MALAM PERTAMA TINGGAL BERSAMA
Acara resepsi sudah selesai tadi sore. Saat semua keluarga berkumpul untuk mengakhiri acara dengan makan malam bersama keluarga inti, Cia sempat merengek pada kedua orang tuanya karena ingin pulang bersama mereka dengan alasan ingin mengambil beberapa bajunya yang tidak sempat dia kemasi.
Declan tersenyum melihat tingkah sang istri. Cia benar-benar meremehkannya soal ini. Gadis itu sungguh mengira bahwa Declan tidak mempersiapkan apa pun hanya karena pernikahan ini terjadi begitu mendadak. Sudah Declan katakan bahwa dia menyelesaikan banyak hal sebelum acara akad nikah dan resepsi ini berlangsung.
H -7 sebelum acara pernikahan ini berlangsung, Declan berkunjung sendirian ke rumah orang tua Cia, jelas saat gadis itu tidak berada di rumah. Mereka nampak terkejut dengan kedatangan Declan yang tidak ditemani oleh siapapun.
“Declan mau bawa Ivy tinggal di apartemen milik Declan sendiri setelah menikah nanti. Dengan izin Mami dan Papi tentunya,” pamit Declan kala itu.
Declan sempat sangsi akan bagaimana tanggapan kedua orang tua Cia. Tapi melihat senyuman bahagia dari keduanya, pria itu benar-benar tidak menyangka mereka akan menyambut maksudnya dengan sangat baik.
“Jelas Papi sama Mami mengizinkan, Declan. Kamu boleh bawa Cia ke mana pun asal kalian harus bersama-sama. Lagipula, kalian memang harus mandiri setelah menikah, kan?” balas calon Papi mertuanya dengan senyuman lebar.
Declan menghela napas lega. “Declan mau minta izin lebih dulu karena Declan pikir Mami sama Papi ingin kami tinggal di sini. Karena Declan tau kalo Ivy adalah anak tunggal.”
“Oh, enggak, Declan. Gak papa kalo kalian mau tinggal berpisah rumah dengan Mami dan Papi. Cia selama ini juga tidak pernah tinggal dengan Mami dan Papi. Baru satu tahunan ini, itupun karena dia terpaksa pindah ke Indonesia. Jadi kalo kamu mau bawa Cia tinggal di apartemen, Mami sama Papi dengan ikhlas kok merelakan.”
Declan tersenyum lebar mendengar penuturan kedua orang tua Cia. Terdengar sangat menguntungkan untuknya juga terkesan lucu. Mereka merelakan dengan senang hati anak semata wayangnya untuk tinggal terpisah bersama sang suami. Dan tidak mempermasalahkan jika dirinya dan Cia akan tinggal di apartemen.
Haruskah aku bersorak karena itu?
Sebelum membawa barang-barang Cia dari rumah kedua orang tuanya, Declan bahkan sudah mengosongkan kamar utama di apartemen untuk ditempati Cia nantinya. Declan dan kebersihan adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Orang-orang di sekitarnya selalu bilang bahwa dia benar-benar penggila kebersihan. Declan tak ambil acuh, sebab memang begitulah adanya dia.
Sengaja Declan membereskan kamar utama untuk di tempati Cia. Karena dia sangat sadar bahwa Cia tidak akan mau tidur di satu kamar dengannya. Meskipun tidak bisa dipungkiri bahwa Declan mengingin begitu, tapi dia harus menghargai keputusan sang istri. Declan sudah berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia tidak akan menyentuh gadis itu sampai Cia sendiri yang mengizinkan. Walau Declan tau kemungkinan Cia memberi izin sangatlah kecil. Lebih tepatnya, tidak ada.
Bagaimanapun, Declan memang mempersiapkan ini untuk kenyamanan gadis itu. Alasan lain pria itu ingin tinggal bersama adalah, Declan tidak ingin mendengar gosip buruk tentang pernikahannya dan Cia. Istrinya pasti akan sangat terganggu meski berusaha bersikap tak acuh. Ah, untuk masalah itu mereka terlihat serupa.
Declan sendiri bahkan tidak menyangka bahwa dirinya sudah menjadi seorang suami. Dari gadis yang tiga bulan lalu menarik perhatiannya. Gadis yang tidak tau bahwa sudah membuat Declan terpesona sejak pertama kali melihatnya.
Ah, Declan juga harus melewati banyak ledekkan serta berusaha menyembunyikan tentang status pernikahan mereka yang sebenarnya pada semua orang. Kecuali kedua kembarannya. Seperti sebelum acara ijab kabul di mulai.
“Caten! Calon manteeeenn.” Terdengar ejekan kuat setelah seseorang membuka pintu kamarnya. Declan hanya tersenyum tipis sambil terus menyelesaikan gamenya yang masih setengah permainan. Langit duduk di sofa depan ranjang sambil menatapnya penuh selidik. “Jadi, siapa Acacia Ivy itu sebenarnya, saudara Declan?” tanyanya setelah lebih dulu membenarkan posisi duduk.
Declan masih diam, tak fokus pada permainan diponselnya, tapi juga tidak langsung bisa menjawab tanya dari Langit. Kamarnya menjadi sunyi karena tak ada yang bersuara. Declan juga cenderung tidak membunyikan suara saat sedang bermain.
Sebagai sepupu yang paling dekat dengan Declan, Langit jelas penasaran dengan pernikahan yang terjadi secara tiba-tiba ini. Belum lagi, selama ini mereka bekerja bersama dan Langit tidak pernah mengetahui bahwa Declan sedang menjalin hubungan dengan siapapun. Lalu mendadak menikah, pasti ada sesuatu yang terjadi sebelumnya. Langit tau pasti, bahwa Declan tidak pernah terusik soal hal semacam hubungan dengan perempuan.
“Declan! Denger gue, kan?” Suara Langit terdengar kesal.
Declan lihat Langit dengan tatapan penuh pertimbangan. “Acacia Ivy, calon bini gue, lah,” jawab pria itu sekenanya dengan senyuman lebar untuk menghilangkan rasa curiga Langit soal Cia.
Dia berdecak kesal, tidak puas dengan jawaban yang Declan berikan. “Bukan itu maksud gue. Lo nikah tiba-tiba banget, De. Sama cewek asing. Om sama Tante iya aja lagi sama pernikahan gila begini,” protes Langit masih ingin tau.
Declan tersenyum tipis. “Dia bukan cewek asing, Lang. Dia calon istri gue. Gue gak mungkin nikahin dia kalo cuma tiba-tiba. Semuanya udah gue pertimbangin dan gue bersyukur Daddy sama Mama langsung setuju.”
Langit menarik diri dari sandaran kursi dan menatap sepupunya itu lekat. Declan sadar bahwa Langit merasakan ada sesuatu yang dirahasiakan. “Jangan bilang, lo sama di-“ Ucapan Langit terputus karena seseorang membuka pintu kamar Declan dengan kuat.
Declan menoleh ke arah kakak iparnya yang tersenyum lebar dengan perut yang buncit. “Kak Run,” panggilnya dengan senyuman lega karena tidak harus menjawab rasa penasaran Langit.
Sepertinya, saat itu Tuhan masih menyelamatkannya dengan kedatangan sang kakak ipar. Declan masih bisa bernapas lega karena sesuatu di balik pernikahannya dan Cia tidak diketahui banyak orang.
Baiklah. Lebih baik sekarang Declan berkunjung ke kamar utama dan melihat apa yang istrinya lakukan.
***
Cia berniat membersihkan wajahnya setelah mengganti pakaian dengan setelan piyama. Hari ini dia sudah harus tinggal bersama Declan sebagaimana sepasang suami istri normal lainnya. Yang tidak pernah gadis itu sangka, Declan sudah mempersiapkan hal ini sebelum pernikahan mereka terjadi.
Cia sempat terkejut setelah mendengar pengakuan bahwa Declan sudah menemui kedua orang tuanya untuk meminta izin membawa gadis itu tinggal di apartemen miliknya. Dan yang paling mengejutkan, kedua orang tuanya bahkan menyetujui itu. Cia sudah tidak lagi bisa meminta Mami dan Papi untuk memihak padanya. Mereka sudah terlampau bahagia sebab Cia akhirnya menikah.
“Gak ngerti tapi ikutan seneng lo nikah tiba-tiba begini, Mbak. Dan brengseknya, lo dapet suami ganteng banget,” ujar Qila saat menemaninya menunggu acara ijab kabul tadi pagi.
“Ganteng kalo gak waras juga buat apa?” ketus Cia memutar bola mata.
“Emang suami lo gangguan jiwa ya, Mbak?” Oh ya ampun, si Qila-ku yang polos.
“Dia gila karena gak nolak pernikahan ini, La. Malah dengan tanpa bersalah majuin rencana pernikahan yang sebenernya sama sekali gak ada,” jawab Cia dengan gerakkan penuh drama.
“Itu salah kamu sendiri, kalo kamu lupa.” Ingatkan Cia bahwa Mbak Remi juga ada di tempat mereka menunggu. “Bisa-bisanya kamu ngaku kalo dia calon suami kamu di acara sebesar pernikahan Ronal.”
“Ya tapikan dia bisa nolak dan bilang enggak di depan Mami sama Papi, Mbak.” Gadis berbibir ranum itu mulai merengek.
“Terus dia mau buat Mami sama Papi kamu malu? Orang tua kamu sama dia ada di acara pernikahan Ronal itu, Ci. Orang tuanya istri Ronal rekan bisnis para orang tua kalian. Banyak orang-orang penting di sana. Kalo sempet Declan bilang enggak, kamu juga bakal langsung malu.” Mbak Remi tidak sepenuhnya salah. Declan berpikir untuk menyelamatkan nama baik kedua belah pihak keluarga.
Jika dipikir, keluarga mereka memang punya reputasi yang lumayan dikenal di kalangan media. Akan sangat buruk jika gosip tak enak tersebar.
“Tapi ya, Mbak, bisa aja dong dia bilang sejujurnya waktu di acara pertemuan keluarga.”
Mbak Remi mendengus sambil melihatnya dengan tatapan kesal. “Udah Mbak bilang, kalo dia nolak bakal mempermalukan keluarga. Papi sama Mami kamu khususnya. Kamu pikir mudah ngungkapin kebohongan di depan keluarga dia dan Papi Mami kamu yang punya anak? Enggak semudah itu, Munaroh!”
Terdengar kekehan dari Qila saat mendengar mbak Remi memanggil Cia dengan nama asli Indonesia itu. Sedang gadis berhidung mancung itu hanya tersungut.
“Jadi maksudnya dia ngelakuin itu semua karena mikirin aku dan Papi sama Mami biar gak malu?”
“Pinter gitu. Tunjukkin dong kalo lama di Korea. Kumpul sama orang negara maju pikiran juga jangan selebar daun kelor doang, Ci.”
Mulut emak-emak memang selalu punya level pedas di atas rata-rata. Mbak Remi adalah contoh nyata. Emak-emak satu anak dengan mood yang bisa berubah dalam hitungan sekon, dan mulut dengan kata-kata pedas seperti seblak.
“Declan beneran suka kali sama kamu, Ci.” Mbak Remi berujar tanpa melihat Cia dan kembali fokus dengan benda pipih di tangannya.
“Uuuuuhhh, sweet dong kalo begitu, Mbak.” Qila sudah bereaksi berlebihan.
“Ngaco’ deh, Mbak.” Delik Cia tak suka.
Mbak Remi mengendikkan bahunya. “Who knows?”
Percakapannya bersama Mbak Remi dan Qila tiba-tiba ikut terbayang saat dia mencuci muka. Cia melihat pantulan wajahnya di depan cermin setelah menghapus semua make up dan membersihkan diri. Mengusap buliran air yang membuat wajahnya masih terlihat basah.
Segera Cia mengusap dengan keras bibirnya yang sudah tidak berlipstik saat bayangan lain yang terjadi tadi siang kembali berkelebat di kepala. Kenapa harus ada ciuman di setiap resepsi? Dan kenapa pria itu memilih untuk mencium bibirnya? Ada ciuman lain selain di bibir, bukan? Ada ciuman pipi, dahi, bahkan yang paling sederhana, ada ciuman yang hanya di punggung tangan. Itu juga bisa memperlihatkan rasa sayang dari kedua pengantin.
“Aaarrggghh!” Cia berteriak sambil menjambak rambutnya yang langsung berantakan dengan mata tertutup.
“I!” Seseorang berteriak dari arah luar dengan memanggil namanya menggunakan sebutan yang berbeda. Cia langsung diam dan menatap ke arah pintu kamar mandi yang masih tertutup dengan wajah kesal. “Lo udah mulai gila?” tanya suara itu dengan nada meledek.
Cia mendengus mendengar pertanyaan dari pria yang sekarang terkekeh di depan sana. Sesaat manik gadis itu langsung melebar saat sadar pria itu sudah berada di dalam kamar yang seharusnya hanya menjadi miliknya seorang.
“Lo kenapa masuk kamar gue, deh!?” teriaknya segera merapikan rambut dan berjalan ke arah pintu untuk melihat apa yang terjadi dibaliknya.
Bisa dilihat dengan jelas Declan yang terkekeh sambil menggelengkan pelan kepalanya dan menonton TV dengan santai berbaring di lantai yang terlapisi ambal halus. Setelah mengetuk pintu kamar yang tidak mendapat jawaban, Declan langsung masuk untuk menonton TV yang hanya tersedia di kamar utama. Sepertinya, dia harus punya TV lain untuk ruang tengah. Tidak mungkin dia harus menonton di kamar yang Cia tempati. Perdebatan mereka pasti akan semakin bertambah. Declan tak ingin mereka terus beradu argumen.
Sedang Cia sekarang sedang bersusah payah menelan salivanya setelah melihat ke arah Declan. Sial sekali, pria itu bertelanjang dada. Apa yang dia pikirkan sampai tidak memakai bajunya dengan benar? Cia mengumpat dengan lancar di dalam hati.
Sambil berkecak pinggang, Cia menghampiri pria itu. Menendang bokongnya yang membuat Declan tersungkur dari tidur miringnya. Pria dengan otot liat itu langsung melihat Cia dan berdiri, juga ikut berkecak pinggang tepat di depan gadis yang sekarang menatap dengan sorot menantang.
“Semau-mau kaki lo aja ya, I, nendang suami sembarangan banget.” Declan benar-benar terkejut dengan tindakan tak sopan dari istrinya itu.
Tapi sekarang, gadis itu malah terdiam. Cia kehilangan fokus dan itu membuat sudut bibir Declan terangkat malu-malu. Bagaimana tidak? Declan bisa melihat dengan jelas bahwa manik gadis itu sedang menelusuri dengan liar bagian tubuhnya yang tidak tertutupi kain. Declan memang jarang menggunakan baju jika sedang berada di rumah, karena dia mudah merasa gerah. Jika udara dingin sekalipun, pria itu hanya menutupi tubuhnya dengan kaos polos tanpa lengan.
Tubuh Declan memang cukup atletis, efek dari dirinya yang rajin berolahraga dan tidak melewatkan waktu gym. Declan suka olahraga apa pun, terlebih jika itu kegiatan luar ruangan seperti paradigling, diving, marathon dan satu olahraga yang sejak kecil dia tekuni, judo. Selain penggila kebersihan, Dante dan Delaney sering mengejeknya dengan panggilan coach, karena seringnya menyuruh mereka melakukan olahraga dengan baik dan benar.
“Kamar ini sepenuhnya punya lo. Kamar mandinya juga tersedia air hangat. Tinggal puter aja keran di samping shower ke panel yang warnanya kuning. Kalo mau panas puter sampe habis ke panel warna merah. Tapi kayaknya gak mungkin sih lo pake air panas. Terus dapur ada di belakang ruang tengah yang ada tv sama set game gue. Apartemen ini gak punya banyak ruangan dan sekat kok. Gue harap lo gak bingung.”
Cia masih tak memberikan perhatian pada Declan yang berbicara. Tapi Declan melanjutkan dan anggap gadis itu mendengarkan meski mata dan telinganya sedang tidak bekerjasama dengan baik.
“Di dapur ada beberapa lemari yang nyimpen makanan instan, camilan sama piring dan gelas. Lo tinggal buka aja. Alat-alat masak ada di lemari bawah kompor. Terus bahan makanan ada semua di dalam kulkas. Silakan pilih sesuai keinginan lo.”
Oh, tidak! Cia benar-benar sedang tidak mendengarkannya saat ini. Tak ada repsons. Tak ada kontak mata.
Declan menjentikkan jarinya tepat di depan Cia. “Denger gue gak lo?”
Cia menggelengkan kepala saat kembali mendengar suara pria itu. Sial! Sepertinya Cia ketahuan sedang tak fokus karena terlalu dalam memperhatikan tubuh Declan yang punya enam otot terbentuk sempurna di perutnya, terlihat persis seperti roti sobek yang sering diucapkan anak jaman sekarang. Otot lengannya terlihat liat dan padat. Ditambah dengan kulit Declan yang sedikit gelap. Tubuhnya semakin terlihat... menggoda.
Sepanjang hidupnya, otot Declan menjadi yang paling nyata bisa Cia lihat.
“De-, denger kok,” jawab Cia mencoba menormalkan pikirannya yang mulai sedikit liar sekarang.
“Apa?” tantang Declan menyilangkan lengan di depan dada, membuat otot lengannya mengeras. Cia kembali tidak fokus untuk melihat mata Declan. Tatapannya terus tertuju pada tubuh pria yang terbalut dengan otot-otot liat itu. “Fokus, Ivy, fokus. Mata gue di atas. Lo ngeliat ke mana-mana itu,” ujar pria itu sambil beberapa kali menjentikkan jarinya di depan Cia yang kembali tergagap.
“Pokoknya gue mau make kamar ini,” balas Cia penuh percaya diri dengan ikut menyilangkan lengan di depan dada. Meski Cia tidak mendengar apa yang Declan ucapkan sejak tadi, tapi dia yakin, pria itu membicarakan soal tempat tidur.
“Beneran gak dengerin gue lo dari tadi.”
Jadi tebakannya salah? Kepala gadis itu memiring dengan kerutan di dahi untuk memastikan apa yang sebenarnya pria itu katakan tadi. “Lo ngomongin soal kamar ini, kan? Lo pasti ngocehin karena ini apartemen lo, jadi lo yang berhak tidur di kamar utama yang selama ini lo tempatin, kan? Big no! Gue bakal tetep tidur di kamar ini, titik,” ujar Cia mempertahankan ke-sok-tahuannya.
Terdengar tawa renyah dari pria itu sambil menutupi wajah. Mata sipitnya jadi semakin tak terlihat saat dia tertawa. “Gue dari tadi ngocehin soal letak-letak ruangan di apartemen ini, I. Biar lo gak bingung. Lagian gue juga tau banget, lah, anak manja kayak lo pasti bakal milih kamar gede begini buat tidur. Dan gue udah bawa barang-barang gue keluar ke kamar yang lain kali.”
Benarkah begitu? Kenapa dia menjadi sangat baik dengan membiarkan Cia tidur di kamar utama yang selama ini pria itu tempati?
Harusnya bukan seperti ini adegannya. Declan harus menjadi pria tidak baik yang tidak memperbolehkannya tidur di kamar utama ini. Karena pernikahan yang terpaksa terjadi, Declan harusnya bersikap ketus dan tak acuh. Baiklah, terkadang Declan memang begitu. Dan lagi-lagi, seharusnya Declan bahkan tega menjadikan Cia pembantu untuk menuruti semua keinginan pria itu dengan ancaman akan menceritakan semuanya para kedua orang tua yang memberikan banyak nasihat soal pernikahan sejak Cia dan Declan sah menjadi suami dan istri tadi.
Mereka tidak seharusnya mengobrol tanpa terlibat cek-cok seperti ini. Keadaan ini menjadi aneh karena keduanya terlihat sangat tenang tanpa perdebatan. Seharusnya Cia sudah menjadi gadis tertindas yang punya alasan untuk saling berpisah. Tapi apa sekarang?
“Gue tau banget pikiran drama yang sekarang ada di dalem kepala lo, I.” Tepat sekali, apa sekarang Declan mulai bisa membaca pikiran Cia? “Makanya jangan kelamaan di Korea yang penuh dengan kisah indah dan tak nyata di dramanya. This is your real life. Dan gue gak akan sama kayak cowok yang sekarang lagi lo gambarin dalem pikiran lo.”
Cia mendengus sambil memalingkan wajah. “Emang lo bisa baca pikiran seakurat itu?”
Pria itu maju selangkah lebih dekat dengan Cia yang berusaha untuk tetap tenang dengan jarak yang semakin menipis. “Muka lo,” dia menunjuk seluruh wajah sang istri. “Gak cocok buat jadi gadis teraniaya. Jelas banget tampang bangor-nya.” Dengan senyuman miring pria itu kembali mundur.
Astaga! Cia kesal karena ucapan pria itu tepat seperti apa yang dia pikirkan. Wajahnya benar-benar buruk saat harus menutupi sesuatu. Bahkan orang bisa melihat saat gadis itu tidak menyukai seseorang dari cara Cia menatap orang itu. Bukankah sulit punya ekspresi yang menunjukkan apa yang kita pikirkan dengan jelas?
“Welcome to my apart-, oops sorry, our apartment, Ivy. This is your room. Good night and sleep tight.” Senyuman pria itu mengembang. Membuat tulang pipinya terangkat.
Cia hanya bisa menghela, kembali memiringkan kepalanya untuk melihat reaksi dari Declan yang selanjutnya. Tapi pria itu tak lagi berbicara dan hanya membalikkan badannya untuk meninggalkan kamar yang sudah dia berikan pada sang istri. Memang, Declan memutuskan untuk keluar dari kamar itu karena tidak tahan melihat wajah Cia lebih lama. Gadis itu sangat lucu dengan ekspresi terkejutnya. Dan pria itu tidak bisa terus-terusan menahan senyuman karena itu.
“Declan.” Dia langsung berhenti dan kembali melihat Cia dengan wajah bertanya. Gadis itu menahan napas melihat wajah Declan yang terlihat tulus. “Lo lupa kalo kita punya sesuatu yang harus didiskusiin?” tanyanya menghilangkan rasa gugup yang tiba-tiba saja menyergap.
Pria itu menatap penuh ke arah Cia. Dia masih diam dan hanya menatap tanpa ekspresi. Helaan terdengar darinya.
“Gak ada tidur satu kamar, apalagi berdua dengan satu ranjang. Gak boleh ikut campur dengan urusan masing-masing. Gak boleh melarang atas apa yang dikerjakan satu sama lain. Jangan sampai para orang tua tau kalo gue sama lo bukan suami dan istri yang normal. Bersikap sebagai suami istri yang baik-baik saja disetiap pertemuan keluarga. Melakukan urusan dan kehidupan sendiri-sendiri.” Declan mengambil jeda untuk menghela napasnya setelah mengucapkan kalimat panjang itu. Cia terpaku. Kedua tangannya bahkan jatuh ke sisi tubuh. “Gue tau itu yang mau lo diskusiin, I. Dan gue udah pikirin semuanya. Gue sepakat dan setuju dengan segala usulan diskusi lo malam ini. Gak perlu ada perjanjian tertulis. Gue udah inget semuanya,” sambung pria itu dengan nada datar.
Apa aku sudah mengatakan sesuatu padanya? Atau apa yang akan aku ucapkan sudah tertulis jelas di depan dahiku?
“Declan?” Aku tiba-tiba saja memanggil namanya.
“Hm,” gumam pria itu dengan wajah santai dan memasukkan kedua tangannya di saku celana pendek yang dia pakai.
“Are you really this nice to everyone?” tanyaku begitu saja.
No! It’s only to you.
Ingin rasanya Declan meneriakkan kalimat itu. Tapi dia malah tak mencoba merespons. Declan hanya diam sambil terus menatap Cia tanpa berkedip. Keduanya membiarkan hening menjadi tembok perantara sepasang manik suami dan istri itu yang mencoba saling mengartikan. Cia bisa melihat jelas bahu Declan menghendik sekilas. Tanpa menjawab, pria itu membalikkan tubuh. Meninggalkan Cia dan menutup pintu kamar.
Napas gadis itu berhembus dengan kuat. Tubuhnya mendadak lemas. Ranjang menjadi tujuan pertamanya untuk duduk dan menenangkan diri. Tidak pernah ada pria yang begitu pengertian seperti ini selama Cia mengenal seseorang. Maksudnya, bagaimana bisa dia mengerti dengan apa yang Cia pikirkan tanpa perlu diucapkan? Mereka baru saling mengenal. Setidaknya, itu yang Cia pikirkan.
Sebab gadis itu tidak tau, bahwa pria yang sekarang masih berdiri di depan pintu kamar, sedang bersusah payah menormalkan napasnya yang berhembus terputus-putus. Declan masih memegang gagang pintu. Berharap, Cia tidak mendengar detakkan tak normal dari jantungnya saat ini di dalam sana.
***