan juga merasa bersalah dengan timnya. Terutama pada Langit yang mendukung penuh pembuatan film ini. Timnya pasti jauh lebih kecewa. Mereka sudah bekerja sangat keras. Bahkan melebihi dirinya sendiri.

Declan tersentak dan langsung menoleh sesaat merasakan genggaman di tangannya. Sang istri tersenyum menenangkan di sampingnya.

“Jota, you’ve done a jota work. Lo udah jadi pemenang dengan memberikan sepenuhnya usaha untuk film yang lo garap, Jota. Langit dan semua kru bahkan muji lo habis-habisan karena kerja keras yang udah lo kasih untuk film ini. Terlebih, gue bangga banget waktu liat film lo yang ditampilin di layar besar depan sana, sangat bagus dan menyentuh,” ujar Cia menunjuk ke arah panggung. Lalu menggenggam tangan Declan dengan kedua telapaknya. “Good job, Jota. I’m proud of you. Lo udah memenangkan semua rasa bangga yang ada sama gue. You got a superb good impression of your wife. Isn’t that enough?” Cia memiringkan kepalanya untuk memberikan senyuman yang lebih lebar ke arah sang suami. “So, can you gimme a smile, now?”

Declan menunduk sekilas. Ada senyuman samar yang bisa Cia tangkap dari wajah pria itu. Kembali Declan melihat sang istri dengan tulang pipi yang terangkat. “Thanks,” ucapnya lirih yang langsung membuat Cia mengangguk.

“Temen juga akan selalu saling support satu sama lain, kan?”

Ini gila! Kenapa Declan terus melupakan jika Cia hanya menganggapnya sebagai teman? Lalu apa maksud dari tulisannya di lampion? Bukankah itu harapannya untuk kehidupan mereka nantinya? Tapi kata teman kembali muncul setelah Cia bersikap seperti yang istri-istri lakukan pada sang suami. Dan Declan tidak bisa berbuat apa-apa untuk mengubahnya. Menyebalkan!

Pria itu mengangguk satu-satu. Menggeser tubuhnya untuk bisa melihat penuh ke arah sang istri. “Jadi, apa boleh gue dapet pelukkan penenang dari temen gue ini?” pinta Declan.

Meski sedikit terkejut, anggukan akhirnya menjadi jawaban setuju dari Cia untuk pelukan penenang yang Declan minta. Lengan besar pria itu merangkum bahunya dengan begitu lembut. Dan, hei! Apa ini? Cia yang harusnya memberikan ketenangan untuk pria itu. Bukan dia yang malah merasa nyaman dengan pelukan ini? Tapi ini benar-benar nyata, segala hal tentang Declan terasa begitu hangat. Usapannya, ucapan semangatnya, tatapannya, dan sekarang? Pelukkan ini jelas sangat menghangatkan.

Sedang Declan yang berusaha mengikuti sampai mana sandiwara ini berjalan, dengan tanpa tahu malu mengambil kesempatan. Cia mengangguk dengan permintaan gila dari Declan yang seharusnya bisa dia tolak, jika itu memang tidak membuat gadis itu nyaman. Declan tak lagi mau bersuara. Ditarik tubuh sang istri dalam pelukan. Menghirup sepuasnya aroma tubuh Cia yang benar-benar membuatku ketagihan.

Gadis itu mengusap punggung Declan pelan. Dan itu membuat Declan menggila. Rasanya, dia tidak ingin mengangkat kepala dari ceruk leher gadis yang sebenarnya adalah istrinya sendiri.

Bukankah sebenarnya, mereka sudah menjadi kita yang diinginkan?

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel