PART 06
Sekali lagi, Jasman saat ini hanya berposisi sebagai pendengar yang baik saja. Lagi pula, tak ada hal yang harus ia tanya atau ceritakan untuk saat ini. Dia masih menganggap Widya sebagai orang asing yang baru ia kenal. Dia tak ingin memberi kesan dirinya kepo kepada wanita cantik itu. Dia memilih untuk pasif dan membiarkan saja wanita di depannya untuk bercerita tentang segala hal mengenai dirinya.
Ya, baginya, Widya murni bukan siapa-siapa, paling tidak untuk saat ini. Tak ada hal atau perasaan apa pun yang terasa dalam hatinya kepada wanita itu, selain daripada rasa kasihan. Wanita itu saat ini sedang sangat membutuhkan perlindungan darinya, dan ia ikhlas untuk memberikannya.
Tiba-tiba Jasman teringat lagi pada Ningrum, sang mantannya yang telah menerima pinangan laki-laki lain atas keinginan orang tuanya. Laki-laki yang menggandengan tangannya tadi siang dengan mesra. Kendati demikian, di hatinya tetap menyimpan rasa cinta dan rindu yang besar kepada gadis berdarah bangsawan Jogja itu. Sekalipun sudah tak ada hubungan kasih lagi, telah putus --atau lebih tepatnya diputuskan secara paksa--namun rasa cintanya tak pernah pupus dalam hatinya. Ningrum tetap ada dalam ruang hati dan benaknya. Akar-akar cintanya masih tertancap kuat di taman hatinya, sampai kini, dan hingga sampai kapan pun. “Ah, Ningrum, aku masih belum mampu untuk melupakanmu, dan tak akan pernah bisa untuk selamanya. Kautelah membawa serta sebagian jiwaku, karena itu aku masih sangat cemburu ketika kauberjalan dengan laki-laki pilihan orang tuamu itu,” jerit batin Jasman. “Apakah kaumasih mengingatku? Apakah hatimu masih seperti hatiku yang selalu merindkanmu setiap saat?”
Tidak! Ningrum pun tak pernah melupakannya, pun setiap saat selalu mengingatnya, batin Jasman. Tak ada alasan sedikit pun yang bisa membuatnya harus melupakan aku yang merupakan cinta pertama dan sejatinya, apalagi untuk membencinya. Cinta tak pernah berubah. Ruang hatinya sudah tak punya celah lagi untuk menerima cinta laki-laki, termasuk untuk menerima cinta seorang Hendri Soma, tunangannya, pilihan orang tuanya. Terkadang gadis berdarah ningrat yang berwajah tak kalah cantiknya dengan Widyanti itu menangis jika mengenang kembali semua hal yang indah dan berkesan bersama Jasman. Oh, tidak, aku tidak pernah menganggap Mas Jasman sebagai mantanku, sebab dia tetap ada di hatiku, bantin Ningrum.
Tadi siang itu, sebenarnya Ningrum melihat Jasman yang berjalan bersama Fadli. Hendri Soma yang lebih dulu melihat Jasman, memintanya untuk berpura-pura tidak melihatnya lalu berpura-pura menampakkan kemesraan. Ia sangat terpaksa mengikuti kemauan tunangannya itu. Jika tak mengikuti keinginannya, ia takut laki-laki itu akan berbuat yang enggak-enggak terhadapnya. Ia sangat tahu watak Hendri Soma yang suka emosian dan tak mengenal sikon jika keinginannya tak dituruti.
Jika Ningrum bandingkan antara Hendri Soma dengan Jasman, maka ia seperti antara warna hitam dengan putih. Sikap Hendri masih kekanak-kanakan dan kurang adab, dan ia tak pernah merasakan kenyamanan saat jalan dengannya. Sementara Jasman adalah tipe pria yang menjadi idaman semua wanita. Kesetiaannya tak ia ragukan, lemah lembut dan sangat menghormati dirinya sebagai kekasih dan sebagai wanita, juga memiliki sifat melindungi yang sangat tinggi. Dari segi fisik pun, Jasman jauh meninggalkan Hendri Soma. Tinggi, kekar, dengan wajah tampan, face khas laki-laki blasteran Arab-Ajam. Sementara Hendri Soma tubuhnya pendek dan cenderung punya penampilan alay, matanya jelalatan, play boy, tetapi cemburunya over dosis. Dan laki-laki yang paling membuatnya sangat cemburu tentu saja adalah Jasman.
Pernah suatu hari, saat ia diajak oleh tunangannya itu untuk menikmati keindahan obyek wisata Candi Prambanan, sang tunangannya itu meminta fotonya untuk dipakai mengambil gambar mereka berdua, karena hapenya sendiri terlupa di mobilnya. Saat membuka galeri untuk melihat gambar-gambar yang tadi diambilnya, tiba-tiba tunangannya itu uring-uringan.
“Kenapa, Mas? Wajahnya kok langsung kencang begitu,” tanya Ningrum.
“Kaumasih menyimpan foto mantanmu itu, ya?”tanya Hendri Soma sembari membuang pandangannya ke arah lain.
“Iya, Mas, lupa...”
“Ah, lupa atau memang sengaja? Tak rela untuk dihapus?”sindir Hendri Soma. “Ya hapuslah. Kamu kan sudah jadi calon aku! Mana fotonya mesra-mesra lagi. Huh...!”
“Ya Mas, ntar aku hapus kalau sudah di rumah,” sahut Ningrum.
“Tidak! Hapus sekarang!” ucap Hendri Soma sembari mengembalikan hape itu kepada Ningrum.
“Kok, maksa sih, Mas?”
“Ya wajar aku maksa, kamu kan sudah jadi tunanganku!” Hendri Soma menaikkan tekanan suaranya untuk mengalamatkan kejengkelannya.
“Iya aku tau, tapi ntar di rumah Ning hapusnya...”
“Sini hapenya!” Hendri Soma langsung merampas lagi hape itu dari tangan Ningrum. “Ayo, kita pulang.”
“Kenapa kok cepat pulang, Mas? Kita belum lagi lama?” protes Ningrum.
Hendri Soma tak menanggapi. Dalam mobil pun laki-laki yang juga berasal dari daerah seberang seperti Jasman itu menyetir dengan mulut membisu. Karena tak mau diajak bicara, maka Ningrum pun ikut-ikutan membisu.
Hendri Soma tidak langsung membawanya pulang ke rumahnya, tetapi membelokkan arah laju mobilnya ke arah Jl. Malioboro. Masih dalam kondisi membisu tunangannya itu menarik tangannya, mengajaknya untuk masuk ke sebuah Mall dan langsung menuju sebuah gerai handphone. Tanpa banyak bertanya pada penjaga gerai, ia langsung menunjuk sebuah kotak hape bersegel yang tergolong mahal yang terpampang dalam etalase. Tanpa menanyakan harganya, ia langsung menyerahkan kartu kreditnya pada penjaga gerai.
“Kaupakai hape ini,” ucapnya sembari menyerahkan hape baru itu kepada Ningrum.
“Tapi dalam hape Ning itu banyak nomor-nomor penting yang harus Ning salin dulu,” protes Ningrum dengan wajah kecewa.
“Ah, gampanglah itu, ntar aku kirimkan saja lewat WA.”
Ningrum sampai menggeleng-geleng pelan jika mengingat peristiwa itu. Romonya seperti telah memaksanya untuk membuang pedang yang terbuat dari baja terbaik dari tangannya lalu menggantinya dengan sebilah pisau yang hanya terlihat bagus sarung dan gagangnya padahal hanya terbuat dari besi yang tak mengadung baja. Ya, Jasman disingkirkan oleh romonya karena dia bukan berasal dari kalangan ekonomi atas dan memilih untuk menerima pinangan dari keluarga Hendri Soma yang merupakan keluarga kaya raya. Ningrum hanyalah seorang anak perempuan, tentu saja tak mampu untuk menentang kehendak romonya itu. Ia tak ingin mengecewakan hati romonya yang telah berjuang untuk membiayai kuliahnya di sebuah fakultas yang membutuhkan biaya yang tak sedikit. Sebuah kenyataan telah membuktikan, bahwa harta terkadang dijadikan tolok ukur untuk sebuah kebaikan dalam segala hal.
“Tau nggak, Ning, ketika aku melihat kau berjalan dengan cowok barumu itu, eh, tunanganmu, ya?, aku jadi geli-geli gimanaa, gitu. Aku mengamsalkan kau dan dia itu bak seekor bebek peking yang berjalan di samping seekor angsa, ckckckck,” ejek Lusi, teman satu fakultas dengannya, suatu hari ketika keduanya sedang menikmati makan siang di kantin kampusnya.
Ningrum sama sekali tak tersinggung dengan ejekan si Lusi itu, malah ia ikut tertawa cekikikan. Sebab sindiran sejenis itu sering ia dapatkan dari teman-temannya yang lain. Lalu ia balik bertanya, “Trus yang cocok dengan aku itu siapa?”
“Ya Jasmanlah. Kalau dengan Jasman kalian sangat serasi, mungkin amsalnya laksana seekor burung flamingo yang menggandeng seeokor angsa. Jasman ganteng dan kau cantik!” jawab Lusi dengan nada dan wajah serius.
