Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

LAGI-LAGI CERITA AKHIR PEKAN BERSAMA

Declan membuka kulkas dengan mata yang masih berat untuk terbuka. Udara sedikit dingin karena hujan semalam. Tapi pria itu sepertinya tidak berniat menggunakan baju panjang. Dia bahkan selalu menghidupkan pendingin ruangan meskipun sedang hujan. Declan tidak tahan dengan hawa panas. Dengan AC yang menyala, Declan bahkan bisa bertelanjang dada. Jika memang terlalu dingin, dia hanya akan memakai baju tanpa lengan. Meskipun setelahnya, dia jelas langsung terserang flu. Tidak masalah selama ada obat untuk membuatnya sembuh dari flu menyebalkan itu.

Baiklah, apa yang harus Declan buat untuk sarapan kali ini? Biasanya, dia tidak bisa kembali tidur jika sudah terjaga, meskipun masih sangat mengantuk. Itulah sebabnya dia memilih untuk segera bangun dan melakukan apa pun yang bisa dikerjakan. Apalagi yang menyenangkan selain membuat sarapan di pagi yang sejuk ini untuk istri tercinta? Haruskah dia mencari apa yang bisa dimasak lebih dulu diinternet? Diraihnya ponsel dan mulai mencari tutorial makanan di youtube.

Ah, benar. Declan baru ingat sempat melihat resep ayam sup khas korea yang merebus semua bahan tambahan di dalam isi perut ayam tersebut dari youtube. Sepertinya cocok untuk sarapan diudara dingin seperti ini. Segera dikeluarkannya segala bahan yang akan digunakan dari kulkas.

“Jota.” Serak suara khas bangun tidur terdengar.

Declan menoleh dan mendapati sang istri berjalan gontai dengan berkali-kali mengusap matanya yang masih bengkak karena bangun tidur. Gadis itu duduk dengan mengangkat kakinya ke atas kursi dan memeluk lutut. Sepertinya dia kedinginan. Wajah Cia terlihat sama bengkak dengan matanya. Kulitnya yang bersih terlihat lebih bersinar jika baru bangun tidur seperti ini.

“Morning, Ivy.” Declan meletakan segelas mineral di meja depan Cia yang langsung meraih dan menenggak sampai habis. Senyuman samar tersemat di sudut bibir sang suami yang kembali sibuk dengan kegiatan memasaknya.

“Sarapan apa, Jota?” tanya gadis itu masih dengan suara parau.

“Ayam sup.” Declan menoleh dan melihat Cia yang tersenyum lebar sambil mengacungkan kedua ibu jarinya. Manis sekali istriku.

“Enaknya weekend begini ngapain ya, Jota? Gue pengen jalan-jalan, deh.” Cia menghela napas bosan.

Declan berbalik setelah menyelesaikan ayam dan sudah merebusnya. “Mau jalan-jalan di sekitaran apartemen? Ada taman yang nyediain beberapa alat buat olahraga.”

Wajah gadis itu berbinar. “Mau! Gue tinggal di sini udah dua bulan juga gak lo ajakin ke mana-mana. Gue jadi gak tahu daerah sekitaran sini.”

“Ya makanya ini gue ajak.” Declan memutar malas bola matanya.

Cia terkekeh sekilas. “Jota, ada alpukat gak?”

Pria itu berpikir sejenak. “Kayaknya ada beberapa buah. Kenapa?”

“Gue suka banget sama alpukat. Kalo lo mau buatin jus bakal gue minum kok.” Cia menunjukkan sederet gigi ratanya.

Declan mendengus pelan. “Bilang aja nyuruh gue buatin jus.”

“Maksud gue itu.”

Jika hanya sekedar jus alpukat, Declan bisa membuatkannya kapanpun Cia mau. Ah, Declan harus menambah persediaan alpukat setelah ini agar Cia tidak kesulitan jika ingin membuat jus sendiri seandainya Declan sedang tidak ada di rumah.

***

Cia terlihat sangat bahagia saat mengelilingi taman di komplek apartemen yang ternyata sangat ramai jika akhir pekan. Banyak keluarga dan anak-anak muda menghabiskan pagi mereka dengan berjalan-jalan, berolahraga, atau sekedar duduk-duduk santai sambil berkumpul.

“Lo sering jalan ke taman ini?” Cia menoleh sambil terus berjalan di samping sang suami.

“Kalo ada waktu aja. Biasanya gue joging tiap pagi sebelum berangkat kerja sama sore kalo luang.”

Mata gadis itu menyipit. “Pagi jam berapa? Gue gak pernah liat lo joging.”

“Lo kan biasanya bangun waktu gue udah berangkat kerja. Mana bakal tahu gue joging jam setengah 6 pagi.”

Cia berdecak dengan wajah kesal. Dan Declan hanya menunjukkan senyuman miringnya. Mereka melanjutkan aktivitas jalan pagi ini. Sesekali Cia mencoba alat olahraga yang disediakan pihak pengelola taman untuk kegiatan positif yang bisa dilakukan oleh penghuni apartemen. Cia banyak tertawa, melangkah dengan sesekali melompat kecil. Rambutnya yang terurai panjang, berkali-kali menari karena gerakkan dari sang pemilik.

Ah, soal mereka yang berkata buruk tentang sang istri, harusnya bisa melihat bahwa Cia hanya seseorang yang tidak pandai bersosialisasi. Dia bahkan hanya tersenyum kecil saat Declan menyapa para tetangga. Tapi jika bisa mendekatinya dengan cara yang tepat, mereka juga akan berpendapat yang sama bahwa Cia sangat menyenangkan untuk diajak berteman. Tapi Cia sepertinya sudah menutup diri untuk para rekan modelnya. Dia sudah memutuskan untuk tidak ingin beramah tamah pada mereka. Baiklah. Aku hargai pilihannya.

Buktinya, kini dia mau membantu seorang balita yang terjatuh karena berjalan sendirian. Lalu membuat sedikit percakapan dengan ibu si balita.

“Gue interaksi sama tetangga kita, Jota.” Ivy bergerak riang. “Anaknya juga gemesin banget.”

Ah, andai kita yang dia ucapkan benar-benar sempurna bersama makna yang sesungguhnya, Declan pasti sudah memeluk dan segera mengajaknya kembali pulang untuk menciptakan sendiri balita mungil seperti yang dia katakan tadi. Khayalan sialan!

***

“Mau ke mana, Jota?” tanya Cia sambil memanjangkan leher untuk melihat ke luar mobil yang masih bergerak.

Declan tersenyum tipis sambil melihatnya sekilas. Akhir pekan yang akan menjadi spesial karena bisa menghabiskan banyak hal dengan sang istri untuk pertama kalinya. “Kita harus nikmati weekend dengan baik, Ivy,” jawab Declan mengedipkan sebelah mata yang dibalas dengan tatapan curiga dari sang istri. Declan terkekeh dan langsung memutar setir memasuki pelataran tempat banyak mobil dimandikan.

“Ngapain bawa gue ke sini, Jota?” Cia memulai aksi protesnya.

“Ya nyuci mobillah, I. Masa iya mau numpang mandi.”

“Gak lucu!”

“Tapi gue ngakak, nih.” Declan terbahak dibuat-buat. Dan pukulan keras di lengan menjadi hadiah dari istrinya yang terlihat kesal sekarang. “Turun,” suruh pria itu setelah menghentikan mobil dikubikel besar yang tersedia.

Meski masih bingung dan ragu, Cia akhirnya mengikuti. Gadis itu berdiri di samping mobil dengan lengan menyilang di depan dada. “Gue males nunggu beginian, Jota. Apanya yang menikmati weekend kalo gini?” Berkali-kali Cia menghentakkan kakinya dengan sebal.

Declan mengulum senyum. Tanpa menjawab, pria itu berjalan ke arah belakang kubikel dan memasukkan beberapa duit koin ke dalam kotak yang menyediakan beberapa tombol untuk melakukan pencucian. Iya. Tempat cuci mobil ini memberikan keleluasaan pada pemilik untuk mencuci mobilnya sendiri. Jika memang ingin dicucikan, mereka juga menyediakan. Tapi kali ini Declan memilih layanan penyucian personal. Dia ingin menghabiskan sehari lagi berbahagia dengan sang istri. Agar nanti ada kenangan. Agar Cia tak begitu saja melupakan. Sebab kebersamaan mereka adalah nyata. Tak hanya sekadar Declan yang mengkhayalkan.

Ditariknya selang penyedia air dan mulai menghidupkan dengan tekanan kecil. Declan mengarahkan air yang keluar ke arah kaki Cia yang terkejut.

“Jota!” Dia berbalik dengan mata membulat sempurna.

Declan tertawa. “Siapa bilang kita ke sini cuma nunggu? Kerja sendiri, biar mobilnya bersih sesuai keinginan.”

“Jadi ini layanan cuci mobil yang bisa pelanggan sendiri yang nyuci?” Declan mengangguk membenarkan. Air wajahnya berubah ceria. “Ada juga di Indonesia? Ah, gue mau bantu.”

Dia berlari mendekati sang suami dan langsung menarik paksa selang panjang itu. Lalu mulai membasahi mobil dengan riangnya. Declan mengambil selang lain yang bisa mengeluarkan sabun untuk membersihkan mobil. Declan mendekatkan ember dan sponge-sponge yang tersedia. Cia membantu dengan sesekali mencipratkan sabun ke arah Declan yang jelas tidak mau kalah dan membalas. Lalu Cia melakukannya berulang bahkan lebih parah sampai setengah baju dan celana Declan basah. Mereka saling mengejar mengelilingi mobil. Tanpa sadar, Declan langsung memeluk Cia dari belakang saat bisa menangkapnya. Gadis itu tertawa kuat sambil terus berusaha mengarahkan sponge penuh sabun ke arah sang suami.

Tubuh Declan tiba-tiba menghangat saat dirasakan punggung Cia di dadanya. Gadis itu meronta, tapi tak berniat menolak atas pelukan suaminya. Dia bahkan hanya terus mengulang ancamannya akan menyiram Declan. Astaga! Declan malah yang terpaku di sini. Dia bahkan tidak sadar saat Cia bisa melepaskan diri dan langsung menyiramnya sambil terbahak.

Sadar, Declan! Cepat kendalikan diri.

Segera Declan meraih ember yang berisi sedikit air dan kembali mengejarnya yang berteriak bahagia. Meski benar-benar ingin memeluk Cia yang mungkin saja kedinginan sebab bajunya sudah cukup basah dan ingin menghentikan kegiatan mereka dengan segera agar gadis itu tidak sakit, tapi nyatanya, Declan malah melanjutkan semuanya. Sebab tidak ingin kehilangan kesempatan melihat bagaimana Cia tertawa dengan riang. Tak canggung menyentuhnya dan terus memanggilnya dengan nada manja. Istrinnya yang sangat kompetitif, namun dengan kecurangan karena tak berhenti bersikap manis pada Declan yang langsung luluh dan mengalah.

Ah, aku bisa apa jika sudah seperti itu? aku ini memang pria yanug lemah.

“Selesai.” Cia menghela napasnya sambil menoleh dengan senyuman lebar.

Declan mendekat sambil mengulurkan tangan. Menyentuh lengan baju dan beralih pada ujung baju bawah sang istri yang nampak terkejut tapi memilih untuk tetap diam. Jeans yang dipakai Cia juga basah hampir setengah.

“Baju lo basah semua,” ujar Declan membalas sang istri yang sejak tadi menatapnya.

“Lo juga,” balasnya menghadap sang suami dan ikut menyentuh setiap bagian baju Declan yang basah. “Kita jemuran aja, Jota.” Cia mengulas senyuman. “Lagi panas banget ini,” sambungnya melihat ke arah matahari yang sedang sangat terik di atas sana. Cia beranjak dan duduk di bagian depan mobil. “Jota sini. Berjemur biar kering.” Tangan Cia melambai mengisyaratkan agar Declan mendekati.

Declan terkekeh pelan. Lalu berdiri di depan sang istri yang mendongak untuk bisa mencapai manik gadis itu. “Gue bawa baju ganti kok. Buat lo juga. Gak tahu lo bakal suka apa enggak, tapi kita harus jalan lagi.”

Alis gadis itu berkerut tak mengerti. “Mau ke mana lagi?”

Declan menunduk, mensejajari wajah dengan Cia yang kini tak lagi berusaha untuk menjauh saat dia semakin rapat memangkas jarak. “Pantai,” jawabku pelan. Mata gadis itu langsung berbinar. “Suka?”

Cia mengangguk cepat dengan penuh semangat. “Suka banget, Jota. Sama lo gue hepi terus.”

Memang itu yang Declan harapkan. Pria itu tersenyum miring sambil mengusap pelan ujung kepala sang istri. Declan pastikan, hari ini akan benar-benar menyenangkan.

***

Cia sudah berlari dengan semangat di pasir putih yang menjadi tempatnya menapak. Baju yang Declan belikan terlihat sangat pas. Declan menahan tawa saat mengingat bagaimana Cia memakai baju itu dengan setengah hati. Gadis itu bahkan mengomel karena merasa Declan kembali mengerjainya.

“Ini namanya baju couple, Jota,” protes Cia tadi.

“Oh, ya? Gue gak tahu kalo bajunya sama.” Declan pura-pura tidak tahu menahu dan menolak acuh.

“Lo sengaja deh pasti.”

“Gue cuma ambil satu, I. Tapi dikasih satu lagi sama Mbaknya. Buy one get one free deh kayaknya.”

Cia tersungut sambil berlalu mengganti pakaian. Declan tersenyum melihat istrinya yang sebal tapi tetap mengganti pakaian. Mungkin juga karena bajunya basah. Ah tak apalah. Declan memang sengaja. Tentu saja ini baju couple. Kaos bercorak tentara ini sangat menarik perhatian saat dia berjalan melewati salah satu toko baju. Beruntungnya baju ini memang dibuat untuk pasangan. Declan sudah merencanakan ini. Toh, Cia sudah melupakan kekesalannya dan malah berteriak senang sambil terus bermain di pinggir pantai. Bajunya pasti akan basah lagi. Cia yang ceroboh.

“Jota, gue masuk ke air, ya?” Cia duduk di samping Declan dengan wajah memohon.

Pria itu berdecak. “Entar bajunya basah lagi, I.”

“Kan baju lo masih ada.” Gadis itu menarik bajunya dan menangkupkan kedua telapak di depan dada. “Boleh, ya? Orang rame banget yang masuk ke air, Jota.” ditunjunya orang-orang yang menikmati air pantai. Lalu kembali melihat sang suami dengan mata menyipit yang dibuat-buat.

Declan menghela kalah. “Jangan jauh-jauh. Ombaknya lagi gede banget.”

“Yey. Jota the best.” Cia langsung berlari tanpa memikirkan dua kali. Pria itu menggeleng melihat sang istri yang begitu bahagia.

Sebenarnya, Declan juga ingin ikut berlari bersama istrinya di pinggiran pantai. Menikmati air dingin yang pasti menyegarkan. Tapi dia tidak ingin kehilangan kendali seperti tadi. Declan bisa saja memeluk Cia lebih erat. Menciumnya tanpa lagi peduli akan bagaimana tanggapan gadis itu. Dan Declan tidak mau jika sampai itu terjadi. Cia pasti akan menjadi tidak nyaman. Cukup begini saja. Jika Cia merasa canggung dan malah menjauh, itu akan semakin menyiksa.

Teriakan banyak orang membuat Declan tersadar dari lamunan sekilas itu. Dilihatnya ke arah pantai sambil melepas kacamata untuk melihat lebih jelas. Astaga, tidak! Declan berlari kencang ke arah pantai saat benar-benar memastikan bahwa seseorang yang sedang melambaikan tangannya dengan wajah berada di air itu adalah Cia. Istrinya tidak boleh terluka.

Segera Declan meraih tubuh Cia yang ternyata tersapu ombak cukup jauh dari orang-orang di sekitarnya saat sudah ikut terjun ke air. Dan keadaan air cukup dalam untuk kaki bisa menapak. Tapi seharusnya, Cia bisa berenang dan berusaha menepi. Lalu kenapa dia malah tenggelam seperti ini? Declan bisa merasakan Cia memeluk erat saat dibawa Declan dalam gendongan ke tepi pantai. Declan tidak boleh panik, Cia pasti sedang sangat terpukul sekarang.

“Kaki gue kram, Jota. Gue kejauhan main airnya.” Cia terisak sambil mencoba berbicara dengan sang suami. “Sorry.”

Astaga! Ini bukan saatnya gadis itu meminta maaf. Sebab Declan hanya sangat khawatir tanpa memikirkan hal lain sekarang. Declan berdiri di lutut dan mencoba menurunkan tubuh Cia yang masih menggantungkan lengan di lehernya.

“Masih kerasa kramnya?” tanya Declan, hati-hati. Declan bahkan terkejut dengan kelembutan suara yang diciptakannya.

Cia mengangguk sambil menarik air dari hidungnya. Lalu memeriksa kram di kaki kiri yang Cia tunjuk. Declan mencoba menggerakan kaki sang istri agar sedikit reda dan mengurangi rasa kramnya. Bisa Declan rasakan Cia yang mencengkram erat lengannya. Pasti sakit sekali. Beberapa orang di sekitar mendekati mereka.

“Nak, istrinya gak papa?” tanya salah satu pengunjung kepada Declan.

Pria itu mendongak dan mendapati seorang ibu paruh baya menunduk untuk memastikan keadaan mereka. “Gak papa, Buk. Tapi, boleh saya minta tolong, Buk?”

“Oh, boleh. Apa ada yang diperlukan?”

“Saya butuh handuk sama mineral.”

“Ah, sebentar, ya. Ibu carikan dulu.”

Declan menghela napas lega karena si Ibu mengerti maksudnya. Setelah Ibu itu pergi, Declan kembali melihat Cia yang masih menangis. Diusap pipin sang istri yang langsung melihat sambil mendekat. Dipeluknya tubuh Cia erat.

“Gue takut banget, Jota.” Suara Cia terdengar serak dan tubuhnya menggigil.

“Ada gue, I. Gue di sini.” Declan hanya bisa menenangkan dengan mengusap kepala belakang Cia. Rambut gadis itu sepenuhnya basah.

Tak lama, Ibu tadi datang dan memberikan mineral beserta handuk yang Declan pinta. Segera pria itu berterima kasih sebelum si Ibu meninggalkan mereka.

“Minum dulu, ya.” Cia menurut dan mulai meneguk air dari botol. Sedang Declan mulai melebarkan handuk dan menutupi tubuh istrinya yang kedinginan. “Kita pulang,” ujar Declan setelah Cia selesai minum.

Gadis itu mengangguk sambil mengusap pipinya yang basah. Declan sudah kembali menyisipkan tangannya di antara kaki sang istri. Tapi Cia mendorong pelan. Declan menatap dengan wajah bertanya.

“Gue bisa jalan kok. Jauh banget kalo lo mau gendong gue, Jota.” Wajah Cia terlihat bersalah.

Oh, istriku yang keras kepala! “Lo jalan dan lo sakit lagi? Gue gak akan buat istri gue terluka, Ivy.”

Tanpa lagi menunggu balasannya, Declan kembali membawa tubuh Cia ke dalam gendongan. Dan gadis itu hanya diam. Melingkarkan lengannya di leher Declan sambil menyembunyikan wajah di ceruknya.

***

“Ivy, gue masuk,” pamit Declan sebelum membuka pintu kamar. Cia sedang berbaring dan tersenyum saat melihat kedatangannya dengan membawa senampan berisi makanan.

Setelah sampai apartemen, Declan menyuruh sang istri untuk segera mandi dan berganti pakaian. Sebelum membuatkan makan malam, pria itu menyempatkan diri kembali memijit kaki sang istri yang katanya sudah mereda. Cia menarik diri dari selimut dan duduk sambil menunggu. Gadis itu langsung menghirup bau makanan yang Declan sediakan.

“Thank you, Jota,” ucapnya sambil meraih sendok dan langsung menyantap makanan dengan riang.

Declan hanya diam sambil tersenyum tipis sambil melihatnya makan dengan lahap. Pria itu benar-benar merasa bersalah karena sudah membawa istrinya ke pantai sehingga membuat hampir celaka seperti ini.

“Maafin gue ya, I. Harusnya gue gak ngajak lo ke pantai,” ujar Delan lirih sambil menunduk.

Terdengar suara Cia menghabiskan supnya. Ternyata dia meminum kuah sup langsung dari mangkuknya. Istriku benar-benar berbeda.

“Gue seneng kok lo ajak ke pantai. Soalnya gue emang suka pantai.” Cia menyengir.

“Tapi lo jadi hampir celaka kayak gini.”

Cia menggeleng tak setuju. “Itu salah gue sendiri, Jota. Kalo gue nurut sama lo gak main terlalu jauh ke pantai, gue gak bakal kayak gini. Lain kali gue gak bakal gini lagi, deh. Janji.”

Cia tersenyum lebar yang membuat Declan tidak bisa berdiam diri tanpa membalasnya. Diusap ujung kepala sang istri. “Thank you.”

“Jadi, bawa gue ke pantai lagi ya, Jota. Sama lo, semua jadi menyenangkan.”

Tubuh Declan meremang seketika. Kepalanya mendingin dan tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Permintaan Cia benar-benar seperti mimpi yang selama ini dia harap menjadi nyata.

Apa dia mengizinkanku membawanya ke mana pun sekarang? Menyenangkan bersamaku? Dia harusnya tahu, bahwa aku sudah lebih dulu merasa bahagia saat dia kembali dan menjadi istriku.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel