Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

KEJADIAN TANPA DECLAN

Cia sadar, sejak pertama datang, semua perhatian jelas tertuju ke arahnya. Dia tidak suka menjadi pusat perhatian jika tidak sedang menjalankan pekerjaan. Dan sekarang, hei ada apa? Dirinya bahkan tidak melakukan kesalahan. Lalu kenapa mereka membuatnya seolah sudah melakukan hal tidak bisa dimaafkan? Ayolah, haruskah haters Cia terus bertambah setiap harinya?

Jika dia cantik, apa itu salah Mami yang sudah melahirkannya? Jika Cia tinggi semampai, salah Papi kah yang sudah menurunkan hal baik itu? Kulit putih warisan Mami ini jelas membuat penampilannya semakin terlihat baik. Hah! Ya Allah, maafkan karena sekarang aku sedang menyombongkan segala yang Kau berikan padaku. Baiklah! Mungkin wajah tak bersahabat yang Papi turunkan ini membuat banyak orang semakin berpikir yang tidak-tidak tentangnya. Ah, Cia benar-benar tidak peduli itu.

Tapi kali ini berbeda. Cia sedang tak ingin punya masalah dengan mereka karena saat ini suasana hatinya tidak terlalu baik. Declan baru saja pergi dan itu membuatnya cukup terganggu. Jadi sekarang tolong, jangan membuat masalah padanya yang sedang ingin berbaku hantam ini. Hanya karena Cia pergi bersama dengan Kendra ke tempat fashion show yang ternyata juga memakai jasa pria itu sebagai model, gadis itu merasa sudah menjadi tersangka dengan dakwaan sangat berat saat ini.

“Ngapain pake acara barengan sama Kendra sih, Ci?” Mbak Remi mulai mengomel di belakangnya yang sedang didandani oleh Qila.

“Ngapain pake gak ngangkat telepon sih, Mbak?” Dan dengan senang hati Cia membalas dengan kalimat sarkas. Terdengar dengusan dari Mbak Remi di belakang sana. “Gak Mbak Rem, gak Daven, Qila juga ikut-ikutan gak ngangkat telepon aku coba. Di tengah teriknya matahari yang baru aja muncul dari tidurnya, Kendra kayak oasis di gurun pasir. Gak mungkin dong aku tolak tawaran dia, Mbak. Sedangkan aku suffering sendirian begitu di jalan.”

“Gue kesiangan bangun gara-gara tidur lagi habis subuhan dan handphone gue silent, Mbak Ci. Makanya gak ngangkat telepon lo,” ujar Qila membela diri.

“Si Sola lagi rewel karena flu, Ci. Mbak mana sempet sih bawa hp ke mana-mana kalo anak rewel begitu.” Mbak Remi juga berusaha mencari alasan. Tapi jika sudah Sola menjadi bahan untuk beralasan, Cia sudah tidak bisa berbuat apa-apa. Lagi pula, orang tua terkhusus ibu memang selalu mendahului anak-anaknya.

“Kalo ada Daven di sini, pasti si Ranti dibawa-bawa juga nih buat memperlengkap alasan yang sudah ada,” ujar Cia dengan nada pura-pura kesal.

Mbak Remi dan Qila hanya mendengus geli. “Eh, iya. Bang Daven kapan nikahnya sih, betewe?” Qila menjeda kegiatannya dan melihat ke arah Mbak Remi yang nampak berpikir.

Ah, benar! Kapan sahabatnya itu akan menikah? Tidak mungkin dia menikah tanpa mengundang Cia dan yang lain, kan? “Satu bulan lagi kalo gak salah. Tanggal 5 atau 6 bulan depan gitu,” ujar Mbak Remi sedikit tidak yakin, tapi cukup bisa menjadi patokan sebelum mendapatkan jawaban yang pasti.

“Syukur deh, Mbak. Laki gue pas pulang tuh dari Korea,” ujar Cia.

“Udah enak banget jadi bininya Declan, Ci? Sampe gak bisa ke mana-mana kalo gak ada dia?” Mbak Remi mencebik dengan senyuman dari pantulan cermin.

“Mas De baik banget begitu sih, Mbak. Mudahan besok aku dapet yang jodoh begitu juga,” ujar Qila dengan senyuman mengkhayal jauh.

Cia memicing. “Gak ada yang sama kayak laki gue, La. Ngarep banget lo.”

“Dih, protektif banget jadi bini,” Qila kembali memberi sesuatu di wajah Cia. “Tapi kalo lo mau jadiin Mas De duda, gue bersedia menggantikan biar dia jadi suami seseorang lagi kok, Mbak Ci.” Qila tentu saja sedang menggoda Cia dengan kalimatnya itu. Cia yang tadinya terpejam, kini memelotot sempurna melihat gadis yang sekarang tengah menahan tawa.

“Mbak Rem! Qila nih.” Cia pada Mbak Remi yang hanya menggeleng karena malas menanggapi.

“Hati-hati terus, Ci. Declan lagi jauh dan sekarang gosip kamu sama Kendra lagi meluas banget, cuma karena kalian barengan ke sini. Mereka gak tau atau memang gak mau tau sama cerita dibalik kenapa kamu bisa sama Kendra ke tempat ini. Karena yang mereka butuhin itu penguat untuk semakin mudah membenci kamu. Jangan sampai yang mereka pikir bener-bener terjadi.” Cia tau bahwa Mbak Remi sangat mengkhawatirkan hal itu. Tapi dia benar-benar sedang tidak berniat untuk menyukai siapa pun saat ini. Lagipula, Kendra belum tentu menyukainya juga, kan? “Denger gak, Cia?”

Cia tersentak saat suara Mbak Remi kembali terdengar. “Iya, Mbak Rem. Denger kok,” jawabnya lirih.

“Demi kebaikan kamu. Juga nama baik suami kamu.”

“Demi nama baik keluarga besar kedua belah pihak juga, Mbak Rem,” ujar Qila menambahi.

“Keluarga besar itu kena dampak buruk aja, La. Sebagai istri seengaknya Cia harus menjaga nama baik suami. Karena kalo udah berumah tangga, itu urusan antara suami dan istri. Bukan lagi anak dan keluarga. Declan terlalu bersikap sangat baik di depan media, kalo sampe Cia melakukan hal yang timpang. Udah, rusak deh semua.”

Mbak Remi memang begitu. Cenderung memberikan nasihat dengan cara memberikan pandangan bahwa kedepannya akan seperti apa. Tak menghakimi, juga tak langsung menyalahkan. Tunggu dulu!! Apa yang baru saja mbak Remi katakan? Declan terlalu bersikap sangat baik di depan media?? Cia berbalik untuk melihat Mbak Remi yang ternyata sudah lebih dulu menatapnya dengan sangat lekat. Manik milik Cia jelas membesar mendengar ucapannya yang sarat akan makna. Apa Mbak Remi tau sesuatu tentang mereka? Apa sejelas itu kedok yang keduanya perlihatkan di depan media?

“Semua orang punya sense sendiri-sendiri untuk menyadari suatu hal. Sialnya, naluri sebagai ibu ini terlalu peka untuk merasakan segala sesuatunya dengan jelas. I can’t help it.” Mbak Remi mengendikkan bahunya.

Cia terdiam. Tak menyangka bahwa Mbak Remi mengetahui segala yang terjadi antara dia dan Declan. Lalu dengan baik hatinya, menutupi apa yang diketahui dengan tak menunjukkan perubahan apapun dari sikap yang mungkin akan mencurigakan.

“Aduh, maksudnya apaan sih, mbak Mi?” Qila bertanya dengan nada sebal. “Auk ah, aku mau ke toilet. Udah gak tahan lagi,” sambung gadis itu langsung berlari dengan terus memegang perutnya.

Fokus milik Cia masih terpusat pada Mbak Remi yang kini berdiri setelah lebih dulu menghempaskan napas dengan kuat. Menejernya itu beranjak mendekat. Dengan senyuman, lalu mengusap pelan kepala Cia.

“Semua punya alasan kenapa bisa tidak berjalan seperti yang seharusnya. Mbak percaya sama kamu karena Mbak sayang sama kamu sebagai adik,” Wajah Mbak Remi menjadi terlihat lebih keibuan dari biasanya terlihat. “Melihat Declan yang sepertinya melakukan hal untuk melindungi kamu ataupun hubungan kalian atau nama baik keluarga atau apalah itu, Mbak yakin kalo dia juga menyayangi kamu,” Benarkah begitu? “Kamu gak salah, dan hubungan kalian saat ini pun gak salah. Semua mengambil porsinya masing-masing. Tapi, Cia. Hati-hati selalu, ya? Mbak, Qila dan Daven akan ada untuk kamu.”

Tak ada yang bisa Cia lakukan selain memeluk Mbak Remi yang sudah mengusap punggungnya dengan lembut. “Pengen nangis. Tapi entar make-upnya luntur, terus dimarahin Qila,” ujar gadis itu dengan suara bergetar.

Ada tepukan yang sedikit keras terasa di punggung Cia yang tadinya berupa usapan. Kekehan kecil tercipta setelah menyadari Mbak Remi sebal dengan kalimatnya. Tapi segera, ibu satu anak itu kembali mengelus punggung Cia yang semakin memeluknya erat.

***

Senyuman cerah mengembang sempurna dari kedua sudut bibir pria yang sekarang berdiri seolah menunggu Cia sejak tadi. Cia berjalan dengan wajah senormal mungkin.

“We meet again, Cia,” sapa pria itu langsung setelah Cia sudah berada di depannya.

“Kebetulan yang luar biasa,” balas Cia dengan senyuman kecil.

“Pernah dengar kalo kebetulan itu selalu melibatkan takdir di dalamnya?” tanya pria itu sedikit mendekatkan lengannya.

Tentu saja Cia pernah mendengar kalimat itu. Lalu apa yang dia harapkan sekarang? Maksudnya, bahwa pertemuan mereka yang kesekian kalinya ini adalah takdir? Kali ini adalah fashion show untuk baju couple pasangan muda. Lalu Cia dan pria ini dipilih untuk menjadi tim saat berjalan di atas catwalk nanti. Jika acara ini milik kak Guna, Cia pasti sudah akan memprotes untuk mengganti pasangan.

“Makasih buat tumpangannya, Kendra. Tapi kayaknya kita gak seakrab itu untuk saling ngobrol seperti sekarang,” ujar gadis itu tanpa senyuman.

Tapi pria itu tidak peduli dan malah memberikan cengiran lebar. “Gue tau lo tipe cewek yang gak suka diajak akrab kayak gini. Tapi gak ada salahnya mencoba menjadi teman, kan, Ci?”

Jelas tidak ada yang salah dengan pertemanan. Cia memang tidak suka bersosialisasi, tapi dia tidak sejahat itu untuk menolak pertemanan yang orang lain tawarkan. Dan lihat, siapapun pasti mau menjadi teman dari pria tampan ini. Wajah tegas dengan hidung mancung dan bibir bervolume itu jelas membuat banyak wanita menyukainya. Kulit yang sedikit gelap dan tubuh yang berotot semakin menyempurnakan penampilan pria ini.

Pria itu kembali tersenyum. “Gue anggap diam lo itu sebagai persetujuan,” ujarnya sambil membenarkan posisi berdiri. “Selamat beberapa menit menjadi teman, Cia,” sambungnya dengan senyuman lebar.

Dan Cia masih tak bergeming. Tidak pernah ada yang orang baru yang bicara sesantai ini dengannya. Karena kebanyakan dari mereka sudah menilai dirinya dengan sangat buruk hanya karena melihat wajahnya yang terlihat tak bersahabat ini. Baiklah! Kendra mungkin punya nilai plus karena tak terpengaruh dengan hal sepele semacam ekspresi wajah.

***

“Cia harus istirahat karena ada pemotretan pagi-pagi sekali besok. Jadi sorry banget ya, Ken. Cia harus pulang sama mbak.”

Cia hanya bisa diam setelah Mbak Remi menjawab dengan jelas pertanyaan yang tadi Kendra ajukan padanya setelah acara fashion show berakhir. Pria itu nampak kecewa, tapi langsung tersenyum untuk menunjukkan kesopanannya pada Mbak Remi.

“Tapi, saya boleh minta nomor handphone Cia kan, Mbak?” tanya pria itu masih berusaha melakukan banyak cara untuk mengetahui tentang Cia lebih jauh.

Cia jelas mendengar dengusan kesal dari Mbak Remi. Dengan senyuman yang dipaksa, Mbak Remi meraih hanpdhone yang Kendra ulurkan. Mengetikkan sebuah nomor dan segera mengembalikan kepada sang pemilik yang kini tersenyum senang.

“Makasih, Mbak,” ucapnya sungguh-sungguh.

“Sama-sama,” balas Mbak Remi jelas terdengar gerah. “Kalo gitu kita duluan ya, Ken. Bye,” pamit Mbak Remi menarik Cia tanpa menunggu balasan dari Kendra. “Harusnya pernikahan kamu sama Declan itu diberitain sampe luar negeri juga. Biar dia tau, kalo suami kamu bukan orang sembarangan. Nekad banget mau minta nomor handphone segala. Biar dihadapin tuh kelemotan Qila kalo dia beneran nelpon itu nomor.”

“Mbak ngasih nomornya si Qila?” Mbak Remi terkekeh pelan setelah mengangguk. “Qila bakal ngamuk, Mbak Rem.”

“Biarin aja. Mana bakal dia ngamuk kalo yang nelpon model ganteng begitu,” ujar Mbak Remi masih dengan senyuman.

Cia ikut tersenyum mendengar jawaban Mbak Remi. Lalu pelan, kepalanya menoleh untuk mencapai tempat di mana pria itu berdiri. Dia tersenyum lebar sambil melambaikan tangan. Segera gadis itu berpaling setelah kembali mendengar omelan panjang dari Mbak Remi yang ternyata belum berakhir. Cia tersenyum karena melihat kegigihan Kendra.

***

Deringan kesepuluh terdengar dari ponsel Cia yang berkedip. Gadis itu bahkan keluar dari kamar mandi dengan tergesa karena mengira Declan lah yang membuat panggilan itu. Tapi nomor dengan kode 62 membuatnya mendengus karena bisa menebak bahwa itu panggilan dari dalam negeri. Declan belum memberi kabar. Dia pasti belum sampai. Butuh waktu kurang lebih 10 jam untuk Declan sampai ke Jeju, jika tidak ada transit atau halangan lainnya. Tapi rasanya tidak mungkin. Pasti banyak hal yang terjadi diperjalanan. Dan semoga itu tidak membahayakan.

Ponselnya lagi-lagi berdering. Dan dengan malas-malasan, Cia akhirnya menekan panel hijau untuk menerima panggilan itu. Mungkin saja orang penting.

“Cia?” Suara di seberang sana terdengar.

Cia mengerutkan dahi karena tidak asing dengan suara itu. Bernahkah? “Kendra?”

Suara tawa menjadi jawaban pertama. “Finally, I found your real number. Gue tau kalo menejer lo gak bakal ngasih nomor lo yang sebenernya ke gue. Tapi syukurnya, gue langsung ngeh dan ngubungin Kak Guna buat minta contact person lo. Untung banget dia sepercaya itu sama alasan yang gue buat. Dan dia kasih nomor lo yang bener.” Pria itu kembali tertawa. “Dan telepon ke dua belas ini, akhirnya lo angkat juga.”

Contact person? Cia sedang tidak membuka usaha apapun sehingga membutuhkan contact person. Kalimat pria itu terlalu mengejutkan.

“Can we make some convo?”

Bicara, Cia! Tell him if you are someone’s wife!

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel