Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 5

Bunyi tempat tidur terdengar. Selimut berceceran di bawah ranjang begitu juga dengan bantal.

"Ya Allah, kenapa tiba-tiba nggak bisa tidur." Febby bangun dari tidurnya, duduk bersilah seraya mengacak-acak rambutnya frustasi.

Sudah satu jam dia mencoba untuk memejamkan mata namun nyatanya tidak berhasil juga. Kegelisahan melandanya, kepalanya terlalu berisik hingga matanya enggan terpejam.

"Ini semua gara-gara Farrel nih," tuduhnya mulai beranjak. Namun sedetik kemudian dia memukul kepalanya sendiri.

"Aduh Febby, kenapa juga nyalain orang. Ini salahmu, kan kamu yang mau memulai dengannya, bukan dia. Mana tanpa persetujuannya lagi. Mau berterus terang juga gengsi dan ... takut."

Ya, Febby sangat takut tidak diberikan kesempatan. Dia tahu Farrel sangat membencinya, bukan tidak mungkin ketika Febby meminta Farrel bisa saja murka dan berakhir menceraikannya sebab terlalu lancang.

Bukan hanya itu, suaminya adalah pemain wanita. Mungkin saja Farrel mempunyai seseorang yang dia cintai dan mereka selalu bersama diluar sana tanpa dia ketahui. Bahkan mungkin bisa saja mereka sudah punya anak.

"Apa aku tidak punya kesempatan ya?"

Febby menghela nafas panjang. "Satu kesalahan membuatku menderita sepanjang hidup."

****

"Akh sial!" Farrel melempar bantal ke sembarang arah.

Sejak pembicaraannya tadi dengan B dia selalu merasa kesal. Entah apa yang membuatnya kesal hingga sekarang berakhir insomnia.

"Nona Febby cantik, bulu matanya lentik, bibirnya---" Farrel kembali mengingat ucapan B tadi.

"Akh, kenapa juga aku membayangkannya," cicit geram Farrel. Giginya saling membentur di dalam sana.

Farrel bahkan mengingat bagaimana wajah Febby saat mereka menikah. Bagaimana senyuman Febby di foto yang di kirim B padanya.

"Sial!" Secepat kilat Farrel menggelengkan kepalanya.

"Ini semua gara-gara B. Awas saja tuh asisten aku potong gajinya," tuturnya kesalnya.

"Masih banyak wanita cantik di luar sana. Dia ... nggak cantik!"

Rasa kesalnya semakin bertambah tatkala dia merasa haus namun teko yang selalu berada di atas nakasnya kini telah kosong. "Ini lagi!"

Farrel bergegas mengikat kimononya dan meninggalkan kamarnya, turun ke lantai bawah menuju ke dapur, seperti biasa tidak ekspresi di wajahnya. Dia segera membuka lemari pendingin mengambil air putih. Dalam hitungan detik sebotol air mineral telah membasahi tenggorokannya.

Duduk sejenak di meja makan masih dengan wajahnya tanpa ekspresi. Sehingga tidak ada yang tahu bagaimana sebenarnya suasana hati lelaki itu.

Botol air ditangan Farrel sudah tak terbentuk karena kekuatan tangannya. Hingga akhirnya botol tersebut berakhir di tempat sampah.

Baru saja Farrel mau melangkah kembali ke kamar samar-samar terdengar suara seseorang bersenandung. "Siapa berkeliaran tengah malam begini?"

Farrel beranjak dan mengikuti sumber suara yang ternyata berada di samping rumah, tepatnya di lokasi beberapa kolam ikan.

Rumah mewah tersebut tidak memiliki taman. Halaman samping rumah hanya memiliki beberapa kolam ikan yang aestetik, merupakan hasil dari desain arsitek ternama di kota tersebut.

Suara gemercik air selalu terdengar dari kolam, khas suara alam. Di sekitar sana terdapat satu pohon besar yang di bawahnya terdapat kursi panjang tempat untuk bersantai.

"Febby! Kenapa dia berkeliaran malam-malam begini?" tutur Farrel di balik tembok.

*******

"Hei ikan-ikan, kalian ngapain masih pada berenang. Ini sudah malam, waktunya tidur," tutur Febby setengah sewot.

"Kok aku jadi sewot ya," tuturnya sendiri menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Febby kembali mengelilingi kolam ikan.

Febby tersenyum. "Kalian enak ya, hidupnya rukun, bebas berenang ke sana kemari. Kalian pasti bahagia," ucapnya menatap ikan yang beragam warna. "Tidak seperti aku," sambungnya seraya menghela napas.

Febby merapatkan cardigan rajut yang dipakainya saat angin bertiup. Membiarkan rambutnya yang tergerai tertiup angin. Dia kemudian melangkah ke kursi yang tersedia. Duduk bersandar lalu menatap ke langit.

Sejak menyelesaikan studinya di London hidup Febby jadi berubah. Tak ada teman apalagi sahabat. Hidupnya seketika kesepian sejak dia sudah tidak bisa bertemu lagi dengan Al dan Jason.

Febby akui, dia terharu sebab tidak pernah ada yang memanjakan dirinya seperti cara Al dan Jason memanjakannya. Apapun yang dia inginkan selagi itu baik, kedua temannya itu tidak pernah menolak. Mungkin itulah sebabnya, dia mengsalah artikan perasaannya kepada Al.

"Seandainya saja aku tidak melakukan kesalahan. Mungkin sekarang kami masih bisa berteman," cicit Febby menahan cairan yang sudah menumpuk di pelupuk matanya.

"Bagaimana caranya aku memperbaiki semuanya, agar kami bisa berteman. Jujur saja, aku merindukan mereka yang selalu menganggap ku sebagai adik. Tidak ada yang menyayangiku kecuali mereka. Tapi sekarang---" Febby tidak melanjutkan ucapannya. Dia memejamkan mata kuat seraya menunduk.

Sejak kecil dia tidak pernah mendapatkan perhatian dari kedua orang tuanya. Mereka hanya sibuk dengan pekerjaannya. Bahkan detik ini, setelah enam bulan mereka hanya sekali menelpon Febby itu pun perkara apartemen Febby yang telah mereka jual untuk kepentingan mereka.

Saat Febby menelpon, kedua orang tuanya seakan tidak peduli. Hanya selalu mengatakan, sibuk, sibuk dan sibuk.

Febby selalu merasa kesepian di tengah keramaian. "Aku selalu saja sendiri."

****

"Dia ngomong apa sih?" Farrel mencoba lebih mendekat. Dari tadi, dia terus berada di belakang tembok memperhatikan Febby. Jangan sampai wanita itu berulah lagi dan membuat ikan-ikannya hilang bahkan mati.

Bisa saja kan, Febby mengambil ikannya terus menjualnya. Bisa saja kan karena marah Febby membunuh ikan-ikan yang harganya cukup fantastic. Seperti itulah pemikiran Farrel.

Farrel adalah pencinta binatang, terutama ikan dan hewan yang hidup di air lainnya. Bahkan pernah dia ingin memelihara buaya, namun B tidak menjalankan perintahnya, sebab B takut Farrel berbuat yang di luar nalar manusia. Bisa saja kan Farrel melempar pengawal yang berbuat kesalahan karena emosi. Farrel tertawa lebar saat mendengar alasan B dulu.

"Perempuan sepertinya bisa sedih juga!" tuturnya kemudian saat melihat Febby menyeka air matanya. Farrel berdiri berkacak pinggang, berekspresi datar.

"Apa karena aku?" cicitnya. "Ya, siapa lagi," jawabnya kemudian.

"Apa caraku keterlaluan ya?"

"Tidak. Dia memang pantas diperlakukan seperti itu. Perempuan yang tidak memiliki hati sepertinya pantas mendapatkan itu," sambungnya kemudian.

"Apa segitu buruknya aku di matamu?"

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel