Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

PART 07

Ningrum tersenyum sendiri mengingat ucapan si Lusi itu. Ia membuka album di gawainya, hendak membuka foto-fotonya kenangannya dengan Jasman, tapi tersadar, bahwa hape yang menyimpan semua kenangannya dengan sang mantannya itu telah diambil oleh Hendri. Kembali kecewa menyapa hatinya. Dan pada saat yang sama bayangan wajah Jasman hadir dalam benaknya, menjadikan tidur sorenya gagal. Sembari memeluk bantal gulingnya matanya menatap kosong pada tembok bercat kuning gading di hadapannya. “Sedang apa ya Mas Jas sekarang? Pasti ia sangat kecewa ketika tadi siang melihat aku jalan bergandengan tangan dengan hendri,” gumamnya, seolah-olah berbicara kepada dirinya sendiri.

***

Jasman sedikit kaget.

Widya pun jadi tersenyum. Wanita itu saat memandang wajah pemuda di depannya yang naga-naganya tengah memikirkan sesuatu sampai-sampai tak mndengarkan pertanyaannya. Lantas ia mendehem untuk membuyarkan lamunan Jasman

"Oh ya, Dik Jas masih kuliah?"

Jasman sedikit kaget. "Eh...iya, Mbak, maaf…barusan Mbak Widya berbicara dengan saya?” Jasman tergagap yang membuatnya terlihat seperti orang linglung.

Widyanti menyembunyikan senyumnya dengan punggung tangannya, “Ya teman Mbak dalam kamar ini kan hanya Dik Jas, lantas Mbak berbicara dengan siapa lagi? Hehehehe. Dik Jas sedang melamunkan apa, sih? Serius sekali nampaknya.”

“Oh…tidak melamunkan apa-apa, kok Mbak, cuma saya tadi merasa heran saja, kok seorang CEO sikap dan adabnya mirip mafia begitu, ya?” ngeles Jasman spontan. Namun seolah dia sendiri tersadar, kok bisa-bisanya dia cepat memberikan alasan seperti itu. Ckkckck.

“Ya, akibat cinta buta, mungkin,” jawab Widyanti. “Kata orang, cinta dapat merupah sifat dan adab seseorang menjadi laksana seorang dewa, dan disi lain mampu merubah sifat dan adab seseorang menjadi seperti iblis, jika cinta dirasakan secara membabi-buta.”

Jasman manggut-manggut seolah meresapi kalimat dari wanita cantik di hadapannya. Dan seolah-olah ia menghindari pembahasan soal itu, cinta, ia malah bertanya, “Oh ya, tadi Mbak menanyakan apa kepada saya?”

“Tadi Mbak Tanya, apakah Dik Jas masih kuliah?”

“Oh…sudah bebas teori, Mbak, sekarang lagi proses pengajuan judul skripsi."

"Oh ya syukurlah. Semoga kuliah Dik Jas rampung tepat waktu, ya?"

"Amin Allahumma amin. Terima kasih, Mbak, buat doanya."

"Ya sama-sama Dik Jas. Berarti saat ini sudah tidak terlalu sibuk lagi dengan urusan kuliahnya, ya?"

"Ya begitulah, Mbak," jawab Jasman, lalu kembali menenggak minuman kalengnya. "Tapi kalau sudah judul skripsi sudah diasese, ya sibuk mencari bahan dan segala tetek-bengeknya."

"Ya, ya benar," tanggap Widya. "Bagaimana jika dalam waktu senggang ini Dik Jas bekerja dulu pada Mbak? Maaf, maksud Mbak, Mbak sangat membutuhkan laki-laki seperti Dik Jas untuk melindungi Mbak. Hidup Mbak benar-benar seolah tak memiliki kebebasan lagi sebagai manusia...!"

"Maksud Mbak, semacam bodyguard ?"

"Benar, Dik. Please ! Ini bukan penawaran, tapi sebuah permohonan. Mbak sangat berharap sekali Dik Jas! Soal gaji, Dik Jas nggak usah khawatir. Tentu akan setimpal dengan perlindungan yang Dik Jas berikan kepada Mbak."

Seperti tatkala mengantuk disodorkan bantal. Kebetulan juga saat ini dia memang sedang membutuhkan pekerjaan yang bisa memberinya penghasilan, setidaknya selama masa skripsi dan pendadaran besok. Namun bukan berarti ia ingin memanfaatkan sikon. Justru, tanpa diminta pun atau digaji pun, jiwa kependekarannya menuntut hatinya untuk melindungi orang yang lemah dan membutuhkan pertolongan.

Masih segar dalam ingatannya betapa kasarnya perlakuan laki-laki tadi terhadap Mbak Widya. Maka, jika ia menolak dan membiarkan wanita malang itu terus hidup dalam ketakutan, jelas ia merasa sangat berdosa sekali. Jika pun Widya memberinya imbalan materi atas jasanya itu, ia anggap sebagai balas jasa saja. Simbiosis mutualisme, begitulah kira-kira.

"Bagaimana, Dik Jas? Please, Mbak sangat berharap sekali," Widya memohon.

"Tentu saya tak akan menolak, Mbak," sahut Jasman. "Bukankah di kedai sate tadi pun saya sudah siap untuk memberikan perlindungan kepada Mbak?"

Mendengar itu Widya sangat senang sekali. Rona wajahnya langsung berseri-seri. Dia pindah duduk di samping Jasman dan memeluk lengan si pemuda dengan sikap yang sangat gembira. Sekali lagi, Jasman membiarkan saja Mbak Widya bersikap begitu.

"Asal saja saya masih bisa leluasa untuk membereskan segala urusan yang berkenaan dengan kuliah saya ya, Mbak?" pinta Jasman.

"Oh tentu, Dik Jas," setuju Widya. "Dik Jas tak perlu khawatirkan hal itu. Mbak sangat paham kok, karena Mbak juga pernah menjadi mahasiswa."

"Terima kasih, Mbak, kalau begitu." Sesaat Jasman terdiam sebelum bertanya, "Lantas, saya harus mengawal Mbak Widya seperti apa? Di hotel ini? Di rumah Mbak Widya? Atau seperti apa? Maaf, maksud saya, tempat kost saya kan cukup jauh dari sini..."

Widya tersenyum dan menatap wajah pemuda ganteng di sampingnya lalu berkata, "Jika Mbak masih di hotel ini, Dik Jas akan Mbak sewakan kamar buat Dik Jas. Jika Mbak lagi di rumahnya Mbak, Dik Jas tinggal saja di rumah Mbak. Kebetulan rumah Mbak ada paviliunnya, dan Dik Jas bisa menempatinya. Semua keperluan Dik Jas sudah tanggung jawab Mbak. Semuanya!"

Deal! Kesepakatan tak tertulis pun diambil. Sejak saat itu Jasman telah menjadi semacam body guard-nya wanita yang bernama Widya. Jasman lalu disewakan satu kamar di hotel itu, berdekatan dengan kamarnya sang tuannya.

Malamnya, Widya mengajak Jasman untuk jalan-jalan, menikmati suasana malam di Malioboro, yang dilanjutkan dengan memasuki sebuah pusat perbelanjaan di kawasan itu. Widya ingin berbelanja keperluannya, juga keperluan Jasman. Di hotel Jasman telah menyampaikan niatnya kepada Widya untuk memotong pendek rambutnya.

"Karena mungkin memang sudah waktunya saya harus meninggalkan penampilan dengan gaya rambut panjang saya," kata Jasman, ketika Widya menanyakan alasannya keputusannya tersebut.

Di dalam mall itu tersedia kapster salon. Widya berpesan kepada pegawai salon--seorang pria--agar mempermak semua penampilan fisik 'cowok'-nya, mulai dari rambut, wajah, hingga pakaiannya. Kurang lebih satu jam Widya menunggu di ruang tunggu salon. Ia ingin sebuah kejutan.

Dan dia benar-benar mendapatkan sebuah kejutan itu. Saat Jasman muncul dari balik ruangan salon yang dibatasi dengan kain korden, Widya nyaris tak percaya dengan penglihatannya. Dengan penampilan baru, rambut dipotong cepak ala pria-pria dari Asia Timur, dengan mengenakan stelan jas berkancing hingga pangkal leher, Jasman benar-benar telah menjelma sebagai seorang pria yang benar-benar tampan dan berwibawa. Ditambah lagi dengan kacamata hitam yang dikenakannya, menambah kesan maskulinitasnya. Widya benar-benar dibuat takjub, memandang sang pemuda tanpa berucap apa-apa untuk sesaat lamanya.

"Tiba-tiba saya merasa kehilangan sosok diri saya dengan penampilan baru ini," ujar Jasman, setengah bercanda, saat ia berdiri di hadapan Widya.

Widya mencubit pelan tapi gemas lengan Jasman sambil tersenyum sumringah. "Tapi Mbak sangat menyukainya, Dik Jas," ucapnya. "Ketampanan Dik Jas benar-benar keluar full malam ini."

Mendengar pujian itu, spontan Jasman mendongak ke atas, seperti orang yang sedang mencari-cari cecak di plafon mall. Widya dibuat tersenyum melihat perilakunya itu.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel