Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

PART 02

Kendati saat itu dirinya tak lagi menjadi kekasih gadis cantik yang berdarah ningrat Jogja itu, namun ketika melihat pemandangan seperti itu, tak urung membuat dada Jasman bergemuruh dan rahangnya terasa kencang dan keras, sekeras kepalan tangannya. Geram. Rasa cemburunya sontak membuncah dalam dadanya. Pemuda ganteng pemegang sabuk hitam dari beberapa jenis seni beladiri yang berbeda ini sampai nyaris terpancing emosinya. Ingin rasanya saat itu ia menghajar sang perebut kekasihnya itu hingga mencret di tengah jalan raya.

"Eits, jangan cari perkara!" Fadli mencegat, sembari merangkul tubuh Jasman dan membawanya pergi dari tempat itu, menuju ke arah Utara. “Sabaaar, sabaar, Bro...!”

Rupanya pemuda Aceh itu telah lebih dahulu melihat lalu mewaspadai gelagat dan kondisi tersebut. Ia merasa bersyukur karena Tuhan mengirim dirinya tadi untuk menemani pulang sang sohibnya yang tampan nan perkasa itu. Jika tidak, tentu Jasman bisa saja menghajar calon suami dari mantan kekasihnya itu tanpa ada yang melerainya. Ia tak bisa membayangkan nasib tubuh calonnya Ningrum yang bergaya alay terkena hajaran dan tendangan tangan kekar dan kaki kokoh berbulunya Jasman. Ckckckck.

Sekalipun Jasmna seorang yang sudah berlabel pendekar dari beberapa aliran beladiri yang pernah digelutinya, namun ia terkadang masih suka memperlihatkan emosi darah mudanya, seperti yang ditampakkannya barusan. Ya, mungkin sikap yang wajar saja. Laki-laki mana pun akan merasakan sangat sakit jika kekasih yang sudah lama dipacarinya tiba-tiba harus dipaksa pindah ke lain hati...Ah, bukan, maksudnya, pindah ke cintanya laki-laki lain.

Untuk menenangkan emosi sahabatnya itu, Fadli mengajaknya untuk mampir ke sebuah restoran sate kambing. Restoran yang berada tak jauh dari kampus mereka itu tidaklah luas selayaknya sebuah restoran. Bentuk restoran itu memanjang tetapi ruangannya cukup bersih dan tertata dengan apik. Malah mirip sebuah kafetaria. Ia dan Jasman mengambil meja di bagian pojok barat belakang, berdekatan langsung dengan hamparan persawahan yang saat itu padinya tengah menguning.

"Sudahlah, Bro, gak usah dipikirkan lagi. Lu kudu segera move on," nasihat Fadli seraya menepuk punggung Jasman, ketika dilihatnya temannya itu mendadak menjadi pendiam. "Lagi pula lu gak punya alasan untuk memberi pelajaran terhadap cowok barunya Ningrum itu. Dia gak tahu apa-apa. Lagi pula kalian kan sudah resmi putus. Yeah, kecewa dan cemburu itu pasti masih ada, tapi apa gunanya menyiksa perasaan terhadap orang yang tengah mencintai orang lain?!"

Jasman memandangi wajahnya Fadli. Sebiji jerawat di ujung hidungnya tampak sudah matang. "Sepertinya kalimat lu yang terakhir pernah gue baca di status Facebook-nya seseorang. Kalau gak salah...di status FB-nya Bang Emde Mallaow...?"

"Iya memang!"

Tawa keduanya pun langsung pecah. Semua pelanggan yang tengah menikmati makan siang mereka langsung menoleh ke arah mereka, karena kaget.

Dua porsi sate kambing berikut nasi dan dua gelas es jeruk terhidangkan di meja di hadapan mereka.

"Gue tidak sedang memikirkan dia atau kejadian tadi," ucap Jasman sembari mengaduk es jeruknya.

"Lantas?" tanya Fadli, seolah kepada tumpukan sate di hadapannya.

"Jasman memasukkan sesendok nasi ke dalam mulutnya, lalu satu tusukan sate. "Lu punya kenalan yang bisa dimintai kerjaan gak?"

Fadli mengunyah, lalu berkata, "Kalau di Jogja gak ada, Bro. Kalau di Banda Aceh ya banyak. Memangnya lu mau kerja apaan?"

"Ya kerja apa saja, asal halal dan bisa untuk mencukupi kebutuhan gue selama tak dapat kiriman dari kampung. Kebetulan juga gue sudah bebas teori, jadi daripada gak ada kesibukan ya bisa diisi dengan bekerjalah."

Fadli manggut-manggut. "Ya coba ntar gue cari info ke teman-teman gue, Bro, siapa tau ada."

"Ok, thank’s sebelumnya, Bro."

Ponsel Fadli berbunyi. Panggilan telepon. "Ya, halo...? Hm, ok gue balik sekarang kalau begitu. Lu tunggu dulu di situ, ya?"

"Ada teman, sudah ada di kost." Fadli memberitahukan pada Jasman, lalu merampungkan makanannya.

"Ya lu balik aja dulu, gi."

"Terus lu?"

"Gue di sini aja dulu bentar, ingin santuy-santuy dulu," sahut Jasman. Disedotnya es jeruknya dengan pipet.

"Well, kalau gitu. Gue tinggal, ya? oh ya, biar gue traktir."

Jasman memperlihatkan jempolnya, “Thank’s, Bro.”

“Ok, Bro, santuy aja.”

Sepeninggal Fadli, dan setelah menyelesaikan makanannya, Jasman pun berkonsentrasi pada layar hapenya, berselancar di dunia Maya. Karena dia masih belum mood untuk memosting status FB-nya, maka dia hanya menelusuri status teman-temannya saja. Sekalipun tak sempat untuk memberikan komentar, setidaknya ia selalu berusaha untuk menitipkan jempol pada status-status yang ia jelajahi. Sementara kedai sate semakin ramai oleh pelanggan. Ini memang waktunya orang-orang untuk istirahat dan makan siang.

Jasman tidak begitu memperhatikan para pelanggan kedai yang masuk, karena ia masih asyik masyuk berinteraksi dengan teman-teman dumay-nya, serta membalas beberapa pesan di messenger-nya. Mulutnya komat-kamit, terkadang tersenyum, atau tertawa kecil.

Pada saat ia kembali menyedot pipet es jeruknya dan memandang ke arah depan, sekilas ia melihat seorang wanita yang masih relatif muda—mungkin usianya sekitar 35 tahun--yang duduk berlawanan arah dengannya di depan sana. Entah sejak kapan wanita yang berpenampilan ala kalangan sosialita itu masuk ke situ, ia tak tahu.

Ketika pandangan mereka bentrok satu sama lain, dengan cepat Jasman dan wanita itu sama-sama membuang pandangan mereka ke arah lain.

Jasman agak merasa rikuh juga. Ia pun menggeleng-geleng pelan sembari mengembalikan pandangannya pada layar gawainya.

Dan hal yang sama pun kelihatannya dialami juga oleh si wanita cantik. Sesungging senyumnya terlukis di bibirnya indahnya bak sepasang permata rubi, merah merekah. Sembari ia menempelkan tisunya pada beberapa bagian wajah cantiknya ia kembali mencuri-curi lirik kepada si pemuda, Jasman.

“Ibu mau makan?” pertanyaan sang pelayan restoran membuyarkan semua yang ada dalam pikirannya.

“Oh, iya. Satenya jangan terlalu matang ya, Mas?” jawab wanita itu dengan suaranya pelan tapi terdengar jelas.

“Oh baik, Nyonya. Lalu minumnya...?”

“Fruit juice saja mungkin, ya? Ya, itu saja.”

“Baik, Nyonya.”

Sembari menunggu pesanan, wanita cantik itu mengambil gawai dalam tasnya, lalu membuka layarnya. Namun seolah-olah ada sesuatu kekuatan yang membuatnya lagi-lagi mengarahkan pandangannya ke arah si pemuda ganteng berambut panjang yang diikat ke belakang itu. Benaknya sedang menaksir usia si pemuda. Yang jelas masih jauh di bawahnya. “Mungkin dia mahasiswa kampus di sekitar sini,” batinnya.

Karena si pemuda terlihat sedang asyik dengan layar gawainya, si wanita pun tak segan-segan untuk memandangnya lekat-lekat.

Akan tetapi, di luar dugaan, pemuda yang tengah ia perhatikan, tiba-tiba mengangkat wajahnya dan otomatis melihat ke arahnya.

Si wanita cantik tak mampu menyembunyikan salah tingkahnya, dan kulit wajahnya yang putih halus langsung bersemu merah. Tepi untungnya si pemuda, Jasman, mengangguk pelan ke arahnya dengan sikap hormat sembari tersenyum.

Jasman hendak mengembalikan perhatiannya pada layar gawainya, tetapi arah pandangan Jasman tertahan oleh kehadiran tiga orang laki-laki ke dalam kedai. Satu orang bertubuh agak gemuk yang dibalut oleh jas tuxedo. Topi fedora berwarna abu terang yang dilingkari dengan pita lebar berwarna hitam yang dikenakannya membuat wajahnya yang sebenarnya cukup tampan itu jadi terlihat arogan sekaligus berwibawa. Tampang dan penampilan golongan jetset.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel