Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 6

"Selamat pagi, Tuan," sapa B di depan pintu. Sudah sejak yang lalu dia menunggu Tuannya.

"Pagi."

B mengerutkan keningnya. Apa ada sesuatu yang terjadi. Tidak biasanya Farrel bersikap seperti itu di pagi hari.

B bergegas mengejar Farrel menuju ke parkiran sebelum mendapat amukan. Saat ini, mereka sedang dalam perjalanan menuju ke perusahaan. Hari libur di Rumah Sakit selalu Farrel isi dengan mengurus perusahaannya. Lelaki itu bisa sampai tengah malam bekerja jika tidak sedang bertugas. Tapi terkadang, pekerjaannya di perusahaan terganggu jika ada operasi dadakan.

B terus memperhatikan Farrel dari spion tengah. "Sepertinya suasana hatinya sedang buruk," cicitnya.

"Perempuan itu lagi-lagi merusak moodku," tutur pelan Farrel menepuk jok mobil cukup keras lalu membuang muka ke jalanan. Kejadian semalam terngiang di kepalanya.

"Apa segitu buruknya aku di matamu?"

Farrel tersentak saat mendengar suara tersebut. Dia memutar bola matanya malas lalu berbalik ke belakang di mana Febby sudah menatapnya dengan mata yang sembab.

"Lebih dari itu," balas Farrel kemudian menatap dingin ke Febby.

Febby melangkah mendekat ke Farrel. "Semua orang pernah berbuat salah Farrel. Aku akui, aku salah. Tidak bisakah kau memaafkanku dan melupakan hal itu?"

Farrel terdiam, tak menjawab pertanyaan Febby. Dia hanya menatap Febby tanpa ekspresi.

"Harus berapa kali lagi aku meminta maaf padamu." Febby sekuat tenaga menahan air matanya agar tidak jatuh.

Begitu sulitkah Farrel memaafkannya?

"Atau kamu mau aku sujud di kaki Al dan Aurora. Kalau begitu biarkan aku melakukannya."

"Jangan pernah berani untuk bertemu mereka. Kalau tidak---"

"Kalau tidak apa?" potong Febby.

"Jangan bermain-main denganku Febby," sentak Farrel. Nada Farrel memanggil namanya cukup membuat Febby merinding.

"Jika maaf Aurora dan Al adalah satu-satunya cara agar kau bisa memaafkanku dan menerimaku. Maka bagaimanapun caranya, aku akan melakukannya." Febby melangkah dan melewati Farrel. Tapi tiba-tiba Farrel menahan lengannya.

"Apa segitu cintanya kau kepada Al?" ucap geram Farrel. "Meminta maaf hanyalah alasanmu saja Febby," sambungnya kemudian mencengkram erat lengan Febby membuat wanita itu sedikit meringis.

Febby mengerutkan keningnya. Sepertinya Farrel salah paham lagi dengannya.

"Kau salah paham, Rel." Tidak ada lagi panggilan Tuan yang tersematkan seperti biasanya.

Farrel menghempaskan tangan Febby lalu mencengkram dagu Febby hingga istrinya tersebut sedikit meringis. "Aku tidak percaya padamu. Kau adalah wanita yang licik Febby." Farrel melepaskan tangannya kasar hingga Febby sempoyongan. Menatap Febby penuh amarah sebelum berlalu meninggalkan Febby.

Farrel berpikir meminta maaf hanya alasan saja agar Febby bisa bertemu dengan Al. Hingga dia punya waktu untuk kembali menggoda Kakaknya tersebut. Bagaimana pun, mereka tidak boleh bertemu.

"Aku hanya ingin mendapatkan maaf dari mereka dan darimu, Farrel. Aku hanya ingin mengabdi padamu sebagai seorang istri yang sebenarnya. Itupun jika diberikan kesempatan."

Kembali ke Farrel

"B, apa Febby sering minta izin keluar rumah?" tanya Farrel tiba-tiba membuat B sedikit memperbaiki posisi duduknya di belakang kemudi.

Ya, selama ini jika Febby ingin melakukan sesuatu di luar sana, Febby meminta izin kepada B bukan kepada Farrel, sebab hingga saat ini Febby tidak memiliki nomor hp Farrel.

B awalnya selalu melaporkan kepada Farrel, tapi setelah Farrel menegurnya untuk tidak melaporkan kepadanya lagi, B pun tidak lagi melakukannya. Hingga kemana perginya istri Tuannya hanya dia yang tahu.

"Tidak, Tuan. Nyonya Febby hanya keluar jika ingin ke supermarket membeli sesuatu untuk keperluannya," balas B sesekali melirik Farrel di spion tengah. "Maaf, Tuan," sambungnya kemudian.

"Oh." Farrel hanya menjawab singkat dan kembali duduk bersandar di jok mobil. Siku ibu jarinya dia simpan di dagu lalu menatap ke jalanan dengan ekspresi yang dingin.

"Apa terjadi sesuatu dengan mereka?"

****

Febby menatap pantulan dirinya di cermin. Dia lantas tersenyum lalu mengatakan. "Aku percaya padamu. Kau pasti bisa menjadi lebih baik dan lebih bermanfaat untuk orang lain."

Febby lalu mengambil lipstiknya untuk mempoles sedikit bibirnya yang tampak pucat. Sejenak menolehkan wajahnya ke arah gantungan kayu di samping kasurnya, menatap set gamis lengkap dengan kerudung yang di hadiahkan Bi Narti padanya beberapa hari yang lalu.

Ya, sudah dua kali Febby mulai ikut Bi Narti ke acara pengajian yang dilakukan setiap bulan di mesjid terdekat. Bi Narti berinisiatif membelikan satu set gamis cantik untuk Febby, karena selama ini Febby hanya menggunakan mukena.

Febby sempat menolak dan berjanji akan membeli sendiri tapi Bi Narti kekeh memberikannya. Bukan hanya itu wanita paruh baya tersebut memberikan Febby Al-Quran set dengan tasbih digital, berharap Febby selalu berdzikir di setiap waktu, meski hingga detik ini Febby belum menyentuhnya.

"Selama ini aku ke mana saja. Bahkan shalat pun aku baru mengerjakan di usiaku yang sudah kepala tiga." Febby tertunduk sedih. Namun sedetik kemudian, dia kembali mengangkat wajahnya.

"Aku tidak boleh terus menyesali keadaanku. Aku harus berubah. Aku pasti bisa." Febby kembali tersenyum mengangkat kedua tangannya lalu mengepalkan, memberikan semangat kepada dirinya sendiri. Febby lantas mengambil tasbih yang diberikan Bi Narti.

Sebelum bekerja dia ingin bertanya kepada Bi Narti apa yang harus dia lakukan dengan tasbih tersebut.

Febby menuju ke dapur karena biasanya Bi Narti ada di sana membuat sarapan. Namun tiba di sana bukannya Bi Narti yang dia dapat tapi suaminya. Ya, Farrel masih lengkap dengan jas kerjanya.

"Farrel, apa yang ---"

"Ingat statusmu!" potong Farrel melirik sinis kepada Febby lalu duduk di meja makan.

"Maaf, Tuan." Febby menunduk menghindari tatapan Farrel.

"Buatkan aku roti sekarang," perintah Farrel lalu memainkan ponselnya.

Febby hanya menyanggupi dan langsung melakukan tugasnya. Sedangkan Farrel sedang terlihat memainkan ponselnya. Sesekali pria itu melirik Febby lalu menguap dan menggelengkan kepalanya guna mengusir rasa kantuknya.

Farrel sama sekali belum merebahkan tubuhnya. Pasalnya semalam dia dan B berkunjung ke klub Gafiz untuk mengumpulkan informasi. Masih tentang pembalasan dendamnya kepada sang paman. Meski Ricolas telah memberikan nasihat, namun Farrel tetap akan membalaskan rasa sakit hatinya, meski tidak harus melenyapkan keluarga itu. Membuat keluarga mereka hancur dan berantakan, Farrel sudah merasa cukup akan hal tersebut.

Sekali lagi Farrel melirik Febby namun siapa sangka ternyata sedari tadi Febby juga sedang menatap Farrel. Aksi saling menatap itu terjadi hingga beberapa detik.

"Awas jatuh cinta."

"Emang sudah ... B awas kau!"

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel