Bab 7
"Huft, capek." Febby menghapus peluh di keningnya. Rasa lelah dia rasakan setelah mengerjakan semua pekerjaannya.
Febby duduk bersandar di kursi meja makan. Kakinya dia luruskan seraya meregangkan seluruh otot-ototnya yang mulai terasa kaku. Setelah merasa cukup, Febby menikmati segelas jus apel yang berasal dari lemari pendingin. Tak lupa dia mengucapkan 'bismillahirrahmanirrahim' sebelumnya.
Sementara menikmati segelas jus apel, Febby seketika tersipu. "Apa ya, maksud ucapan Farrel tadi. Aku jadi penasaran." Ucapan spontan Farrel di dapur tadi pagi membuat wanita pencinta warna coklat tersebut penasaran.
"Emang sudah, emang sudah." Febby terus mengulangi ucapan Farrel. "Aku, kok nggak sampai sih?" keluhnya seraya menggoyangkan kakinya di bawah sana hingga membentur keramik.
"Apa dia punya perasaan padaku ya?" tebaknya antusias. Namun sedetik kemudian, dia kembali membuang nafas lesu. "Sepertinya itu adalah hal yang mustahil. Dia kan membenciku. Kalau dia punya perasaan padaku, pasti aku sudah ditarik tidur sekamar dengannya, bukannya dijadikan babu." Febby menjatuhkan dagunya di atas meja kemudian memajukan bibirnya.
Mimik wajahnya ternyata tidak konsisten. Sebab baru beberapa detik yang tadinya cemberut kini berubah menjadi senyuman. Tubuhnya kini tegak kembali. Jus didepannya kembali dia minum.
"Meski dingin, tapi kenapa semakin hari dia terlihat semakin tampan ya," gumam Febby lagi-lagi tersipu. Febby meletakkan gelasnya yang hampir tandas, kemudian memegang kedua pipinya yang sedikit terasa panas. Rupanya dia merasa malu.
"Siapa yang tampan, Nona?"
"Astagfirullah," pekik tertahan Febby sebab Bi Narti tiba-tiba berada dibelakangnya. "Bibi, bikin Febby kaget aja." Febby berbalik dan memanyunkan bibirnya.
Mimik wajah Bi Narti yang tadinya bahagia kini berubah. "Nyona anda baik-baik saja?" tanyanya cemas seraya memeriksa kening Febby dengan punggung tangannya.
"Kenapa sih, Bi? Febby baik kok."
"Tapi Nyonya, bibir anda pucat sekali."
Spontan Febby menutup bibirnya namun hanya sebentar, dia berhasil mengendalikan diri. "Ah Bibi, i--ini tadi karena aku lupa pakai lipstik. Kenapa Bibi begitu cemas." Febby tersenyum kecil, terlihat canggung.
"Anda yakin, Nyonya?"
"Iya Bi."
Febby terus mencoba untuk meyakinkan Bi Narti agar wanita yang sudah di anggap seperti keluarga tersebut berhenti mencemaskannya. Begitu Bi Narti pamit, panggilan dari Farrel pun terdengar. Febby dengan sigap berlari menuju ke sumber suara.
Setelah mengetuk pintu dan mendapatkan jawaban, Febby pun masuk ke dalam kamar Farrel. Spontan wanita itu beristighfar seraya menunduk malu.
Kenapa dia tidak memakai baju. Menodai mataku saja. Febby bergumam didalam hati.
Batinnya meronta, matanya jelas saja ingin melihat otot-otot suaminya, tapi pikirannya melarangnya. Eh, kami kan suami istri, jadi sah saja dong kalau aku melihatnya, itu halal untuk aku lihat. Febby cekikikan didalam hati, bibirnya pun ikut terangkat tipis namun dengan cepat dia mengulumnya ke dalam seraya melototi kulit sawo matang Farrel.
"Sudah puas lihatnya?"
"Sudah, Tuan. Eh, maksud saya bu-bukan, sa---" ucapnya spontan.
"Cih, dasar ganjen!" ucap pelan Farrel namun masih terdengar di telinga Febby.
Febby repleks menutup bibirnya, menutup matanya kuat. Salah sendiri! Febby merutuki dirinya yang memang sedikit ganjen. Tapi kan nggak salah juga, seandainya mereka akur mungkin setiap hari Febby bisa melihat punggung lebar itu tanpa ditutupi kain. Bahu lebar itu bisa Febby jadikan sandaran. Febby melakukan pembelaan untuk dirinya sendiri.
'Kenapa dia pucat sekali,' batin Farrel saat sadar dengan keadaan istrinya. 'Apa dia kecapean, ya?'.
Farrel membuang nafas kasar. 'Kenapa juga aku peduli," gumamnya kembali. Meski dia berkata seperti itu, tapi tetap saja Farrel merasa jika Febby sedang tidak sehat. Tidak bisa dipungkiri ada rasa khawatir yang dia rasakan namun selalu Farrel tepis sendiri. Rasa bencinya masih menguasai relung hatinya.
"Ada yang bisa saya bantu, Tuan," tanya Febby pada akhirnya sebab Farrel hanya menatapnya tanpa mengatakan apapun. 'Kenapa dia hanya diam saja?'
Febby lupa dengan penampilannya saat ini. Lipstik yang selalu dia bawa kemanapun lupa dia kenakan.
Farrel sejenak berdehem, kedua tangannya yang tadi terlipat dibelakang punggungnya kini telah bersilang didepan dada.
"Lakukan tugasmu seperti biasa," ucapnya angkuh. Kemudian berlalu mengambil ponselnya dan melakukan pembicaraan, entah dengan siapa. Febby tidak tahu.
Segera Febby melakukan tugasnya. Tiba saat memakaikan dasi, Febby berdehem.
"A-apa aku boleh bertanya sesuatu?" tanya Febby sangat hati-hati. Entah kenapa tiba-tiba saja terlintas di pikirannya tentang kejadian beberapa waktu yang lalu.
"Hmm."
Mendengarkan satu kata tidak jelas itu keluar dari bibir Farrel membuat Febby antusias. Meski dia tahu pertanyaannya ini akan membuat suasana hati Farrel buruk, tapi dia juga merasa penasaran dan ingin tahu. Begitulah fitrah manusia.
Febby sejenak mengambil nafas pelan. "Apa ... apa Geisha adalah kekasihmu?"
Benar saja, Farrel langsung menatapnya tajam tapi itu tak membuat Febby yang tangannya masih berada didasi gentar. Dia membalas tatapan Farrel dengan mata sayu.
"Bukan uru---"
"Aku hanya ingin tahu, agar aku bisa bersikap ke depannya." Febby menjawab seraya menunduk, tak tahan dengan tatapan Farrel.
Farrel mengeraskan rahangnya. Meraih dan mencapit dagu Febby sedikit keras hingga wanita itu mendongak. "Memangnya kau bersikap seperti apa?"
"Mengusirnya mungkin," gerutu Febby tidak jelas seraya memaksa menoleh ke kanan.
Farrel menarik kembali dagu Febby agar menatapnya. "Bicara yang jelas," ucap Farrel penuh penekanan.
"Aku ingin mengusirnya. Kalau kalian mau pacaran atau berduaan lakukan saja di luar sana." Febby mengucapkan kalimat itu dengan satu tarikan nafas. Dia berusaha melepaskan tangan Farrel di dagunya tapi tidak berhasil.
Farrel tersenyum miring, memajukan wajahnya lebih dekat kepada Febby. "Memangnya kau siapa berhak mengaturku?"
Febby menatap Farrel dengan tegas. Bibirnya terasa keluh untuk menjawab pertanyaan Farrel. Tapi dia juga ingin mempertahankan haknya sebagai istri di rumah itu.
Febby tidak tahu berapa banyak wanita yang menjadi simpanan suaminya di luar sana. Meski tak bisa Febby pungkiri dia merasa tidak suka jika mengingat hal tersebut. Bagaimana pun Farrel suaminya, dia berhak atas lelaki tersebut. Febby akhirnya mulai egois.
Farrel dan Febby tak berhenti saling menatap. Farrel dapat melihat mata Febby dengan jelas. Benar kata B, bulu mata Febby lentik, matanya indah dan menenangkan. Bibirnya ...
Farrel sekuat tenaga untuk tidak menelan ludah. Meski bibir Febby tampak pucat tapi Farrel tidak bisa berbohong jika bibir tipis milik istrinya sangat menggoda. Mengingat jika B memperhatikan Febby hingga sedetail itu membuat Farrel membuang nafas kasar.
"Kenapa diam, jawab kamu siapa?"
"Aku istrimu kalau kamu lupa!"
Berhasil. Febby berhasil melepaskan tangan Farrel lalu berlari keluar kamar. Sedangkan Farrel menatap kepergian Febby seraya tersenyum miring lalu berkata, "Istri?"
***