
Ringkasan
"Mungkin Dik Jas sama sekali tidak percaya jika Mbak katakan, bahwa dalam usia Mbak yang baru menginjak 34 tahun ini Mbak sudah tiga kali membangun mahligai rumah tangga, namun semuanya gagal.” Spontan Jasman menoleh, menatap samping raut wajah Widyanti. Agak kaget juga ia mendengar pengakuan itu. Tapi sesaat kemudian bahwa hak seperti itu bukanlah hal yang mustahil. Ia pun mengambil sebiji kerikil dan melemparkannya ke dalam alir sungai di bawah sana. “Ceritanya bagaimana, Mbak...?” “Pernikahan Mbak yang pertama,” lanjut Widyanti, “adalah sebuah pernikahan tanpa pertimbangan yang matang. Mbak terima lamaran seorang pemuda satu kampung dengan Mbak, karena kami berdua memang sudah pacaran sejak kami sama-sama duduk di bangku SMA. Mbak berharap, perkawinan atas nama cinta akan membawa kebahagiaan. Ternyata Mbak salah dan kalah. Akibat tanpa dukungan ekonomi, rumah tangga kami goncang. Sejak di-PHK, suami Mbak justru sering mabuk-mabukan dan suka jarang pulang ke rumah. Kami bertengkar dan selalu bertengkar, yang ujung-ujungnya dia menyakiti Mbak secara fisik. Akhirnya Mbak terpaksa menggugat cerai dia. Lalu, setahun kemudian, Mbak punya kesempatan untuk kembali membangun rumah tangga. Di pernikahan kedua ini Mbak terapkan pilihan lain. Kali lali ini Mbak menggunakan akal sehat penuh pertimbangan. Namun kehati-hatian saja rupanya tidak cukup. Selalu saja ada hal-hal di luar kemampuan kita yang mempengaruhi dan menggoyahkan bahtera rumah tangga. Mungkin ini yang disebut dengan garis nasib. Benar kata orang-orang bijak, bahwa dalam memilih jodoh itu tak ubahnya sebuah perjudian, sifatnya untung-untungan. Jika kurang syarat dan strategi, maka yang ada adalah kekalahan. Itu pasti. Ternyata suami Mbak yang kedua ini tak jauh beda dengan mental suami Mbak yang pertama. Dia lembek. Tak kuat menahan godaan dan cobaan. Karena kurang bersyukur dengan penghasilannya sebagai seorang buruh pabrik, ia pun mencari tambahan penghasilan di luar. Tapi jalan yang ditempuhnya salah. Ia terlibat dalam jaringan sindikat perdagangan zat-zat terlarang, narkoba. Dia memang menjadi orang kaya mendadak. Namun tiada jawara yang tak kalah. Dia akhirnya ditangkap dan dipenjara. Terpaksa Mbak pun mengambil tindakan yang sama seperti terhadap suatu pertama Mbak, yaitu menggugatnya cerai.” Widyanti menyela kedua matanya yang sudah berkaca-kaca, lalu menlanjutkan ceritanya, “Setelah berstatus janda, Mbak hijrah ke Jakarta dan bekerja di sebuah perusahaan ekspor-impor sebagai staff accounting. Tak lama Mbak ditarik sebagai asisten pribadi sang CEO perusahaan, yaitu Pak Galih Sugondo. Keluarga dia adalah pemegang saham mayoritas di perusahaan tersebut. Rupanya dia jatuh hati kepada Mbak, dan berniat mempersunting Mbak. Saat itu Mbak tau, bahwa dia sudah memiliki dua istri. Pengalaman Mbak telah mengajarkan, bahwa uang dan harta jauh lebih penting dari sekedar cinta. Mbak pun bersedia untuk menjadi istri ketiganya, sekalipun dinikahi di bawah tangan, namun dengan mengajukan dua syarat seperti yang Mbak bilang di atas. Sebab Mbak pikir, apa gunanya kembali berumah tangga jika harus menanggung susah dari segi ekonomi? Dia menyanggupi syarat-syarat yang Mbak ajukan itu. Mbak Tak tahu, apakah ini juga garis nasib dari sebuah perjudian kehidupan? Dalam perjudian kali ini Mbak mendapatkan dua hal sekaligus, yaitu: kemenangan total dan kekalahan total. Ya, Mbak kembali kalah, walau Mbak meraup kemenangan materi yang besar. Tetapi tetap saja, bahwa di antara kemenangan dan kekalahan itu ada hal-hal lain yang diam-diam menggeser keduanya, yaitu perasaan merana, sepi, dan hampa!"
