PART 05
Itu sebuah permohonan yang tulus dari seorang yang benar-benar sedang membutuhkan pertolongan. Jasman pun tersenyum santun yang disertai anggukan. " Baiklah, Mbak, saya akan menemani Mbak pulang."
Keduanya pun dari kedai sate, lalu melangkah menuju areal parkir, di mana mobil Baleno merah si wanita diparkir.
"Maaf ya Mas karena saya sudah merepotkan Mas," ucap si wanita sambil menoleh kepada Jasman. Saat itu ia sedang menyetir. Lampu hijau berganti merah.
"Iya Mbak, santai aja. Saya senang bisa membantu Mbak."
"Oh ya, maaf, kita belum kenalan," si wanita mengulurkan tangannya ke samping, "Nama saya Widyanti. Biasa dipanggil Widya atau Mbak Widya. Eng..."
"Saya Jasman," potong Jasman sembari sedikit menyentuhkan sedikit ujung jemari tangan kanannya dengan ujung jemari tangan kanannya Widya.
"Jas-man. Nama yang terdengar unik," ucap Widya. "Mas... saya harus manggil apa, ya? Mas Jasman atau Mas Jas, nih?"
"Teman-teman kampus suka memanggil saya dengan Jas atau Jasman, sama saja," jawab Jasman sambil tersenyum.
Lampu merah beralih ke hijau. Widya kembali menjalankan kendaraannya. "Saya panggil dengan Dik Jas saja, ya?"
"Iya Mbak, monggo. Usia saya memang lebih muda dari Mbak Widya, hehehe..."
Wanita cantik yang bernama Widya itu pun ikut tersenyum, "Benar, Dik. Baiklah...Mas, eh...Dik Jas. Maaf, kayaknya, Dik Jas bukan orang Jawa, ya? Dari segi nama dan logatnya Dik Jas terdengar beda."
"Benar, Mbak, saya orang dari wilayah timur.”
“Di mana? Makassar? Ambon...? Atau dari Lombok?”
"Sebelah timurnya Lombok,”ucap Jasman.
"Oh, Sumbawa, ya?”
“Iya, Mbak, tepatnya sekali.”
"Oh...sebuah pulau yang indah dengan menyimpan banyak keuninkan,” puji Widyanti.
"Mbak Widya pernah ke Sumbawa?" tanya Jasman. Sesaat ia melihat samping wajah wanita di sampingnya. Dalam keadaan normal ternyata Mbak Widya memiliki wajah yang benar-benar cantik.
"Oh belum pernah, tapi nama daerahnya Dik Jas sudah akrab di telinga saya. Dulu waktu kerja di Jakarta Mbak punya beberapa teman dari sana juga. Kalau di pulkam, dia suka bawakan saya oleh-oleh Madu dan asam yang diasinkan itu. Madu dan asam dari Sumbawa sangat awet jika disimpan. Bisa bertahun-tahun."
“Benar, Mbak, karena biji asamnya dibuang baru dipak.”
“Hm, iya benar! Lantas Dik Jas tepatnya di daerah mana? Kota Sumbawa, Dompu, atau Bima...?”
“Saya di Bimanya, Mbak.”
“Hm, Bima sudah akrab di telinga saya. Teman-teman saya di Jakarta dulu banyak yang dari sana juga. Ohya, apalagi yang terkenal dari Bima? Susu kuda liar itu ya?”
“Oh iya benar, Mbak Widya, susu kudanya.”
“Lalu apa lagi...?”
“Ya...tentu kudanya.”
Jawaban Jasman yang spontan itu membuat Widyanti menutup mulutnya menahan tawa. Sesaat ia melupakan kepahitan hidup yang dialaminya, terutama ketakutan dari rongrongan pria yang kemungkinan adalah mantan suaminya tadi.
“Benar gak sih ada kuda liar?” tanya Widya lagi, kemudian.
“Gak ada, Mbak, Cuma istilah saja.” Maksudnya, cara ternaknya dilepas liar gitu aja, diumbar, ” sahut Jasman.
“Kok disebut liar gimana ceritanya?”
“Ceritanya, karena cara pelihara kudanya dilepas liar begitu saja di sabana,diumbar, gitu, Mbak. Gak dikandangkan.”
“Ooh begitu? Memangnya pemilik kuda nggak takut kudanya dicuri orang?”
“Gak-lah, Mbak. Buat apa juga dicuri. Nyatanya sejak zaman dahulu kudanya aman-aman saja dipelihara umbar seperti itu. Dagingnya juga jarang dimakan orang. Mungkin karena faktor kasihan.”
“Ooh seperti itu...?”
“Jalan-jalanlah sekali-kali ke daerah timur Mbak Widya,” ucap Jasman, “Di sana banyak destinasi wisata yang indah-indah.”
"Iya saya dengar dan lihat juga di YouTube, tempatnya indah-indah,” Widya menghentikan laju kendaraannya di depan traffic light. "Dulu saya pernah juga berkunjung ke NTB, tapi hanya sampai di Pulau Lombok dan Pulau Moyo. Wuih, Pulau Moyo itu benar-benar indah, romantis, dan berkesan tempatnya.”
"Benar sekali, Mbak. Almarhumah Putri Diana juga pernah berkunjung ke sana," ucap Jasman tanpa bermaksud mempromosikan salah satu destinasi wisata kebanggaan daerahnya itu.
"Benar sekali, Dik Jas...," Widya kembali menjalankan kendaraannya, diarahluruskan ke Jl. KHA Dahlan, "Tapi maaf, Dik Jas. Dik Jas ini asli orang NTB atau campuran? Mbak lihat..."
"Oh, bukan, Mbak," potong Jasman. "Saya campuran Arab dan Bima, Mbak. Hehehe."
"Oh pantes. Mbak juga feeling-nya begitu." Mereka melewati Jl. Senopati, Benteng Vredeburg, lalu kemudian membelokkan arah kendaraannya ke kiri, ke Jl. Gajah Mada. Ada banyak hal dan cerita ringan yang mereka bahas di sepanjang jalan itu.
Sesampainya di sekitar wilayah Bausasran, Widya mengarahkan mobilnya ke sebuah hotel yang cukup mewah dan berbintang. Saat turun dari mobil, Widya tanpa ragu menggandeng tangan Jasman.
Jasman agak kaget juga diperlakukan seperti itu. Namun ia merasa tak sampai hati untuk menarik tangannya dari lingkaran tangan halus wanita di sampingnya, dan membiarkan wanita itu nyaman di sampingnya.
Rupanya wanita cantik yang memiliki wajah mirip artis Wulan Guritno itu menyewa salah satu kamar di hotel itu secara khusus. "Ini semacam tempat persembunyiannya Mbak, Dik Jas," ucap Widya, tanpa bermaksud berkelakar, setelah mempersilakan Jasman untuk masuk ke dalam kamar hotelnya.
Jasman manggut-manggut. Namun dalam hatinya merasa kasihan dan prihatin atas nasib wanita yang bersamanya itu, kendati dia belum tahu persis kondisi kehidupan seperti apa yang tengah dialami oleh sang wanita tersebut sebenarnya. "Mengapa Mbak Widya harus bersembunyi? Kenapa Mbak tidak tinggal bersama orang tua atau keluarga Mbak saja, misalnya? Kan keamanan Mbak bisa terjamin," tanya Jasman.
Widya masuk ke dalam kamar mandi, bersih-bersih, lalu keluar. "Mbak berasal dari Ungaran," ucapnya sembari melap wajah dan tangannya dengan handuk kecil. "Oh ya, Dik Jas mau minum apa?”
“Apa saja, Mbak, yang penting tak beralkohol."
Widya mengambil beberapa minuman ringan kaleng di kulkas, lalu meletakkannya di meja kecil di hadapan Jasman. Kemudian dia duduk bersandar di tempat tidurnya sambil berselonjor kaki.
"Orang tua atau keluarga Mbak hanya tau kalau saat ini Mbak masih bekerja di Jakarta," Widya lanjut bercerita. "Yeah, memang tiga tahun yang lalu Mbak masih bekerja di sebuah perusahaan trading multinasional. Lalu dua tahun yang lalu Mbak pindah ke sini dengan laki-laki... yang di restoran sate tadi itu. Dia putra seorang pengusaha sukses di Jakarta, tapi juga memiliki beberapa anak perusahaan di Jateng, dan dia menjadi CEO di perusahaan keluarganya itu. Ah, ceritanya panjang Dik Jas. Lambat laun Mbak akan ceritakan semuanya kepada Dik Jas."
Jasman menatap wajah Widya dan mengangguk-angguk pelan. "Iya Mbak. Yang penting Mbak Widya merasa nyaman dulu akibat kejadian tadi itu."
“Sebenarnya itu bukan kejadian yang pertama, Dik Jas. Sebelum Mbak memutuskan keluar dari kehidupannya, pun ia sudah sering melakukan penzoliman kepada Mbak dalam bentuk verbal. Dan yang tadi mungkin pertama kali ia melakukan kekerasan secara fisik.”
“Mudah-mudahan hal seperti tadi tidak diulangi lagi oleh mereka tadi, Mbak,”ujar Jasman, tanpa berkeinginan untuk memasuki lebih jauh ke urusan pribadi Widya. Cukup sebagai pendengar yang baik saja dulu.
"Mudah-mudahan,”sahut Widya sembari membuka minumang kalengnya, dan meneguknya. “Sebenarnya,”lanjutnya lagi, “ Mbak punya dua rumah di Jogja ini, Dik Jas. Namun jika Mbak merasakan hidup yang kurang nyaman seperti saat ini, Mbak biasanya lebih memilih kamar hotel seperti ini untuk bersembunyi."
