Bab 4
"Huft ... Sabar Febby, sabar. Orang sabar di sayang Allah." Febby terus bergumam untuk membuat dirinya tenang.
Entah sudah beberapa kali putaran dia mengelilingi kamarnya yang cukup sempit. Kejadian tadi membuat darahnya berdesir hingga ke ubun-ubun. Hampir saja Febby mempermalukan dirinya dengan menyeret wanita itu. Untung Bi Narti cepat datang dan memanggilnya.
"Dasar suami bi--- ... akh... Nggak boleh ngomong kasar Febby, nggak boleh."
"Astaghfirullah, astaghfirullah." Febby menepuk-nepuk dadanya agar dia merasa lebih tenang
Kejadian tadi
Setelah Farrel tak bereaksi dengan kecupan Geisha, wanita itu kembali mengecup kedua pipi Farrel membuat Febby sempat membulatkan mata.
"Geisha, stop!" tutur Farrel melepaskan kedua tangan Geisha yang merangkul lehernya. Farrel dengan wajah datarnya menatap ke Febby hingga mata mereka saling bertubrukan. Tapi Febby lebih dulu melepaskan tatapannya.
"Kenapa kau tidak pernah lagi mengunjungiku? Aku kan kangen." Suara Geisha terdengar mendayu-dayu membuat Febby meringis.
Huek, jijay. Febby menggerutu di dalam hati.
Kira-kira kalau aku seret wanita ini, Farrel marah nggak ya? Febby lagi-lagi bergumam. Matanya sesekali melirik Geisha yang masih saja berusaha agar terus memeluk Farrel.
Baru saja Febby ingin bersuara. "Nona Febby, temani Bibi buat camilan." Buru-buru Bi Narti datang dan menarik tangan Febby sebelum wanita itu berulah.
Febby dengan berat hati berjalan pelan mengikuti Bi Narti agar dia masih bisa mendengar interaksi Farrel dengan Geisha.
"Apa yang kau lakukan disini, Geisha?" tanya Farrel dingin.
Geisha kegirangan, sebab inilah yang di sukai Geisha kepada Farrel. Wajah yang dingin, suara yang serak dan gaya kedua tangannya sering masuk ke saku celana. Oh my! Geisha bisa gila karena Farrel.
"Aku merindukanmu Farrel, sayang. Sini peluk." Geisha sudah merentangkan kedua tangannya ingin memeluk Farrel tapi lelaki itu sudah melangkah.
"Ikut denganku!" ucap Farrel melangkah menuju ke lantai atas. Tepatnya ke ruangan kerja miliknya yang berseblahan dengan kamarnya.
"Akh, di depan kami saja wanita itu bebas mencium pipinya. Lantas, apa yang mereka lakukan di ruangan kerja. Apa mungkin---"
"Akh, tidak-tidak. Otakku kok jadi ngeres begini yah," gerutu Febby mengetuk kepalanya pelan, kemudian duduk di pinggir ranjang.
"Lebih baik aku shalat Magrib dulu."
*******
"Sebarkan foto-foto ini." Farrel melemparkan ponselnya dan jatuh tepat di atas paha B yang sedang duduk di sofa.
Tanpa berkata apa-apa, B melihat foto yang di maksud Tuannya. "Anda selalu beruntung Tuan kalau soal menguntit," puji B puas dengan apa yang didapatkan tuannya.
"Keberuntungan sedang berpihak kepadaku. Aku tidak perlu pergi mencari, dia sendiri yang muncul dan menampakkan wajahnya." Farrel tersenyum miring lalu menghempaskan dirinya ke sofa. Berbaring dan meluruskan kakinya sedangkan kedua tangannya menjadi bantal di bawah tangannya.
"Seandainya saja Papi tidak melarang ku memanfaatkan wanita itu, mungkin keluarga Gunawan sudah tinggal nama." Farrel menatap lurus ke langit-langit kamar.
"Saya pernah mendengar alasannya kenapa Tuan Ricolas menentang keinginan anda untuk itu."
"Kenapa?"
"Beliau mengatakan tidak ingin membuat Tuan menyesal di kemudian hari." Ucapan B membuat kening Farrel berkerut. B tahu Tuannya tersebut tidak mengerti maksud ucapannya.
"Anak." B kembali bersuara dengan santainya, lalu duduk bersandar. Secepat kilat bantal sofa melayang ke dadanya.
"Bicara yang jelas? Anak, anak, anak apa?"
B tersenyum. Tuannya tersebut memang sangat emosional. Meski begitu tak banyak yang tahu jika Farrel adalah tipe orang yang perhatian, penyayang namun diselimuti dengan wajahnya yang dingin. Keadaannya di masa lalu yang membuat sosok lelaki dengan tinggi 180cm tersebut berubah layaknya seorang psikopat.
Sambil tersenyum kecil B mengambil dan memangku bantal sofa tersebut. "Ya anak. Anda kan sudah menikah, beliau takut karena anda mempermainkan wanita suatu saat anda punya anak perempuan, karma itu bisa tertuju padanya."
Farrel terdiam sejenak saat mendengar ternyata seperti itu alasan sang Papi melarangnya balas dendam melalui si wanita.
B juga ikut terdiam, cukup masuk akal alasan tersebut. Meski dia belum menikah, dia akan ingat petuah bahwa karma itu nyata adanya. Jika bukan datang pada si pelaku bisa jadi karma itu terjadi pada anak dan cucunya.
"Cih, aku memang sudah menikah, tapi siapa bilang aku mau punya anak. Melihatnya saja sudah membuatku muak." Farrel membuang muka kesal.
Punya anak? Menyentuhnya saja Farrel akan berpikir seribu kali untuk itu.
B menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa, menatap ke sembarang arah, menerawang "Kalau di lihat-lihat, Nyoya Febby cantik. Senyumnya ... bisa menular ke semua orang. Matanya indah, bulu matanya lentik, bibirnya ---"
Bug ...
Bantal sofa lagi-lagi melayang langsung ke wajah B.
"Beraninya kau membayangkan istriku!" Farrel berdiri sudah bersiap menyerang B. Tapi pertahanan diri B cukup tinggi hingga dia dengan spontan berlari ke belakang sofa. B cukup kaget dengan reaksi tuannya.
Bukankah tuannya tidak menyukai Febby? Tapi kenapa sekarang dia begitu marah karena dia memuji istrinya?
"Maaf, Tuan. Maaf." B bergerak dan terus menghindari sesuatu yang melayang kepadanya.
"Dia itu istriku. Aku saja tidak pernah mengamatinya sampai sedetail itu. Dan kau, berani sekali kau!" Farrel mencoba mengenai B dengan benda apa saja yang dipegangnya.
"Ampun, Tuan. Saya tidak akan melakukannya lagi."
"Sialan kau, B!" teriak Farrel saat B berlari keluar ruang kerjanya.
"Ada apa denganmu, Tuan?"
*******