PART 01
Menguak kembali cerita lalu yang pengab
Seperti meludahi perasaan yang jenuh
Feodalisme menyingkirkanku dari tahta cinta
Kemarahan ini tak lagi memikat
Kesadaran harus bangkit
Cerita baru harus kumulai lagi
________
Peristiwa yang menyakitkan hatinya itu tak pernah kuasa dihapus oleh Jasman Fatwadin dalam memorinya. Seminggu yang lalu, di Pantai Parangtritis, Ningrum, gadis yang dipacarinya sejak sama-sama duduk di semester dua, tiba-tiba menyampaikan sebuah pernyataan resmi. Sebuah pernyataan yang benar-benar membuatnya terasa amat menyakitkan dan tak mampu ia tolak.
“Ningrum sedang bercanda, kan...?” Jasman masih berharap, apa yang disampaikan oleh Ningrum barusan hanya sebuah candaan semata, walau ia sangat tahu tak mungkin gadis yang sangat ia cintai itu akan mencandainya dengan candaan yang sama sekali tak berbobot seperti itu.
Ningrum tak langsung menjawab melainkan menggeleng-geleng kecil dan cepat bersama air matanya yang langsung jatuh berhamburan. “Tak mungkin Ning sedang bercanda, Mas...!” ucapnya pelan sembari menyeka kedua matanya dengan ujung hijab yang dikenakannya. “Ning berharap...Mas Jas pun harus kuat, sebab ini semua adalah keputusan yang sangat berat yang harus Ning terima. Ning hanya seorang anak perempuan tunggal Mas, dan tak mungkin mampu menolak kehendak dari romonya Ning.”
“Siapa nama pemuda yang dijodohkan dengan Ning itu? Anak mana dia...?” tanya Jasman tanpa memandang kepada wajah lawan bicaranya. Ada getar cemburu dan geram yang sangat jelas dalam pertanyaan itu.
“Dia putra dari sahabat Romo sendiri, Mas. Ortunya tinggal di Lampung, tapi dia kuliah di Jakarta. Namanya...Hendri Soma...”
Jasman menghela napasnya sepenuh dada sembari menengadahkan wajahnya ke langit sembari memejamkan kedua matanya. Ia merasakan ia tengah mengalami mimpi terburuk dalam hidupnya. “Mas tahu, dia berasal dari keluarga yang berada. Tentu itu yang membuat romomu untuk menjodohkannya denganmu. Yeah, Mas sadar, Mas ini tentu tak akan pernah masuk kriteria romomu dari segi apa pun. Mas hanyalah seorang mahasiswa perantau yang masa depannya sama sekali belum jelas. Dengan dia, tentu masa depan Ning akan terjamin. Seberat apa pun kenyataan ini, Mas harus menerima dengan legowo. Semoga...”
“Selamanya Ning tak akan pernah mencintai dia!” potong Ningrum sembari meraih kedua tangan Jasman dan menggenggamnya erat-erat. “Cinta pertama dan terakhir Ning hanya Mas Jasman. Mungkin dia mampu memiliki ragaku, tapi jiwa dan cinta Ning tak sedikit pun mampu ia raih. Maafkan Ning Mas...!”
Gadis itu langsung memeluk tubuh Jasman, menyembunyikan wajahnya di dada kekar sang cinta dan menumpahkan segenap sesak dalam hatinya.
Jasman membiarkan dadanya untuk dibasahi dengan air mata duka itu. Dengan perasaan sayang yang tak berkurang sedikit pun, ia pun balas memeluk punggung Ningrum dan berusaha menenangkannya.
“Cinta Mas pun tetap hidup bersana tarikan nafasnya Mas. Ning pun adalah cinta pertama dan terakhirnya Mas.”
Ningrum menanggapi kata-kata jasman dengan anggukan sebagai tanda, bahwa ia sangat mempercayai ucapana itu. Karena ia tahu, bahwa perasaan Jasman terhadapnya sama persis dengan perasaannya terhadapnya.
Karena tak ingin makin menyakitkan perasaannya dan juga perasaan laki-laki punjaannya itu, Ningrum melepaskan pelukannya dan berkata, “Baiknya Ning segera pulang, Mas. Tapi Ning minta buat yang terakhir kali, Mas menghadap lurus saja ke hamparan samudra, agar Ning mampu untuk melangkah ke depan.”
Jasman hanya menatap wajah gadis itu sesaat lantas mendongak sembari memejamkan kedua matanya. Sampai jari-jemari lembut sang gadis pujaan itu lepas dari pergelangan tangannya, ia tetap menutup wajahnya, sampai beberapa menit berlalu. Ia merasa, bahwa Ningrum telah jauh, pergi membawa separuh jiwanya, dan meninggalkan separuh jiwanya di ruang hatinya.
Tiba-tiba ia merasakan hidupnya kosong dan hilang warna. Di pantai ini ia dulu mengungkapkan perasaan cintanya kepada Ningrum, dan di pantai ini pula gadis itu meninggalkan dirinya.
Jasman menjatuhkan dirinya di atas hamparan pasir pantai yang empuk, lalu tidur menelentang sembari berteriak sekencang-kencangnya, berharap rasa duka yang menyesaki lorong jiwanya sedikit berkurang.
***
Ring Road Barat, Taman Tirto, Bantul.
Cuaca terik dan kering di bulan Juni. Angin selatan yang cukup kencang membentuk be berapa tornado kecil di sekitar pelataran kampus UMY yang sangat luas.
Jasman berjalan seorang diri dengan langkah pelan sembari membuka tas kuliahnya dan mencari-cari sesuatu.
Seorang teman satu fakultas dengannya yang menyusulnya dengan langkah cepat merangkul pundaknya dari belakang. Ia bernama Fadli, namun akrab dipanggil Fadel.
“Langsung pulang, yuk!”
“Lu udah rampung konsultasi judul skripsi lu?” tanya Jasman menoleh sekilas pada Fadli.
“Alhamdulillah, akhirnya lolos, Bro!” sahut Fadli seraya tersenyum senang.
“Wah, selamat ya, Bro, gue ikut senang?” Jasman menyodorkan tangan kanannya yang langsung disambar dan digenggam dengan kuat oleh pemuda yang dulu sempat terseret dan terombang-ambing oleh Tsunami Aceh itu.
“Terima kasih, Bro!”
“Sama-sama, Bro.”
“Lalu urusan judul skripsi lu sendiri gimana hasilnya?”
“Dosen pembimbing gue ada seminar lagi hari ini. Lusa sore sudah janjian bertemu.”
“Hm. Mudah-mudahan kita bisa wisuda bareng ya, Bro?”
“Aamiin...!”
Mendadak Fadli menahan langkahnya sehingga langkah Jasmanmu tertahan. Tampaknya ia sedang mengingat sesuatu.
“Kenapa...?” tanya Jasman.
"Lu gak ke parkiran dulu?"
"Ooh...!” lenguh Jasman. Dan sambil lanjut melangkah ia berkata, “Motor gue lagi asingkan di pegadaian."
"Kok nasib kita sama, sih? Kapan lu gadainya?”
“Kemarin.”
“Gue dua hari yang lalu.”
Sekilas Fadli menoleh ke wajah Jasman, "Ah, biasalah itu, Bro. Bukan anak kost namanya kalau belum pernah menginjakkan kakinya di kantor pegadaian."
Keduanya pun tertawa kecil. Udara terasa semakin panas dan kering. Sepanas dan sekering isi dompet mereka.
"Gue butuh uang yang cukup buat skripsi, biaya hidup, serta tetek-bengek lainnya. Gue belum bisa menerima kiriman dari kampung setidaknya dalam satu dua bulan di depan. Bokap gue lagi sakit keras dan perlu biaya perawatan yang tentu saja tak sedikit." Jasman sedikit curhat. Ia dan Fadli sudah berteman akrab sejak sama-sama menjadi mahasiswa di kampus ini. Mereka berdua merasa senasib, karena sama-sama sebagai mahasiswa perantau.
"Gak apa-apalah. Semoga skripsi kita cepat beres," Fadli memberi semangat.
"Aamiin. Terus lu gak pulang ke Aceh dulu sebelum pendaftaran?"
"Belum, Bro. Rencana gue sekalian setelah wisuda saja."
Setelah keluar dari gerbang kampus, seharusnya keduanya akan menyeberangi Ring Road. Namun sontak Jasman menghentikan langkahnya sembari mencengkeram pundaknya Fadli. Di seberang sana, di hadapannya, di natara kerumanan pejalan kaki lainnya, ia melihat Ningrum, mantan kekasihnya.
Tapi gadis yang juga kuliah di kampus yang sama dengannya tetapi beda fakultas itu tidak sedang berjalan sendirian. Ia ditemani oleh seorang cowok di sampingnya. Jasman langsung berfirasat, bahwa cowok itu adalah Hendri Soma, tunangannya mantan kekasihnya itu.
Ningrum terlihat masih sangat canggung dengan sikap romantis berusaha diberikan oleh sang tunangannya itu kepadanya. Demikian erat tangan cowok itu menggenggam tangan Ningrum saat berjalan menyebernagi jalan. Dan Ningrum terlihat sekali ketidaknyamanannya dari ekspresi wajahnya.
