Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

KRONOLOGI SEBELUM PERNIKAHAN

Declan hanya bisa menghela napas lelah saat Dante dan Delaney menariknya kembali ke kamar sebelum benar-benar pergi ke rumah Cia seperti yang sudah Daddy rencanakan. Mereka pasti terkejut setelah mendapat kabar bahwa dia akan menikah.

“Lo bisa ceritain semuanya sama Mas dan Abang, De. Kenapa tiba-tiba lo mau menikah?” Dante, Kakak tertua dari ketiganya itu, memulai pembicaraan.

“Ya masa Mas sama Abang doang yang nikah. Gue juga pengen, Mas.” Declan mencoba tak acuh.

“De! Lo ngerti pertanyaan Mas Dan itu apa. Jawab bener-bener deh kalo diomongin Mas sama Abangnya.” Delaney ikut berbicara.

Declan menghempaskan napas kuat. Dilihat bergantian kedua kembarannya yang sekarang menunggu penjelasannya. Selama ini, Declan tidak pernah berbohong pada keluarganya. Tapi Declan tidak sanggup untuk mengatakan bahwa rencana pernikahan itu hanyalah kalimat spontan dari Cia karena malu setelah datang di acara pernikahan sang mantan pada kedua orang tuanya. Dan ini adalah kebohongan pertama yang Declan lakukan. Tapi kebohongan itu tidak berlaku pada kedua kembarannya yang meski terlihat sangat dingin, namun lebih peka dengan keadaan di sekitar mereka. Lagipula, bukankah Declan harus menceritakannya pada seseorang untuk mendapatkan pencerahan dengan apa yang terjadi padanya dan Cia, bukan?

“Rencana pernikahan ini emang cuma bualan Ivy yang mungkin malu karena pergi sendirian dipernikahan mantannya waktu itu.” Declan akhirnya menceritakan ini pada mereka

Terdengar dengusan dari Delaney dan tatapan dengan arti sudah kuduga dari Dante. Sedang Declan hanya bisa menatap mereka bersama sorot bahwa dia tidak berniat untuk memperpanjang masalah ini.

“Gue mohon rahasiain ini dari Daddy sama Mama, Mas, Bang,” pinta Declan bersungguh-sungguh.

“Kenapa? Dia manfaatin elo, De. Lo udah gila mau ngikutin permainan yang dia buat tanpa berpikir panjang?” Delaney nampak tidak terima dengan ucapan Declan.

“Mom sama Daddy harus tau yang sebenarnya. Pernikahan itu gak main-main, Declan. Pernikahan itu cuma sekali seumur hidup.” Dante menimpali.

“Gue bakal buat ini jadi pernikahan gue yang pertama dan terakhir kalinya, Mas. Jadi tolong kabuli, jangan kasih tau soal keberannya ke Daddy sama Mama.”

“Pernikahan karena spontanitas dan gengsi itu gak mungkin berjalan baik, Declan. Lo sama dia sama-sama gak menginginkan pernikahan ini. Apanya yang bisa jadi pertama dan terakhir?”

“Bang, gue punya alasan.” Kedua kembarannya nampak tak mengerti dengan maksud ucapannya. “Sebenernya, gue udah suka sama Ivy dari sejak pertama ketemu sama dia.”

Dante dan Delaney kompak mengerutkan dahinya. Sedang Declan melihat bergantian keduanya untuk melihat situasi melanjutkan cerita. “Gue tonjok beneran lo kalo main tebak-tebakan begini sama orang yang lebih tua.” Delaney sudah tidak sabar.

“Dih, beberapa menit doang diitung banget, Bang.” Declan berdecak tak terima.

“Yang penting gue lebih tua dari lo.”

“Udah! Gue yang paling tua di sini!”

Delaney dan Declan langsung terdiam setelah Dante berseloroh dengan nada dingin. Mereka langsung bersikap serius untuk kembali memulai pembicaraan.

“Jadi gue ketemu sama dia tiga bulan lalu di Korea. Waktu itu gue ada projek di sana. Dan dia salah satu model yang ada di tempat projek gue. Di situ gue terpesona banget sama Ivy. Tapi setelah kembali ke Indonesia, gue tau gak bakal ketemu dia dan sebenernya udah lupa banget. Sampe gue ketemu lagi sama dia di warung nasi uduk belakang gedung televisinya keluarga Prasiarkana. Dan yang paling keren, ternyata dia kenal sama Bang Tobi. Mereka temenan selama ini.”

Declan melihat kedua kembarannya dengan senyuman lebar. “Berasa takdir emang berpihak sama gue gak sih, Bang, Mas?” Seperkian detik, Dante dan Delaney hanya terdiam menatap Declan dengan sorot tak memiliki minat. Declan mendengus kemudian. “Kalo gak mau denger gak usah buat gue cerita begini, deh,” kesal Declan.

“Jadi ini alasan lo nerima pernikahan yang cewek itu putusin secara sepihak dan serampangan begitu?” tanya Delaney mencondongkan tubuhnya ke depan.

Declan mengangguk dua kali. “Ini kesempatan buat milikin dia, Bang. Kapan lagi dapet keberuntungan yang Tuhan kasih dengan nikah sama orang yang kita sukai sejak awal? Selebihnya, gue cuma perlu berjuang lebih buat dia punya perasaan yang sama kayak gue.”

Dante menghembuskan napas kuat. Berdiri, mendekati sang adik yang terlihat kebingungan. Tangan Dante terulur. Meski ragu, Declan menerima jabat dari sang kakak.

“Selamat datang di dunia perbucinan, De. Lo beneran adek gue sama Abang dan bisa dipastikan lo anaknya Alder Reuven.”

Declan masih belum mengerti maksud dari kalimat Dante. Sampai suara tawa Delaney terdengar dan membuat Declan sadar, keluarga mereka selalu menggilai perempuan dikehidupannya. Mulut Declan menganga tanpa suara.

“Tapi beneran jangan ngomong hal ini ke Mama sama Daddy, ya.” Declan masih berusaha meyakinkan.

“Iya. Aman rahasia lo.” Delaney mengusap mata dan hanya membiarkan Dante dengan senyuman miringnya.

***

Cia menunduk. Tak berani melihat ke sekelilingnya saat ini. Banyak orang asing yang ikut duduk di ruang keluarga rumah kedua orang tuanya ini. Gadis itu menghela pelan. Dilirik pria yang duduk di sampingnya yang sekarang bahkan hanya duduk dengan santai sambil memainkan benda pipih di tangan. Cia benar-benar kesal melihat sikap tak acuh yang Declan tunjukkan saat ini.

Sementara Cia tidak mengetahui bahwa pria yang dianggapnya sedang bersantai itu kini juga tengah tergugup hanya karena duduk di sampingnya. Declan bahkan menyadari jika Cia duduk dengan tak nyaman karena kedua orang tuanya tak kunjung turun dari kamar mereka di lantai dua.

“De, udahan main handphone-nya.” Sempat terkejut karena panggilan sang Ibu, Declan akhirnya benar-benar menyimpan ponselnya kembali ke saku celana.

Tak ada alasan bagi Declan untuk mengalihkan pandangan. Kini berkali-kali, dia melirik ke arah gadis yang sekarang tengah memperhatikan kedua kembarannya. Mata Declan bergerak melihat Dante dan Delaney yang juga menatap Cia dengan tajam. Astaga! Apa mereka sekarang tengah kontes saling tatap? Declan hanya bisa menghela melihat itu.

Cia sempat menghela napasnya berkali-kali sebelum benar-benar menjatuhkan pandangan pada kedua kembaran pria yang sepertinya akan segera menjadi sang suami. Ini benar-benar sangat canggung. Cia tidak mengenali mereka atau lebih tepatnya, belum mengenali. Sebab bahkan, tatapan saudara kembar Declan terlihat tak bersahabat padanya. Cia sudah bisa menilai bahkan sejak pertama melihat, Declan jauh lebih menjadi manusia dibanding kedua kembarannya ini. Lihat saja, meski kembar, sifat mereka nampak jelas jauh berbeda. Gadis itu mengakui bahwa mereka bertiga benar-benar sangat tampan meski dengan kelebihan masing-masing.

Cia menoleh ke arah Declan yang menaikkan kedua bahunya sekilas, khas orang yang tak acuh dengan apa yang terjadi. Lalu kembali melirik ke arah kedua kembaran Declan yang ternyata masih menatapnya dengan wajah tanpa ekspresi dan sorot tak berperasaan. Gadis itu tidak pernah merasa terintimidasi seperti ini sebelumnya, tapi Cia bahkan langsung menunduk untuk menghindari tatapan yang mereka. Gadis bermanik hazel itu bergidik. Kenapa hanya Declan yang punya senyuman di keluarga Reuven ini? Alder, sang ayah, bahkan tidak mengubah wajah datarnya dan hanya mengelus pinggang istrinya terus-menerus. Ah, Cia benci dengan pria dingin tapi begitu perhatian dan sangat memuja sang istri seperti bapak Alder Reuven ini.

“Om, Tante. Cia mau panggil Mami Papi dulu, ya? Om sama Tante tunggu sebentar,” ujarnya dengan senyuman seramah mungkin.

“Oh, iya, Ci. Makasih ya, sayang.” Ibu Declan menyentuh lengan Cia dengan lembut. Senyuman khas seorang Ibu yang diberikan untuknya, cukup untuk menebus tatapan tajam dari kedua putranya yang lain.

“Dad.” Dante langsung membuka percakapan keluarga sesaat setelah Cia menghilang dari arah tangga. Declan mendelik was-was. “Daddy yakin mau nikahin Declan sama cewek itu?”

Declan langsung bergerak cemas dari tempatnya duduk. Jangan bilang bahwa kembarannya itu akan mengatakan yang sebenarnya pada kedua orang tua mereka sekarang. Jika memang benar begitu, Declan tidak akan mempercayai mereka kedepannya.

“Emang kenapa, Mas? Declan udah waktunya nikah juga.” Sang Mama jelas tidak setuju dengan pertanyaan Dante yang condong untuk mengagalkan pernikahan putra bungsunya.

“Bukan gitu, Mom. Declan kan masih kayak anak kecil. Tidur aja masih sering manggilin Mom kalo lampu kamarnya gak nyala. Emang udah bisa jadi suami yang model begituan?”

Dante tersenyum miring ke arah Declan yang sekarang sudah melotot. Declan yakin Dante sekarang merasa puas karena berhasil menggodanya. Delaney bahkan dengan senang hati memeriahkan suasana dengan ikut terkekeh bersama Dante dan tanpa sembunyi ber-tos ria tepat di depan Declan yang tersungut.

“Jangan ngejekin Declan yang gak bisa tidur dengan lampu mati ya, Mas. kamu sama aja ngeledek Daddy itu.”

Tawa kecil Dante langsung hilang setelah mendengar ucapan sang Daddy yang terlihat pura-pura kesal. Sedang Delaney hanya mengulum tawa yang diikuti Declan. Soal dia yang tidak bisa tidur jika lampu tidak menyala, itu memang benar. Dari kedua saudaranya, Declan lah yang menuruni kebiasaan sang Daddy itu. Tidak ada alasan khusus, Declan hanya benar tidak bisa tidur dengan lampu menyala.

***

Dengan gerakkan pelan, Cia membuka pintu kamar kedua orang tuanya. Entah apa yang dibicarakan suami istri itu, tapi Cia harus memastikan jika orang tuanya tidak merencanakan apapun. Terlihatlah keduanya yang masih duduk di tepi ranjang dengan wajah yang sangat santai. Bagaimana mungkin mereka bersikap begitu tenang saat Cia dihadapkan dengan banyak tekanan karena duduk di tengah keluarga yang tidak dia kenali? Sebagai orang tua, mereka harusnya ikut memikirkan tekanan itu meskipun Cia sendirilah penyebabnya.

“Kalo keluarga Reuven gak mau nikahin Cia sama Declan gimana, Mi?” tanya Papinya pada sang istri.

“Kita harus promosiin Cia lebih gencar, Pi. Mami tuh gak nyangka ya kalo ternyata selama ini Cia pacaran sama anaknya Ibu Lova.” Sang Mami menggerakkan tubuhnya dengan berlebihan.

“Papi juga tenang sih sebenernya kalo Cia nikah sama Declan. Papi kenal sama Alder kan udah lama, jadi Papi yakin kalo keluarga mereka keluarga baik-baik.” Papi tersenyum lebar.

“Alhamdulillah, Pi. Cia masih waras dengan milih keluarga baik-baik buat jadi calon besan kita.”

Cia mendengus tidak tahan dan langsung masuk melihat ke arah sepasang suami istri yang terlihat tidak terkejut dengan kedatangannya. “Mami sama Papi apaan, sih? Tega banget nge-iyain anaknya dinikahin?” Suara gadis itu sudah tidak terkendali. Cia sudah ingin menangis sekarang.

Sang Mami terkekeh. “Kan kamu sendiri yang bilang, Cia. Dua bulan lagi kalian menikah. Mami seneng dong.”

Lagi-lagi Cia mendengus melihat wajah semringah dari sang Mami yang benar-benar tidak memikirkan tentangnya.

“Udah, Ci. Mereka keluarga baik-baik kok. Ayah Declan temen lama Papi.” Tepukan pelan dari Papi di bahu membuatnya semakin kesal.

Cia kira mereka akan terkejut dan tidak terima dengan apa yang dia ucapkan saat acara itu. Tapi ternyata gadis itu salah sama sekali. Bukankah sudah bisa ditebak jika kedua orang tuanya akan sangat bahagia karena pernikahan yang tiba-tiba saja dia ucapkan? Sebab itulah yang mereka inginkan.

“Ayo turun. Kasihan keluarga Declan nunggu lama.” Papinya berjalan mendahului.

Dan tentu saja, sang Mami mengikuti suaminya dengan wajah cerah. Jika ingin mengumpat sejadi-jadinya

***

“Maaf menunggu lama, Alder.” Papi dan Mami akhirnya turun dan menghampiri keluarga Reuven di ruang keluarga.

Cia mengikuti langkah mereka dan kembali duduk di samping Declan yang menatap dengan wajah tenang. “Apa lo?!” sungut gadis itu ke arah Declan yang menaikkan alis karena terkejut. Pria itu mengangkat bahunya dengan wajah berkerut tak mengerti.

“Gak papa, Mas Wira,” balas Daddy Declan dengan senyuman.

Sialan! Cia mengumpat di dalam hati setelah melihat calon ayah mertuanya itu. Kenapa Om-Om ini punya senyuman yang sangat menawan? Tak salah jika ketiga putranya juga begitu mempesona.

Sang Papi menyalami kedua orang tua Declan dan kedua kembaran pria itu. Sangkaan Cia tentang Dante dan Delaney akan lebih tampan jika tersenyum sangat tepat. Kedua pria itu semakin mempesona dengan senyuman yang mereka berikan. Meski sangat tipis.

“Kedatangan saya dan keluarga ke sini bermaksud untuk memperjelas hubungan Declan dan Cia yang secara tidak langsung sudah mereka umumkan dipernikahan Citra dan Ronal waktu itu.”

Tidak ada yang bisa Declan lakukan saat tiba-tiba saja napasnya tertahan setelah mendengar Daddynya memulai pembicaraan tentang pernikahan. Semua orang terdiam untuk mendengar kalimat sang Daddy selanjutnya. Declan sempat melirik ke arah Cia yang sepertinya sedang tenggelam dengan pikiran yang entah apa sehingga tak memberi acuh pada percakapan saat ini.

“Maaf jika terkesan terburu-buru atau bahkan kami sebenarnya sangat terlambat karena baru datang sekarang. Mas Wira sudah menjadi rekan bisnis saya sejak lama. Mendengar kabar bahwa anak-anak kita menjalin hubungan, jelas membuat saya dan keluarga sangat bahagia. Karena sebenarnya, kami juga baru mengetahui hubungan mereka.”

“Oh, tidak apa-apa, Alder.” Tawa singkat dari Ayah Ivy yang sejak tadi tersenyum terdengar. “Saya dan istri juga baru mengetahui hubungan Cia dan Declan saat pengumuman yang mereka buat waktu itu. Seperti yang keluarga Reuven rasakan, saya dan istri juga sangat bahagia mendengar kabar itu.”

Declan sudah bisa menebak bahwa Cia pasti tidak mengatakan apapun yang sebenarnya pada orang tuanya sama seperti dia. Lihat saja sambutan bahagia dari kedua orang tua Cia saat Declan beserta keluarga datang. Sepertinya, Papi dan Mami gadis itu memang menginginkan sang anak untuk segera menikah.

“Jadi dua bulan yang kalian maksud, tanggal berapa tepatnya itu, Cia?”

Sial! Umpatan sempurna Cia lancarkan dalam batinnya. Sepertinya dia melewatkan beberapa percakapan karena terlalu fokus menilai dan membandingkan Declan dengan kedua kembarannya yang selalu terlihat mengintimidasi itu. Cia melihat ke arah Ibu Declan dengan senyuman.

“Ah, Cia lupa waktu itu sempet ngobrol sama Declan soal tanggalnya, Tante.” Cia mengusap leher belakangnya.

Wanita paruh baya itu tertawa yang diikuti oleh orang tua lainnya. “Kamu inget kapan, De?”

Declan menarik dirinya dari sandaran sofa. “Aku bahkan lupa kalo pernah bahas pernikahan sama Ivy, Ma,” ujar pria itu tanpa rasa bersalah.

Sang Ibu memelotot ke arah Declan yang tidak memberikan respon yang berarti. Cia memejam sejenak sambil menggigit bibir bawahnya untuk menahan emosi karena pria itu tidak membantu sama sekali. Gadis itu menoleh ke arah Declan yang hanya memiringkan kepala dan menarik kedua alisnya dengan cara penuh drama.

“Gimana kalo para orang tua saja yang menentukan? Daripada kalian kesulitan mengingatkan kapan tanggal yang sempat kalian rencanakan?” Sang Mami tidak akan melewati kesempatan ini untuk melanjutkan rencana pernikahan gila itu.

“Gak papa, Mi. Biar Cia sama Declan aja yang nginget sendiri. Ya, kan?”

Cia menyenggol Declan dengan keras. Dan sepertinya pria itu baru saja tertarik kembali ke dunia sebenarnya dari pikiran gila yang sekarang terlintas secara impulsif.

Declan terkekeh dan menegakkan punggungnya. “Karena saya juga gak terlalu ingat dengan pembahasan tanggal pernikahan, gimana kalo dipercepat aja jadi bulan depan, Tante?” Declan melihat ke arah orang tua Cia. “Awal bulan. Tepat, dua minggu dari sekarang.”

Manik Cia membulat sempurna sambil menoleh ke arah Declan yang hanya tersenyum lebar. Alis pria itu kembali bergerak, seolah mengeje Cia dengan rencana yang tiba-tiba saja dia sebutkan.

Apa dia tidak terusik dengan pernikahan tiba-tiba ini? Menyebalkan!

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel