Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

PEKERJAAN KE LUAR NEGERI

Senyuman tanpa jeda terus tersemat di kedua sudut bibir Declan saat melangkah menuju apartemen. Pria itu sedang benar-benar bahagia karena pertemuan mendadak setelah mendapatkan telepon dari salah satu production house secara tiba-tiba. Langit yang memang selalu mengikuti ke manapun Declan pergi, juga nampak semangat saat berada di ruangan rapat kecil untuk pertemuan yang direncanakan secara singkat.

Declan ditawarkan menjadi sutradara diprojek film yang diproduseri oleh PH tersebut. Meski ini kali pertama Declan mendapatkan projek film untuk layar lebar sesungguhnya, pria itu tak lantas menerima begitu saja. Langit bahkan sudah mengangguk semangat menyetujui. Alih-alih langsung menyetujui, Declan lebih dulu membaca skenario mentah untuk film itu. Bukan bermaksud untuk selektif, tapi Declan juga tidak bisa mengambil pekerjaan jika tidak nyaman dengan apa yang akan dikerjakan. Semua malah akan kacau, dan dia tidak mau jika itu benar terjadi. Setelah memastikan jika naskah dan plot cukup baik, Declan akhirnya menyetujui dengan merangkap sebagai penulis pendamping langsung. Declan ingin terus mengetahui bagaimana perkembangan dari jalan cerita dari film nantinya. Pihak produser menyetujui dan akan memberikan kontrak sesuai dengan apa yang sudah disepakati esok harinya.

Pria itu masuk ke apartemen untuk segera menemui Cia. Terdengar lirih suara televisi saat Declan meletakkan seluruh barang ke dalam ruang tidur. Tak nampak Cia di sana, sebab sepertinya gadis itu sedang berleha dan menyelonjorkan kaki dengan santai. Bisa dilihat ujung kaki Cia yang menyembul di ujung sofa. Declan berjalan mendekati gadis itu. Apa yang Cia lakukan sampai masih menonton di jam segini? Sudah hampir tengah malam.

Cia hanya melirik kecil ke arahnya. “Have you been, Jota? Pulang malem terus lo.”

Declan tersenyum kecil setelah mendengar suara Cia yang mulai serak. Gadis itu terlihat sudah ngantuk, tapi berusaha untuk terus terjaga demi menonton drama yang sedang berlangsung di tv. Mungkin drama kesukaannya. Declan tidak terlalu tau soal Korea. Istrinya adalah satu-satunya hal yang aku tau soal Korea.

“Kalo ngantuk langsung tidur aja sih, I. Ngapain masih selonjoran di sini?” Pria itu duduk di atas kepala Cia yang menggerakan mata sekilas ke arahnya.

“Dramanya bagus, Jota. Gue kebut nontonnya karena di Korea udah muncul 6 episodes. Pemainnya gue suka banget ini.” Cia menggeliat kecil dengan terus berusaha menormalkan suaranya.

Declan terkekeh. Diletakkan telapaknya di atas dahi sang istri yang kini malah memejam. Alis Declan terangkat sekilas, menyadari betapa dahi Cia bahkan lebih kecil daripada telapaknya.

“Ya ampun. Kayaknya gue bener-bener ngantuk deh ini. Tangan lo anget banget, Jota. Suhunya pas banget buat tidur nyenyak.”

Menyenangkan sekali mendengar kalimat itu dari istrinya. Jika sekarang mereka benar-benar mejalani hubungan pernikahan yang sehat, mungkin Declan sudah menghujani sang istri dengan ciuman di seluruh wajah. Tapi Declan hanya bisa diam dan menatap tanpa bisa berucap. Bibir pria itu terkunci rapat karena kembali terpesona dengan bagaimana wajah sang istri yang bercahaya meski tengah menahan kantuk.

“Something good happen, right?” Dibukanya kecil manik dengan bulu mata panjang itu. “Wajah lo cerah. Lo gak rese’ dan jadi baik banget ke gue.” Kejahilannya mungkin dianggap salah satu kejahatan bagi Cia. “Ada apa? Gue dengerin deh biarpun ngantuk banget sekarang.” Bulu mata Cia bergerak karena sang pemilik terus berkedip pelan. Sepertinya manik itu semakin berat untuk terbuka.

“Gue bakal jadi sutradara film beneran kali ini,” ujar Declan lirih dengan senyuman lebar sambil menunduk melihat sang istri.

Alis Cia terasa bergerak di balik telapaknya. Gadis itu terkejut dan senyuman lebarnya menandakan bahwa turut berbahagia mendengar kabar itu. Tangan Cia terjulur, menepuk-nepuk pelan lengan sang suami yang bisa dicapai. Dan Declan dengan mudahnya tersentuh.

“Housemate gue emang keren! Proud of you, mate.”

Dan satu kata awal dari istrinya mampu membuat Declan bisa kembali sadar dengan dengusan yang menciptakan senyuman pahit. “Tapi syutingnya harus pergi ke luar negeri.” Declan harus mengobati sendiri luka basah yang kembali tergores itu. “Lo gak papa sendirian di apartemen?”

Bolehkah Declan sedikit melupakan kenyataan tentang hubungan mereka yang tak benar nyata ini? Biarkan dia merasakan berbicara dengan suara manja dan mengkhawatirkan Cia tanpa kecemasan. Kali ini saja mungkin tidak apa-apa.

“Gue gak suka sendirian semenjak tinggal sama lo. Tapi gak papa. Demi pekerjaan dan lo emang harus profesional, gak papa kalo lo kerja jauh. Seminggu dua minggu gue masih betah kok.”

“Tapi gue perginya sebulan, I,” ujar pria itu lirih.

Cia langsung terduduk, melihat sang suami dengan bibir mengerucut sebal. “Lama banget! Tega lo ninggalin gue selama itu? Kalo gue kenapa-napa waktu lo gak ada gimana?” Sepertinya, kantuk istri dari Declan itu menguap bersama omelannya.

“Yakan lo bisa ke rumah Ibu. Atau nemenin Mami selama gue gak ada. Lama gak ngeliatin Mami lho kita, betewe.” Declan menahan senyuma saat Cia memukul dengan bantalan sofa.

“Bodo! Pokoknya lo tega ninggalin gue!”

Setelah sekali lagi memukul sang suami, lalu melemparkan bantal itu ke arah Declan, Cia berdiri dan meninggalkannya sendiri di ruang tengah. “Dramanya gimana, I?” Declan bertanya setengah berteriak.

“Tonton tuh drama. Hukuman buat lo!” balas Cia dengan berteriak sambil menutup pintu kamarnya.

Declan terkekeh sambil menghempaskan napas panjang. Cia bersikap terlalu seperti istri yang sesungguhnya. Tiba-tiba sebal karena akan ditinggal kerja lama oleh sang suami. Pria itu jelas sangat bahagia. Tapi dia tidak bisa melupakan kenyataan yang ada. Dan Declan harus tetap bersikap senormal mungkin agar tidak terbawa perasaan dengan sikap istrinya yang semakin waktu semakin menggemaskan itu.

***

Declan mulai menggarap naskah yang sudah diberikan oleh pihak penulis untuk dievaluasi. Untuk jalan cerita seperti ini, pria itu cukup punya bakat membuat plot menjadi benang merah yang bisa menarik perhatian. Declan memberikan kepercayaan pada tim penulisnya untuk mengerahkan segala kemampuan mereka untuk cerita yang diminta oleh pihak produser, Declan hanya meluruskan dengan tambahan-tambahan adegan yang menurutnya harus dimasukkan ke dalam frame.

Berhari-hari Declan mengurung diri di kamar dan hanya keluar saat harus makan. Dia tidak boleh melewatkan makan karena Cia mungkin juga lapar dan menginginkan masakannya. Sesekali gadis itu melihatnya sambil membawakan kopi pahit yang beberapa hari ini sering Declan konsumsi. Meski protes karena dia terus-terusan meminum kopi tanpa gula yang punya kaffein lebih banyak itu, tapi Cia tidak menolak jika dimeminta untuk membuatkan kopi itu. Jika dia sedang tak bekerja tentu saja.

Mereka memang semakin dekat dan akrab. Declan bahkan memintanya mengoreksi naskah yang diselesaikan untuk menilai mana yang harus diganti atau kekurangan apa yang mungkin membuat jalan cerita menjadi tidak berjalan dengan baik. Cia dengan senang hati membantu. Gadis itu, seperti yang diharapkan, dia kritis dan sangat tegas dalam mengomentari sesuatu. Bukan hanya memberi kritik, Cia juga memberikan solusi agar benang merah yang dibuat terlihat lebih halus dan natural.

“Gue bilang juga apa, lo gak boleh nyerah cuma karena gak jadi salah satu pemenang di festival film waktu itu,” ujar Cia memperhatikan Declan yang sedang mengepak barang-barang yang akan dibawa.

Declan tersenyum, melihat sang istri yang berbaring dengan santai di atas bedsofa tempatnya tidur. “Terima kasih atas semangatnya, Nyonya Ivy,” ucap pria itu bersungguh-sungguh.

“Nyonya Declan dong gue,” balas Cia sambil mengunyah keripik kentang yang dibawa.

Declan sempat mengomelinya karena terus-terusan membawa makanan ke kamar pria yang begitu bersih itu. Dia bilang, itulah kenapa kamar utama terlihat sangat kotor sekarang. Karena Cia yang selalu membawa camilan saat akan tidur atau hanya menghabiskan waktu luang untuk berbaring di kamar. Tapi gadis itu tidak peduli, omelan Declan sudah seperti ocehan panjang yang juga sering dia terima selama tinggal bersama Mami sebelum menikah. Meski sangat kesal, Declan jelas tidak bisa berbuat apa-apa. Saat pria itu punya waktu luang, dia akan membersihkan seluruh sudut apartemen dari setelah subuh sampai menjelang magrib. Dia akan menjeda kegiatannya hanya saat jam makan siang dan saat azan berkumandang untuk melakukan kewajiban sebagai manusia. Saat sedang memasak dan membenahi apartemen, Declan berubah menjadi pria yang tidak banyak bicara. Dia hanya melakukan kegiatannya dengan hening. Cia bahkan sering diabaikan jika dia sudah sibuk dengan bersih-bersihnya.

Siapa yang menyangka, dibalik tubuh yang penuh dengan otot itu, Declan begitu sensitif dengan kebersihan rumah. Pintar berbenah, memasak, dan sangat jago dalam judo. Wajah tampan, otot kekar dan watak yang menyenangkan. Tak salah jika Langit mengatakan banyak perempuan yang mendekatinya waktu itu. Huh! Apa Cia boleh menyombongkan diri sekarang? Dari semua perempuan yang memperebutkan Declan, dialah yang menjadi istrinya dan menikmati segala apa yang ada pada Declan setiap hari. Tunggu! Segalanya bukan berarti termasuk kejantanan Declan. Setengah tahun menikah, mereka bahkan tetap tidur di kamar yang terpisah. Jangan berpikir terlalu jauh.

“Absolutely perfect to be true,” balas Declan yang sempat tertegun dengan ucapan sang istri. Dan sepertinya, Cia hanya berucap di luar alam bawah sadarnya.

Apa yang baru saja menjadi topik pembicaraan mereka? Ah, benar. Nyonya Declan. Ja- WHAT!!!!! ARE YOU JOKING, CIA!!! Gadis itu berbalik ke arah Declan, yang masih tersenyum, dengan tatapan bahwa dia benar-benar tidak sadar dengan apa yang baru saja diucapkan. Kalimat itu keluar begitu saja. Sialan! Cia jadi semakin sembarangan saat bersama dengan pria ini.

“Kenapa? Shocked with your own statement?” tanya Declan seolah mengerti dengan apa yang Cia pikirkan. “Watch your words carefully, Ivy. Gue hampir aja percaya dengan kalimat tanpa sadar lo itu,” sambungnya dengan wajah sebisa mungkin untuk biasa saja.

Cia diam, tak berani membalas. Sedikit menarik diri untuk tidak bertemu tatap dengan pria itu. “Luar negerinya ke mana, Jota?” Cia berusaha mengalihkan pembicaraan.

“Jeju,” jawaban singkat pria itu membuat Cia langsung terbangun dan duduk untuk melihat Declan dengan lebih jelas. Manik gadis itu bahkan sudah membesar dengan binar tak percaya setelah mendengar kota Jeju disebutkan. Pria itu merapikan ranselnya di atas koper yang sudah dia susun di pinggiran kamar.

“Gue ikut, ya?” pinta Cia dengan tangan terangkat di udara.

Declan tak menjawab. Pria itu naik di atas bedsofa dan sedikit mendorong tubuh Cia untuk memberinya ruang agar bisa berbaring setelah lebih dulu memberi high five pada tangan gadis yang masih mengudara itu. cia menurunkan lengannya dengan bibir mengurucut sebal. Pria itu kini terpejam dengan helaan napas panjang.

“Jota, gue ikut, ya? Yayayaya?” Paksa Cia mengulang pinta sambil menggoyangkan tubuh sang suami.

“Mau ngapain, I? Ikut terus gak balik lagi ke Indonesia gitu?” balas Declan dengan nada meledek.

“Ish, ya enggak, lah.” Cia menggeser bokongnya untuk bisa melihat Declan dengan lebih leluasa.

“Kenapa? Udah beneran betah di Indonesia?” tanya Declan membuka kecil matanya.

Cia diam mendengar pertanyaannya itu. Benarkah Cia sudah sebetah ini tinggal di Indonesia sekarang? Tapi jikapun kembali ke Korea, Cia sungguh ingin ikut pulang bersama Declan ke Indonesia. Gadis itu merasa sudah memiliki kehidupan di sini. Pekerjaan menyenangkan dengan suami... maksudnya housemate seperti Declan yang selalu mendengarkan dan bisa dijadikan teman dalam segala hal. Declan selalu punya cara untuk menghiburnya yang sedang kebosanan. Memberikan banyak hal positif pada Cia yang tidak terlalu baik dalam bersosial. Mengajarkan gadis itu caranya memasak, meski akhirnya Declan akan kesal dan memilih untuk memasak sendiri. Declan benar-benar sempurna untuk menjadi suami.

Huh! Enak saja para wanita di luar sana yang juga menginginkan Declan menjadi miliknya. Jelas, pria itu suamiku! Siapa yang bisa memiliki dia selain aku, istrinya?

“Emang betah!” Cia mengaku dengan sungutan. “Lo juga bakal kesepian tuh kalo gue gak ada di sini,” sambung Cia ingin balik meledek pria itu.

“Good girl!” seru Declan dengan senyuman. “Lo tuh sebenernya sepeka itu lho.”

Dan tentu saja menjadi senjata makan tuan. Harusnya Declan yang merasa malu, tapi malah Cia yang makin tersipu. Sialan!

“Ih, udah deh,” Lagi-lagi Cia mengalihkan pembicaraan. “Gue mau liburan, Jota. Janji gak bakal ganggu lo deh. Entar kita pisah pas di bandara aja. Terus ketemu di bandara lagi kalo kerjaan lo udah selesai,” usul Cia yang dirasa sangat brillian.

“Satu bulan itu lumayan lama, Ivy. Kerjaan lo bakal terbengkalai di sini. Even lo udah jadi model andalan, tapi kalo sampe selama itu lo ninggalin kerjaan, mereka gak bakal mau percaya sama lo lagi setelahnya,” balas Declan dengan nada datar.

Cia hanya bisa tersungut. Meski tidak setuju, tapi Declan juga tidak sepenuhnya salah. Gosip buruk tentangnya yang meski tidak terlalu besar, namun juga belum memudar, masih sering menjadi momok paling menyebalkan yang bercokol di hati. Dengan menelantarkan pekerjaan, orang-orang pasti akan semakin berpikir semakin busuk tentangnya. And it sucks!

“Tapi bawain gue oleh-oleh.” Sepertinya Cia terlalu mudah luluh dan membiarkan Declan menang dengan pikirannya yang memang tidak salah itu.

Pria itu tersenyum sambil menarik diri untuk duduk. “Siap, nyonya Declan.” Kekehan terdengar setelahnya.

“Jotaaaaa!” teriak Cia saat sang suami langsung melesat pergi setelah lebih dulu memberikan usapan di ujung kepala untuk permintaan maaf karena sudah meledeknya.

“Gue buatin barbekiyu mau gak, I?” teriaknya dari luar.

“Mauuuuuu!” Dan tanpa menunggu, Cia sudah ikut berteriak menjawab tanya Declan dengan suara riang setelah sejak tadi memberengut juga karena ulah pria itu. Ah, tidak! Sungutannya hanya bertahan beberapa detik. Dan terganti dengan wajah tertegun sesaat setelah mendapatkan usapan kepala dari pria itu, lagi. Ya Tuhan! Aku tidak bisa mengelak bahwa sangat menyukai usapan yang Declan berikan!

“Eh, tapi emang beneran itu wallpaper handphone lo foto kita?” tanya Cia mulai mengunyah daging yang baru saja masuk ke mulut.

“Hm,” jawab pria itu sambil meletakkan nasinya di atas meja dan ikut duduk.

“Serius? Gak percaya gue.”

Dia mendengus dan hanya mengulurkan ponselnya. Segera Cia membuka ponsel Declan yang ternyata tidak memakai kode untuk kuncinya. Pria itu terlalu ceroboh, bagaimana jika ada yang melihat dan membuka sembarangan ponselnya? Dan langsung saja, manik gadis itu membuka lebar saat melihat wallpaper ponsel Declan yang benar terpampang foto mereka di sana.

“Sebagian pria beristri gak suka kalo dianggap sebagai bujangan dan dideketi banyak cewek. Dan gue termasuk ke dalam para pria beristri yang kayak gitu. Gue kasih tau kalo lo kepo sama alasannya.”

Dilihatnya sang suami yang dengan santai menyantap makanan. Tak ada perubahan ekspresi dari pria itu. Dan Cia tidak bisa melakukan apapun selain diam dan meletakkan kembali ponsel Declan di atas meja. Semua menjadi hening. Dadanya sesak dengan kepala yang mendingin. Kalimat Declan benar-benar membuat Cia berdebar dan melambung terlalu tinggi karena rasa bahagia yang membuatnya sendiri terkejut.

***

“Telepon gue kalo udah sampe. Seenggaknya, kasih kabar di japri. Jangan telat makan lo. Mungkin beberapa makanan di sana gak sesuai selera lo, tapi olahan ayam sama daging sapinya enak-enak kok. Sup-sup di Jeju juga enak, kimbabnya apalagi. Lo bisa pilih sih. Tapi hindari sup yang warna kuahnya merah, kebanyakan pasti pedes. Bisa-bisa lo gak kerja gara-gara ke toilet mulu.”

Tak banyak kata yang Cia dengar keluar dari pria itu saat dia mengocehkan banyak hal. Hanya sesekali Declan mengguman dan mengangguk pelan. Tapi Cia yakin, pria itu pasti mendengarkan.

“Gue pergi dulu. Kalo kesepian di apartemen, ajak Qila nginep. Kalo enggak tidur rumah Mami atau Ibu,” ujar Declan mengingatkan.

“Iya, bawel ih. Gue bukan anak kecil yang harus lo kasih tau soal begituan deh.” Cia melipat kedua lengannya di depan dada dengan wajah judes.

Declan tersenyum tipis. “Lo juga barusan kayak emak-emak beo yang ngomel melulu, Ivy.”

Cia mendengus mendengar candaannya. “Gih, pergi,” suruh gadis itu dengan gerakkan dagu.

Declan mengangguk dan menarik kopernya pergi dari hadapan sang istri. Dengan senyuman kecil, Cia melihat punggung sang suami yang nampak siap dengan pekerjaan yang akan dilaluinya selama berada di Jeju. Pria si pekerja keras itu tidak akan membuat karyanya menjadi sia-sia. Cia melambai saat melihat Declan menoleh di pintu keberangkatan. Hah! Satu bulan tanpa Declan. Akan seperti apa?

***

Berkali-kali Cia mengumpat dan menendang kesal ban mobilnya yang tiba-tiba saja kempes setelah mengantarkan Declan ke bandara. Dan sialnya sekarang dia berada di pinggir jalan tol yang cukup ramai dengan kendaraan yang berlalu lalang. Jalan ini jauh dari pemukiman warga yang memungkinkan ada bengkel di antaranya. Sempurna sekali, Cia!

Ini sudah yang kesekian kali Cia mencoba menghubungi Mbak Remi, Qila atau Daven. Tapi belum ada satupun dari mereka yang mengangkat teleponnya. Dan jelas, itu menambah kesialan setelah beberapa jam Declan pergi. Jika ada Declan, Cia pasti tidak akan sekhawatir ini. Declan selalu menemukannya di mana pun Cia berada. Akan tetap mengangkat telepon di sela kesibukannya. Langsung menghampiri tanpa banyak alasan. Hah! Lagi-lagi Cia semakin sadar, betapa pria itu membuatnya begitu bergantung. Declan seperti sudah pergi berhari-hari lamanya karena hal ini.

“Cia?” suara yang terdengar ragu itu membuat gadis yang sedang berjongkok itu langsung berdiri. Cia menyipit melihat pria yang sudah membuka kaca mobilnya. “Ngapain di sini?”

Oh ya ampun, tentu saja Cia mengenali pria yang sepertinya enggan melepaskan kacamata hitam yang bertengger dihidung bangir itu. Kenapa dia datang di saat seperti ini? Setelah hampir dua bulan tidak bertemu, haruskah sekarang melakukan remeh temeh diperjumpaan aneh ini? Baiklah Kendra Wijaya. Sepertinya aku perlu memberikan layanan percakapan sedikit panjang untukmu saat ini.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel