Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Part 7 Pengertian Fernand

Setelah makan siang yang terlambat itu dan kembali ke kantornya, Valerie disibukan lagi oleh pekerjaannya. Mengatur ulang jadwal pertemuan, dengan menghubungi perusahaan yang sudah membuat janji sebelumnya.

Tidak ada jeda buatnya untuk berleha-leha. Membereskan semua pekerjaan selama beberapa minggu, yang tidak ditangani dengan baik oleh sekretaris sebelumnya. Pantas saja Fernand sebegitu geramnya, alasan kemarahannya memang tidak dibuat-buat.

Setengah empat sore, nampak Fernand keluar dari ruang kerjanya. Dia melihat langsung ke meja sekretaris. Valerie sepertinya begitu fokus menatap layar komputer, sama sekali tidak menyadari kehadirannya.

Fernand menghampiri meja sekretaris, dengan jas tersampir di lengannya. Dengan agak membungkuk, ia sengaja mendekatkan wajah ke muka yang nampak sedang serius itu.

Merasakan embusan napasnya,

Valerie tersentak kaget. Secara refleks kepalanya ditarik ke samping dengan arah berlawanan, menjauhi subyek pengganggunya.

"Kaulupa, mengingatkanku?" nampak senyum smirk, diwajahnya. Ketampanannya tidak pudar, meski kesibukan kerja cukup banyak menyita waktunya.

Valerie melebarkan matanya, baru mengingat janji pertemuan yang harus di lakukan Fernand, sore ini. Ia menoleh jam yang ada di atas dinding, belakang tubuhnya.

Terlihat Fernand mengangkat alisnya tinggi-tinggi. "Mau menemaniku?"

Valerie masih menatap wajah yang sangat enak dipandangnya itu, sedikit heran. "Pak Fernand butuh pendampingan?"

Dia balas menatapnya, serius. "Catat!" telunjuknya mengetuk jemari Valerie yang masih di atas mouse komputernya. Kembali Valerie melebarkan matanya, membuat Fernand semakin gemas dibuatnya. "Mulai hari ini, kemanapun aku pergi, kamu harus ikut denganku."

"Tapi .... "

Ups!

"Tidak ada 'tapi'. " sanggah Fernand tegas.

"Kerjaanku belum beres, bisa pak Fernand cek sendiri."

Tubuh Fernand bergerak, memposisikan dirinya berada di belakang tubuh Valerie. Hanya sandaran kursi beroda yang membatasi kedekatan antara mereka. Valerie menegang, jantungnya terasa meloncat-loncat.

Tak sampai di situ, kembali Fernand membungkukkan tubuhnya, hingga pipinya ada di samping wajahnya. Menumpangkan tangannya diatas tangan Valerie yang masih ada di atas mouse komputernya.

Meng-scroll dengan telunjuknya, memeriksa apa saja yang sedang dikerjakan oleh sekretaris istimewanya ini.

"Ini bisa dikerjakan besok lagi." katanya ringan.

Uh, tidak mengertikah, Bos? Menata ulang data yang tidak rapih ini, memerlukan banyak waktu?

Valerie merasakakan kalau pipinya semakin memanas, saat merasakan bibir Fernand menyentuh pipinya.

Cup!

"Cepat, ikut bersamaku." perintahnya.

Klik

Layar komputer pipih itu, padam.

Valerie merasa lega, saat wajah itu di tarik kebelakang oleh pemiliknya. Akan tetapi, tubuhnya belum sama sekali terbebas dari pengaruhnya, Fernand masih ada berdiri di belakangnya. Menjadikan tubuh Valerie kaku, masih terdiam di kursi yang didudukinya.

"Apa aku harus membujukmu, dengan ciuman lagi?" bisik Fernand, melongokkan kepalanya lagi, disisi tubuh Valerie.

Membuat Valerie langsung berdiri. Melihat pada Fernand yang sedang tersenyum puas.

Ia segera membenahi pakaiannya yang sudah kusut, terlihat tubuh rampingnya dengan perut yang rata, tampak sempurna.

Fernand menelan ludahnya, merasa tertarik dengan bentuk tubuhnya yang bagus.

Supaya tidak berpikir lebih jauh, dia segera melangkah, diikuti oleh Valerie di belakangnya.

Pertemuan itu, tidak memakan waktu yang lama. Hanya melanjutkan kontrak kerjasama yang sudah bertahun-tahun terjalin dengan perusahaannya.

PT. Utama Grup adalah salah satu perusahaan besar yang menjalin kerjasama dengan perusahaan PT. Gughe Grup, miliknya.

Pak Beno, orang yang ditemuinya sangat mengenal Adolf Gughe, papinya. "Sampaikan salam hormatku pada ayahmu. Semoga beliau selalu sehat."

Fernand tersenyum, menyalami Pak Beno. "Tentu saja akan saya sampaikan. Semoga kerjasama kita akan terus terjalin dengan baik."

PT. Gughe Grup adalah perusahaan turun temurun, yang berusaha dipertahankan sejak dulu oleh keluarga Gughe. Usaha mereka selain bisnis perhotelan dan restoran juga merambah ke usaha properti, seperti salah satu perusahaan yang dipimpin oleh Fernand ini.

"Kita kembali ke kantor?" tanya Valerie, di mana tadi mereka sudah mengantar tamunya, yang sudah terlebih dahulu pergi.

Mereka masih berada di ruang basement restoran, "Untuk apa kembali, sekarang sudah waktunya pulang, kan?" Fernand menjawab sambil membuka pintu mobilnya.

Fernand menurunkan kaca jendela mobil, "Masuk." perintahnya, karena melihat Valerie, bergeming di tempatnya.

Ia bergerak mendekati suaminya. "Boleh, aku ketemu Helsa dulu?" tanyanya, ragu-ragu.

Fernand mengangkat wajahnya. "Perlu sekali?" malah balik tanya.

"Tentu saja, aku menginap di rumahnya, masa gak pamitan dulu." timpalnya.

"Masuklah, aku antar." ucapnya singkat.

Membuat Valerie melebarkan matanya, setengah tidak percaya.

Benarkah, Fernand mau mengantarkannya ke rumah Helsa?

Valerie segera membuka pintu, lalu duduk di sebelahnya dengan muka gembira yang tidak berusaha ia sembunyikan.

"Terima kasih." ucapnya, tulus.

Fernand hanya menganggukan kepalanya. Langsung menyalakan mesin mobil, bersiap berangkat.

Di tengah perjalanan, ia menerima telepon dari seseorang.

Ibu kost? Hampir saja Valerie menepok jidatnya, karena baru sadar bila ia belum memberi tahu soal kepergiannya, kemarin malam.

"Maaf, Bu. Saya tidak memberitahukan sebelumnya kalau saya pergi ke Jakarta."

"Jakarta? Apakah akan lama?" tanya di seberangnya.

"Kemarin itu, saya mendadak banget perginya, sampai tidak sempat pulang dulu ke kost-an. Maaf ya, Bu. Saya dapat pekerjaan di Jakarta dan hari ini sudah langsung mulai kerja."

"Jadi, sudah tidak akan kembali ke kost-an?"

"Tidak, Bu."

"Lah, ini? Barang-barangnya masih tertinggal di sini?"

"Gak apa-apa, bu. Kasihkan aja kesiapa yang mau."

"Terus kemarin, beberapa kali ada yang nanyain, lo."

Valerie mengira, pasti itu Dylio. "Biarkan saja, Bu. Dan aku mohon jangan ibu bilang aku sudah ke Jakarta. Aku mohon sekali, ya Bu?" setengah mengiba, ia berharap Dylio akan terus menunggunya di sana. Ia males menghadapinya lagi.

"Baiklah, ibu tidak akan bilang kamu di mana."

"Terima kasih, Bu."

Valerie menutup obrolan melalui handphone-nya itu.

Ia melirik sekilas pada Fernand yang sedang anteng mengemudikan mobilnya. Semoga saja tidak mencurigai perbincangan dengan ibu kost-nya itu, dengan prasangka lain.

"Apakah Dylio berhasil menemukan, tempat persembunyianmu?" nada tanyanya sih datar saja, tapi membuat hati Valerie deg-degan tidak karuan.

Tidak ada cara lain baginya, lebih baik menjawabnya secara jujur.

"Kemarin dia menemukanku, tapi untungnya aku ditolong sama yang punya toko, naik mobil boxnya. Hingga aku lolos, tanpa diketahui olehnya." paparnya, kesal.

Terdengar kekehan dari Fernand. "Cinta mati dia sama kamu, ya?" kenapa Valerie merasa diejek?

Ia benar-benar merasa kesal jadinya.

Membuang muka ke samping, dengan bibir cemberut. Males untuk berbicara lebih lanjut.

"Kenapa, kesal?" tanya Fernand, melirik sebentar, sebelum kembali fokus ke jalanan lagi.

Ingin saja ia teriak, untuk mengekspresikan kekesalannya. "Kamu tahu gak sih, masuk mobil box yang gelap dan pengap. Aku takut." akhirnya, Valerie tersedu. Ia meluapkan apa yang dialaminya malam kemarin, dengan menangis yang tidak bisa di tahannya lagi.

Fernand sendiri merasa kaget, dia jadi menepikan mobil.

Dilihatnya Valerie meringkuk dengan memiringkan tubuhnya di jok mobil. Terlihat ringkih sekali.

Fernand menarik tubuh itu, memasukan kepala Valerie ke dalam pelukannya. "Katakan, apa yang ingin kaukatakan." sarannya, mengelus bahu Valerie dengan lembut.

"Kesal! Aku kesal!" Suaranya tertahan, tangannya meremas kemeja Fernand. "Pengen jitak kepala Dylio, dia nyebelin. Hik .... Hik ..."

Fernand tersenyum, mengerti.

"Dylio memang kenapa? Ganggu kamu lagi?" bisiknya.

"Dia gak ngerti, kalau aku hanya menganggapnya sahabat aja, tapi dia bilang tidak akan berhenti mengejarku."

"Kan sekarang ada aku, suamimu. Kamu tidak sendirian untuk menghadapinya. Nanti aku yang akan jitakin kepalanya." ujar Fernand, seperti kepada anak kecil.

Valerie mendongak, jadinya, "Ah," memukul dada Fernand, "Jangan jadi candaan, dong." protesnya. Air matanya masih merebak di sekitar pipinya. Suasana hatinya, sudah mulai membaik.

Fernand terkekeh kembali, sekaligus gemas menatap wajah yang kini sedang terangkat sangat dekat dengan wajahnya sendiri. Seandainya tidak sedang di jalanan, mungkin dia sudah mengecup bibirnya.

Namun yang dilakukannya, malah mengusap air matanya. "Kalau dia berani lagi mendekatimu, tenang saja, suamimu ini tidak akan tinggal diam."

"Tapi jangan berantem."

Fernand tergelak, "Kamu takut aku kalah?"

Valerie menggerak-gerakan bola matanya. "Dylio jago berantemnya."

"Aku ingin mengujinya nanti."

Spontan tangan Valerie menangkup wajahnya, "Jangan! Aku pernah melihat wajah temanku babak belur, di hajar dia."

Dengan mendongakan kepalanya, sambil memeluk kepala Valerie, Fernand tergelak lagi. Merasa tergugu dengan sikap istrinya yang polos ini.

"Tenang aja, gantian nanti dia yang akan babak belur." cetusnya, tidak bermaksud serius

"Jangan juga, bagaimanapun dia temenku."

"Kalau begitu kamu masih ada rasa sayang sama dia." Valerie nampak tercekat, menatap suaminya. Susah menjelaskan bagaimana perasaannya pada Dylio.

Selalu bersama-sama sekian lama, tentu saja rasa sayang itu ada di hatinya. Namun, tidak bisa di artikan sama, seperti yang dirasakannya pada Fernand.

"Bagaimanapun, Dylio sahabatku. Aku ingin dia mengerti kalau aku menyayanginya hanya sebagai sahabat, tanpa harus menyakitinya lebih dalam lagi. Aku merasa tidak tega."

Fernand tersenyum, "Aku mengerti apa maksudmu. Kamu memiliki hati yang lembut"

"Benarkah? Kamu tidak akan marah sama Dylio?" binar matanya sangat menarik. "Ijinkan, biar secara pelan-pelan aku akan memberi pengertian padanya." Valerie mulai menguraikan pelukan suaminya.

"Tapi kalau dia nekad juga dan terus mengganggumu, tentu saja aku tidak akan tinggal diam." tegas Fernand.

Valerie menganggukan kepalanya. "Aku pun akan bersikap sama." timpalnya.

"Sekarang sudah merasa tenang kembali?" tanya Fernand.

"Iya, terima kasih. Sudah membuat perasaanku lebih baik." Valerie melebarkan senyumnya, memperbaiki letak duduknya kembali.

Fernand segera menyalakan mesin mobilnya, memasuki jalan raya kembali.

"Kamu bisa memberitahukan alamat rumah temanmu itu?"

"Masih lurus di jalan ini, kalau harus belok pasti aku akan kasih tahu sebelumnya."

Fernand tidak banyak bertanya lagi dan Valerie diam, memperhatikan jalan.

Meski agak macet, tapi mereka sampai juga di depan sebuah rumah berlantai dua. Bukan sebuah rumah mewah, tapi terlihat asri.

Helsa nampak terkejut, saat membuka pintu depan. Dihadapannya berdiri sahabatnya, Valerie. Tidak sendiri, tapi di sampingnya nampak laki-laki berpostur tinggi yang selama ini sangat dikaguminya.

"Val ... " sapanya, agak salah tingkah. Ia melirik Fernand dan mengangguk hormat. "Pak Fernand .... " yang dibalas dengan anggukan sopan dari orang yang disapanya.

"Gue balik ke sini mau pamit, sama ayah juga bunda." kata Valerie pelan.

Helsa yang biasanya bersikap ramai itu, kali ini sedikit mengerem mulutnya. "Ayo masuk, Val." lalu beralih pandangan pada Fernand. " Silahkan, Pak Fernand juga masuk. Sebentar saya akan panggilkan ayah dan bunda."

Setelah tamunya duduk, Helsa segera berlalu meninggalkan mereka.

Fernand menatap Valerie. "Sebaiknya kamu temui dulu sahabatmu itu. Pasti masih ada yang mau diobrolin."

"Gak apa-apa, aku tinggal sebentar?" kembali terlihat mata itu berbinar. Mungkin merasa gembira, atas sikap pengertian suaminya yang tampan ini.

"Pergilah." Fernand tersenyum, meyakinkan.

* Setelah membaca part ini, saya mohon komentarnya buat para readers yang baik. supaya saya tahu sebagai author, apakah cerita saya ini disukai atau tidaknya. Terima kasih. *

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel