SARAPAN DAN MAKAN SIANG BERDUA
Declan merebahkan tubuh di atas kasur hotel pada akhirnya. Helaan panjang itu benar-benar pertanda bahwa pria itu sedang amat kelelahan. Memang, tidak semua bisa terjadi sesuai dengan apa yang diharapkan.
Pikirnya selama di pesawat yang akan membawanya dan semua kru ke Korea, segalanya bisa berjalan dengan apa yang sudah direncanakan. Dia dan para kru bisa sampai ke Korea, lalu langsung terbang ke Jeju tepat waktu, beristirahat sejenak, mengurus segala keperluan untuk izin syuting di tempat-tempat yang sudah sepakati pihak produser, lalu mulai bekerja esok harinya. Semua terus berjalan lancar sampai tak terasa satu bulan dan segera pulang. Ah, tidak. Bukan itu yang terjadi sebenarnya. Itulah yang Declan pikirkan dan yang terjadi malah kebalikannya.
Declan terlalu bersemangat sebelum sampai di Korea. Sehingga lupa memberi peringatan pada dirinya sendiri bahwa mungkin, kejadian tidak terduga bisa saja terjadi. Hujan mengguyur di langit Korea saat dia dan para kru sampai di bandara Incheon. Karena kondisi cuaca di Jeju sama buruknya, akhirnya penerbangan di tunda. Lalu tiba-tiba saja, salah satu kru muntah-muntah dan menggigil parah. Semuanya jadi kebingungan dan panik. Declan dan Langit berusaha mencairkan suasana dengan meminta pada yang lain untuk tetap tenang. Declan bahkan meminta salah satu di antara kru untuk membeli makanan di sekitar bandara guna menghilangkan rasa mual ataupun jetleg. Bersyukurnya, pihak bandara punya pelayanan medis dan langsung bisa memberi penanganan pada kru yang keadaannya semakin lemas.
Dua jam setelah delay, akhirnya pria itu dan krunya mempersiapkan diri untuk kembali terbang ke Jeju. Untungnya, kru yang sempat demam karena jetleg dan masuk angin itu sudah pulih dan diperbolehkan melakukan perjalanan. Declan bersyukur karena tidak ada salah satu di antara orang-orang yang dibawa harus tertinggal atau sakit berlebihan.
Meski sangat berat, Declan tidak boleh mengeluh. Sebab dia menjadi satu yang juga ikut bertanggung jawab atas keselamatan tim. Pria itu mungkin tidak akan melanjutkan kerja dan memilih menundanya sampai krunya bisa pergi untuk bekerja bersama kembali. Baiklah. Tidak ada yang mesti aku keluhkan sekarang. Meski akan lebih lelah dari perkiraan, setidaknya semua tetap aman dan sehat, bisa bekerja dan segera menyelesaikan syuting lalu kembali ke Indonesia.
Astaga! Dia belum menghubungi sang istri. Di sana pasti sudah pagi. Diraihnya ponsel untuk segera mendial nomor Cia. Gadis itu pasti akan mengomel sebab Declan yang tak menghubunginya sejak kemarin.
***
Cia keluar dari kamar dengan pakaian santai untuk pergi ke tempat kerja. Segera gadis itu berjalan menuju dapur.
“Jota, sarapan apa hari ini?” teriaknya sambil membuka kulkas dan meraih botol mineral untuk langsung menenggak isinya.
Air yang ada di mulut Cia tertahan, sampai membuat pipinya menggembung lalu melihat ke sekeliling rumah. Cia menghela kuat setelah lebih dulu menelan air yang dia minum. Astaga! Apa yang sedang aku lakukan? Sepertinya Cia benar-benar sudah terbiasa dengan keberadaan Declan di sekitarnya. Tak ada sarapan seperti ini membuatnya makin merasa kesepian di apartemen jika sendirian. Padahal baru kemarin pria itu berangkat ke Jeju, tapi Cia sudah merasakan tak enaknya tanpa Declan. Ah, pria itu belum menghubunginya sejak kemarin.
Cia duduk di kursi makan sambil membawa tiga kotak salad buah dengan sendok. Matanya fokus pada roomchat yang masih bercentang satu untuk japri yang dia kirimkan pada Declan barusan. Cia sudah membuka kotak salad kedua saat centang bertambah satu. Napasnya tertahan saat melihat centang itu langsung berganti warna menjadi biru. Cia terkejut saat merasakan ponselnya bergetar. Nama JOTA tertera besar di layar ponselnya.
“Jotaaaaaaaaaa!!” teriak gadis itu setelah menekan panel hijau dan meletakkan ponsel di telinga.
“Ivy, gue belum istirahat dari kemarin. Gak usah heboh banget begitu. Gue belum budeg.” Suara pria itu terdengar parau. Sepertinya Declan baru saja beristirahat.
“Lo udah makan? Ada tidur gak? Pasti masih jetlag. Emang langsung kerja?”
Helaan lelah yang sebenarnya bercampur dengan senyuman terdengar di ujung sana. Cia tersenyum karena merasa Declan kesal dengan omelannya.
“Gue udah makan, tapi belum tidur. Dan masih sangat jetlag, Nyonya Declan. Tapi masih harus langsung kerja jam satu nanti.”
Meski sadar bahwa Declan tidak akan melihat, tapi Cia langsung memutar bola matanya setelah mendengar panggilan yang dia sebutkan. Mendengar kekehan dari pria itu, sepertinya sadar bahwa gadis itu malas dengan candaannya.
“Sarapan apa? Jangan sampe gak makan lo,” tanya Declan.
“Baru aja ngabisin kotak salad buah yang kedua. Gak ada apa-apa sarapannya karena gak ada lo. Biasa udah sedia aja di atas meja ato microwave.”
“Masih ada dada ayam, sayuran sama beberapa buah-buahan di dalem kulkas kalo lo mau buat salad. Daging sapi juga masih ada kalo mau barbekiyu. Roti tawar, telur sama cheese juga masih ada kalo mau buat sandwich. Di kul-,”
“Yayayaya,” Cia memotong cepat ocehan panjang Declan tentang masakan. “Gak ada lo gue bakal makan di luar terus. Atau paling enggak balik ke rumah Mami, deh.”
“Kalo pemales emang gitu, sih,” gerutunya yang membuat sang istri tertawa kuat.
“Lo dari kemarin gak ngubungin. Gue nungguin, tau! Takut lo ada apa-apa.” Cia benar-benar tulus mengatakannya. Meski seperti yang terus-terusan Cia bilang, bahwa hubungan mereka bukanlah hubungan pernikahan yang normal, tapi rasa khawatir itu akan selalu ada.
“Kemarin sibuk banget karena ada tim produksi yang tiba-tiba sakit karena gak tahan sama jetlag dan harus ikutan transit karena pesawatnya gak bisa langsung ke Jeju. Jadi berhenti lama banget di Incheon. Sempet hujan juga, jadi penerbangan jadi diundur.”
Cia terdiam mendengar penuturannya. Dia bisa membayangkan betapa paniknya keadaan di sana waktu itu. Dan Declan, pria baik itu pasti akan sangat sibuk membantu siapa pun yang membutuhkan. Menawarkan diri untuk melakukan sesuatu agar bisa meringankan keadaan yang kacau. Declan pasti akan sangat lelah setelah kembali dari Jeju nantinya.
“Ivy, are you still there?”
Cia mengerjap. “Hm,” gumamnya mencoba menormalkan suara. “Lo jangan lupa istirahat. Inget pesen gue. Jangan coba-coba minum soju. Haram itu!” pesan gadis itu dengan nada mengancam.
“Iya. Cerewet banget dari kemaren. Heran.”
“Udah, ah. Gue mau kerja dulu. Lo istirahat gih sebelum kerja.”
“Oke. Take care, Ivy.”
Sambungan telepon mereka berakhir. Cia menatap layar ponsel yang menggelap, seolah ada wajah Declan di sana. Pria itu jelas akan melakukan pekerjaannya dengan baik. Cia hanya khawatir, Declan melakukan segalanya sendiri karena tidak tega menyuruh orang lain. Hah! Kenapa Declan harus menjadi pria sebaik itu?
***
Cia berjalan gontai menuju gedung tempatnya akan bekerja hari ini. Mbak Remi tidak bisa menemani, karena Sola harus di rawat. Qila akan terlambat karena harus mengantarkan adiknya ke sekolah. Baiklah! Masih ada Daven yang menjadi harapan. Bersyukurnya, hari ini pria itu menjadi fotograferna. Tapi, seperti biasa, gadis itu datang 30 menit lebih awal. Persetan dengan kebiasaanmu itu, Cia. Dia jadi malah kesepian seperti ini.
“Morning,” sapa seseorang yang membuat Cia langsung menoleh kaget. “Kaget, ya? Sorry,” ucapnya.
“Kerja di sini juga hari ini, Ken?” tanya Cia tanpa basa-basi.
Pria itu mengangguk. “Sekali sesi aja, sih. Lo gimana?”
“Gue juga,” jawab gadis itu singkat.
“Fotografer?”
“Daven.”
Dia mengangguk paham dan terus mensejajari langkah Cia. “Jam berapa mulai pemotretannya?”
“Jam sembilan.”
“Masih ada setengah jam.” Dia melihat ke arah jam tangannya sekilas. “Sarapan sama gue, yuk,” ajaknya menarik tangan Cia yang langsung berhenti melangkah. “Ada nasi uduk di ujung belakang gedung ini. Gue sempet nyoba, lo pasti suka juga,” sambungnya tak mempedulikan keterkejutan Cia.
Dengan langkah riang pria itu membawanya menuju ke warung belakang gedung yang ternyata memang menjual nasi uduk. Dia memesan setelah menyuruh Cia duduk. Gadis itu memperhatikan interaksi Kendra bersama Bude penjual nasi uduk itu. Tak ada rasa yang sama seperti saat melihat Declan yang melakukan komunikasi dengan orang-orang di sekitarnya. Kendra, dia juga tersenyum ramah, tapi caranya memang jauh berbeda dengan apa yang Declan lakukan. Declan jelas terlihat lebih akrab dengan siapa pun sampai membuat seluruh perhatiannya penuh pada sang suami saat pertama kali bertemu. Mereka jelas orang yang berbeda.
Cia tersenyum membalas yang Kendra lakukan. Pria itu duduk dengan wajah ceria. “Menyenangkan ngobrol sama lo di telepon. Kita lihat seberapa menyenangkan lo di dunia nyata,” ujarnya.
Gadis itu mendengus geli. “Gue yakin, lo tau pasti seberapa jutek gue di dunia nyata ini,” balas Cia dengan malas-malasan.
Tadi malam, mereka memang cukup banyak berbincang lewat telepon. Kendra menanyakan banyak hal dan menceritakan dirinya yang masih asing dengan keadaan di Indonesia.
“Lo cuma menghindari banyak orang aja, karena males berkomunikasi.”
Hei! Dari mana dia tau hal itu? Mata gadis itu menyipit sekilas. “Lo nge-stalk gue sebelum ini, ya?”
Kendra terkekeh. “Buat apa dan kenapa?”
“Lo tepat banget nyebutin beberapa hal tentang gue. Nasi uduk ini makanan kesukaan gue dan gue emang gak terlalu suka berinteraksi sama orang banyak,” jawab Cia menjelaskan.
“Jodoh nih,” serunya menjentikkan jari dengan senyuman lebar. “Soal nasi uduk gue beneran gak tau dan asal ngajak aja karena pengen sarapan sama lo. Dan soal lo yang gak suka interaksi sama orang banyak, itu jelas banget dari lo yang duduk di sudutan backstage, menjauh dari model-model lain dan cuma duduk sama asisten lo. Makanya gue merhatiin lo waktu itu dan gue sangat tertarik.”
Cia tersenyum miring dan mulai menyendok nasi uduk yang sudah ada di depannya. “Gue gak berharap lo tertarik soal apa pun tentang gue,” ujarnya bersungguh-sungguh.
“Dan sikap lo saat ini ngebuat gue malah makin tertarik pengen lebih deket,” balas Kendra, cepat. “Masih mau menolak kalo pertemuan kita bener-bener karena takdir?”
Cia diam dan tak ingin menanggapi. Lalu kembali menyuap nasi uduk yang rasanya lumayan bisa dinikmati itu. Nasi uduk bersama Declan jauh lebih enak.
“Makan siang sama gue hari ini?” tanya Kendra menatap Cia dengan wajah berharap penuh.
***
Qila langsung menyetujui saat Cia menyuruhnya pulang terlebih dahulu setelah pemotretan selesai. Dia bahkan berterima kasih karena memang keadaan di rumahnya sedang membutuhkan bantuannya. Sang ibu mendapatkan yasinan bulanan komplek dan harus memasak banyak. Daven juga harus pergi lebih dulu karena pekerjaan lain sudah menunggunya. Bukan Cia bersyukur dengan keadaan ini, tapi dengan tidak adanya Mbak Remi, dia jadi tidak harus berbohong. Dia sungguh tidak pandai jika harus berbohong dan sangat membenci hal itu. Bukan Cia takut pada Mbak Remi, tapi Cia sudah menganggapnya seperti kakak sendiri. Mbak Remi yang tegas namun sangat baik hati, membuatnya sering segan jika melakukan kesalahan dan membuat malu.
Karena itulah, Cia tidak ingin membuat perdebatan dengan Mbak Remi. Cia tidak bisa apapun tanpa mbak Remi yang selalu membantunyaa, pengertian, dan sangat memperhatikan selain Mami dan Papi. Mbk Remi adalah keluarga. Juga Qila dan Daven. Lagi pula, kenapa dia harus berbohong hanya untuk makan siang bersama seseorang? Tidak ada hal lain selain makan siang dan mengobrol. Cia pastikan tidak akan lebih dari itu.
Segera Cia memasang kacamata dan topi yang sudah disiapkan setelah keluar dari dalam gedung tempatnya baru saja bekerja. Berkali-kali gadis itu menoleh ke kanan dan kiri untuk memastikan bahwa tidak ada banyak orang di sekitarnya. Sebuah mobil hitam mengkilap berhenti di depannya. Cia menunduk untuk memastikan seseorang di dalamnya setelah kaca mobil itu di buka.
“Hi, princess. Come in,” sapa seseorang dengan senyuman lebar. Meski mendengus, Cia benar-benar berakhir di kursi penumpang sebelah kemudi. Ada Kendra yang berkali-kali menoleh dengan pelan mengemudi mobil. “Gimana pemotretannya?” Lihat?! Bukankah ini pertanyaan wajar untuk memulai percakapan?
“Lancar aja sih. Soalnya gue sama Daven, sahabat sendiri. Jadi lebih santai aja.” Pria itu mengangguk pelan. “Lo gimana?”
“Lancar juga. Cuma sempet males aja karena sering dinilai gak berkompeten dan cuma dompleng nama besar waktu masih di LA.” Tawa pria itu terdengar sumbang. “Aneh aja kan, masa iya gue dompleng nama sendiri cuma biar bisa dapet kerja di Indonesia? Ngeremehinnya seru gitu,” sambungnya tak terima.
“Gue juga gitu sih,” ujar Cia yang membuat pria itu menoleh sekilas dengan wajah bertanya. Gadis itu tersenyum tipis. “Tapi gue lebih nyebelin sih, dikira gak berkompeten karena nama besar orang tua. Wiratama selalu menjadi alasan yang orang pikir gue bisa jadi model besar di Indonesia dengan jangka waktu cuma beberapa bulan.”
Kekehan terdengar dari mereka bersamaan. Pria itu memutar, meminimalkan laju mobil dan berbelok di sebuah restoran yang terlihat tidak terlalu ramai. “Gue pilihin tempat yang rada mahalan biar makan siang sama elonya gak terganggu,” ujarnya dengan nada usil.
“Sok banget lo,” kesal Cia yang hanya dibalas dengan tawa kecil oleh Kendra.
Kendra dan Cia berjalan menuju meja yang ternyata sudah di pesankan oleh pria itu. Cia melihat menu yang ada dan Kendra tidak berbohong soal harga yang dia candakan tadi. Meski Papi juga sering mengajak ke tempat makanan mahal, gadis itu tidak pernah begitu teliti melihat harga karena Papi yang membayar. Tapi kali ini, Cia tiba-tiba jadi penasaran soal harga melihat tempat yang dipilih Kendra memang terlihat berkelas. Seharusnya, makan siang tidak perlu semewah ini. Baiklah, Cia! Hargai orang yang sudah berbaik hati menawarkan sesuatu sama kamu. Cia tersenyum saat melihat Kendra kembali duduk.
“Diet?” Cia mengangguk. “Healthy food?” Lagi-lagi gadis itu mengangguk. Senyuman cerah tersemat dibibirnya. “Gue gak salah milihin menu kalo gitu,” ujarnya merasa bangga.
“Thanks,” ucap Cia dengan senyuman seramah mungkin.
“Terus, gimana lo menyikapi orang-orang yang ngatain lo begitu?” tanya Kendra, melanjutkan cerita saat di jalan.
Cia menarik napas dalam sebelum menjawab. Mencoba mengingat hal apa yang sudah dilakukan dan membuatnya bertahan sampai sekarang. “Gue cuma pura-pura gak denger aja sih. Mencoba buta, berusaha tuli dan memilih bisu. Biarpun untuk sekali waktu, gue meledak juga.” Cia dan Kendra sama-sama mengurai tawa.
“Itu kenapa lo males berinteraksi dengan banyak orang?” tanyanya lagi.
Cia mengangguk satu-satunya. “Salah satunya karena itu. Tapi dasarnya aja gue gak pinter bersosialisasi,” jawab gadis itu kembali menciptakan tawa Kendra.
“Padahal lo se-asik ini sih,” ujarnya tersenyum pada pelayan yang mengantarkan makanan.
“Muka jutek gue gak tertolong soalnya,” Cia mengerutkan wajah geli. “Lo gimana?”
“Gue?” ulangnya menunjuk dirinya sendiri. “Gue sebenernya gak suka basa-basi juga sih. Tapi ya gue berusaha seramah mungkin aja untuk memperbaiki nama gue yang udah busuk banget padahal baru tiga bulanan ada di Indonesia,” ujarnya dengan santai.
“Lo gak harus nunjukkin diri lo yang sebenernya ke orang yang gak peduli soal itu, lho. Kadang mereka emang cuma benci sama lo, tanpa mengacuhkan kebaikan yang lo usahain di depan mereka.” Cia mulai menyantap makanan yang cukup sesuai dengan seleraku.
“Exactly. Tapi membiarkan nama kita jadi kotor karena omongan beberapa oknum, rasanya juga gak adil di kitanya.” Cia terdiam. Kendra benar. Setidaknya, harus ada kebaikan yang orang ingat saat nama kita disebutkan. “Ngelamun,” tegur pria itu dengan kekehan. Manik Cia membola sekilas. Dan Kendra hanya tersenyum lembut dengan wajah tanpa bersalah setelah mengusap kepala Cia tanpa izin. Ada apa ini? Bulu kuduk Cia meremang karena perlakuan pria itu. “Lunch bareng gue gak seburuk itu kan, Cia?” Pertanyaanya membuat Cia mengedip cepat dan kembali pada kenyataan.
“Not bad,” jawab Cia berusaha untuk tidak bertemu tatap dengannya.
“Kalo gitu,” Cia tau bahwa Kendra sengaja menggantung ucapan untuk menarik perhatian. Sialnya, gadis itu benar memberikan perhatian dengan mendongak ke arahnya. Kendra tersenyum lebar. “Dinner sama gue malam ini?”
Oh, tidak! Tawaran seperti ini lagi. Akan sangat tidak sopan jika aku menolak, bukan? Lagi pula, aku tidak ingin makan malam sendirian.
***